Pembahasan Mengenai Hadits Dhaif
Oleh : Dr.H.M. Dawud Arif Khan
Alhamdulillah, kita lanjutkan kajian kita. Terakhir kita bahas mengenai Hadits Ahad dan kekuatannya sebagai sumber hukum yang bersifat zhanni. Ada masalah menangisi jenazah dan Basmalah dalam al-Faatihah yang telah kita jadikan contoh.
Dari rangkaian ayat dan hadits dalam masalah dosa dan menangisi jenazah serta masalah Basmalah di atas, dapat kita lihat betapa tidak mudah menarik kesimpulan hukum itu. Bahkan beberapa hadits shahih dengan isi yang senada pun ternyata tidak menjamin suatu kesimpulan hukum yang tepat, bila diistinbath tanpa memperhatikan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan masalah itu dan juga hadits-hadits yang lain yang membicarakan persoalan yang sama atau yang serupa. Ulama seperti Imam Abu Hanifah, kadang mengabaikan hadits shahih, apabila menurut beliau isinya tidak sesuai dengan kaidah umum yang terkandung dalam al-Quran, karena bagaimana pun al-Quran itu mempunyai nilai kebenaran yang qath’i, sedangkan hadits ahad, meskipun shahih, tetap mengandung kemungkinan kesalahan dan pendalilannya bersifat zhanni.
Bagaimana dengan Hadits Dha'if? Para Ulama tidak seragam dalam menetapkan kriteria Shahih atau Dha'if nya suatu hadits. Standar tertinggi diakui ada pada dua Ulama Hadits terkemuka, yaitu Imam Bukhari dan Muslim. Namun, tidak berarti bahwa yang tidak masuk dalam kitab Shahih mereka adalah berarti Hadits Dha'if, karena boleh jadi riwayatnya tidak sampai kepada beliau berdua, dan boleh jadi juga karena perbedaan kriteria yang dipergunakan. Adapun kriteria mengenai tingkat ke-dha'if-an suatu hadits, maka lebih besar lagi perbedaan kriterianya. Imam an-Nawawi mengatakan bahwa hadits dha'if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shahih dan hasan. Hadits dha'if sendiri sangat banyak macamnya. Imam Ibnu Hibban membaginya menjadi 49 macam, sedangkan Ibnu Ash-Shalah membaginya menjadi 42 macam.
Bila Hadits Ahad itu kekuatan hukumnya bersifat zhanni, maka Hadits Dha'if secara umum tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah hukum, melainkan hanya dapat sebagai sandaran untuk amalan sunnah (fadhilah a'mal). Namun demikian, ada juga Hadits Dha'if yang bisa dijadikan Hujjah Hukum.
Kita akan bahas yang lebih sederhana saja. Dari segi bisa diamalkan atau tidak, hadits dha'if terbagi dalam 3 kelompok besar:
1. hadits maudlu', yaitu hadits yg dibuat2 (kebohongan yg dinisbatkan kepada Nabi). Hadits kategori ini tidak bisa dijadikan hujjah.
2. hadits Syadid adh-dhaif, yaitu hanya melalui jalur yg ada perawinya diketahui pembohong/dituduh pembohong atau amat parah kesalahannya dalam periwayatan. Hadits kategori ini juga tidak bisa dijadikan pegangan.
3. hadits dha'if yg lain, yaitu hadits yg dha'if bukan karena dipalsukan, bukan pula karena perawinya pembohong atau parah dalam periwayatan. Sebagian hanya karena ada perawinya dianggap kurang kuat hafalannya (meski ia jujur), atau ia pernah diketahui pernah berbohong sekali (selebihnya ia jujur), atau ia peragu, dll. Hadits jenis ini adalah hadits dari Rasulullah SAW juga, namun sanadnya kurang kuat.
Hadits maudhu’ ialah perkataan bohong dan mengada-ada yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Informasi ini disampaikan dengan mengatasnamakan Nabi biasanya untuk tujuan popularitas, mengajak orang berbuat baik, ingin dekat dengan penguasa, dan tujuan lainnya. Apapun motifnya, menyampaikan hadits palsu, apalagi membuatnya, tidak dibolehkan dalam Islam, karena Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, kelak silakan ambil tempat di Neraka,” (HR Imam Ibnu Majah). Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang menyampaikan berita tentangku padahal dia mengetahui bahwa berita itu bohong, maka dia termasuk pembohong,” (HR Imam Muslim).
Contoh hadits maudhu adalah riwayat yang menceritakan bahwa “Rasulullah SAW memakan buah anggur dengan memetik dari pohonnya.”
Hadits ini maudhu’. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam kitabnya al-Kamil fit-Tarikh Juz 1 dengan sanad dari Sulaiman bin Rabi’ dari Kadih bin Rahmah, kemudian berkata, ”Umumnya riwayat Kadih tidak hafizh dan tidak memperhatikan sanad serta matannya.”
Adapun Ibnul Jauzi dalam kitabnya al-Maudhu’ telah mengeluarkan sanad tersebut sambil berkata, ”Sulaiman telah dinyatakan lemah oleh ad-Daruquthni, sedangkan Kadih adalah pendusta dan Husain bukan perawi tsiqah."
Contoh lain adalah hadits yang artinya: “Barang siapa menziarahiku dan menziarahi kakekku Ibrahim dalam satu tahun, maka ia masuk surga.”
Imam Zarkasi dalam kitab al-La’aali al-Mantsuurah menyatakan, “Hadits tersebut maudhu’ dan tak seorang pun pakar hadits yang meriwayatkannya.” Hadits itu oleh Imam Nawawi dinyatakan maidhu’ dan tak ada sumbernya.
Hadits maudlu’ tidak boleh dijadikan landasan (dalil) untuk beramal, dan pada dasarnya dibedakan dari hadits dha’if. Kalau disebut dha’if biasanya tidak sampai derajat maudlu’. Syaikh Khalil ibn Ibrahim menjelaskan bahwa hadits dhaif pada dasarnya tetap dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, berbeda dengan hadits maudlu’ yang merupakan kebohongan yang diada-adakan (atas nama Nabi SAW). Pembedaan ini akan memudahkan kita mengambil keputusan mengenai digunakan atau tidaknya suatu hadits, atau paling tidak memahami mengapa suatu hadits tidak diterima dan mengapa masih bisa ditolerir penggunaannya sebagai dalil. Hadits maudlu’ tidak boleh diriwayatkan sama sekali kecuali dengan menjelaskan kepalsuannya.
Bagaimana dengan Hadits Dha'if yang bukan karena dipalsukan, bukan pula karena perawinya pembohong? In syaa Allah kita bahas di pengajian berikutnya. Untuk hari ini kita cukupkan sampai di sini dulu pengajiannya. Semoga bermanfaat. Silakan baca Hamdalah. Wassalaamu alaikum WW.
Pertanyaan dari Jamaah WA:
Ibnul Jauzy dengan Ibnu Qayyim Aljauziyah..apakah sama orangnya? Kalau beda, manakah di antara keduanya yang merupakan murid dari Ibn Taymiyah?
Jawab:
Ibnu al-Jauzi namanya adalah Abu al-Faraj Abdurrahman Ibn al-Jauzi, hidup di abad ke-6 Hijriyah. Sedangkan Ibn Qayyim namanya adalah Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub ad-Dimasyqi, hidup di abad 7-8 Hijriyah. Yang terakhir inilah murid Ibn Taimiyah. Keduanya adalah Ulama Madzhab Hanbali. Wa Allah A'lam.
Yang membuat keduanya sering dikira sama adalah karena Muhammad bin Abi Bakr lebih dikenal sebagai Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dan keduanya bermadzhab Hanbali.
Alhamdulillah, kita lanjutkan kajian kita. Terakhir kita bahas mengenai Hadits Ahad dan kekuatannya sebagai sumber hukum yang bersifat zhanni. Ada masalah menangisi jenazah dan Basmalah dalam al-Faatihah yang telah kita jadikan contoh.
Dari rangkaian ayat dan hadits dalam masalah dosa dan menangisi jenazah serta masalah Basmalah di atas, dapat kita lihat betapa tidak mudah menarik kesimpulan hukum itu. Bahkan beberapa hadits shahih dengan isi yang senada pun ternyata tidak menjamin suatu kesimpulan hukum yang tepat, bila diistinbath tanpa memperhatikan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan masalah itu dan juga hadits-hadits yang lain yang membicarakan persoalan yang sama atau yang serupa. Ulama seperti Imam Abu Hanifah, kadang mengabaikan hadits shahih, apabila menurut beliau isinya tidak sesuai dengan kaidah umum yang terkandung dalam al-Quran, karena bagaimana pun al-Quran itu mempunyai nilai kebenaran yang qath’i, sedangkan hadits ahad, meskipun shahih, tetap mengandung kemungkinan kesalahan dan pendalilannya bersifat zhanni.
Bagaimana dengan Hadits Dha'if? Para Ulama tidak seragam dalam menetapkan kriteria Shahih atau Dha'if nya suatu hadits. Standar tertinggi diakui ada pada dua Ulama Hadits terkemuka, yaitu Imam Bukhari dan Muslim. Namun, tidak berarti bahwa yang tidak masuk dalam kitab Shahih mereka adalah berarti Hadits Dha'if, karena boleh jadi riwayatnya tidak sampai kepada beliau berdua, dan boleh jadi juga karena perbedaan kriteria yang dipergunakan. Adapun kriteria mengenai tingkat ke-dha'if-an suatu hadits, maka lebih besar lagi perbedaan kriterianya. Imam an-Nawawi mengatakan bahwa hadits dha'if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shahih dan hasan. Hadits dha'if sendiri sangat banyak macamnya. Imam Ibnu Hibban membaginya menjadi 49 macam, sedangkan Ibnu Ash-Shalah membaginya menjadi 42 macam.
Bila Hadits Ahad itu kekuatan hukumnya bersifat zhanni, maka Hadits Dha'if secara umum tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah hukum, melainkan hanya dapat sebagai sandaran untuk amalan sunnah (fadhilah a'mal). Namun demikian, ada juga Hadits Dha'if yang bisa dijadikan Hujjah Hukum.
Kita akan bahas yang lebih sederhana saja. Dari segi bisa diamalkan atau tidak, hadits dha'if terbagi dalam 3 kelompok besar:
1. hadits maudlu', yaitu hadits yg dibuat2 (kebohongan yg dinisbatkan kepada Nabi). Hadits kategori ini tidak bisa dijadikan hujjah.
2. hadits Syadid adh-dhaif, yaitu hanya melalui jalur yg ada perawinya diketahui pembohong/dituduh pembohong atau amat parah kesalahannya dalam periwayatan. Hadits kategori ini juga tidak bisa dijadikan pegangan.
3. hadits dha'if yg lain, yaitu hadits yg dha'if bukan karena dipalsukan, bukan pula karena perawinya pembohong atau parah dalam periwayatan. Sebagian hanya karena ada perawinya dianggap kurang kuat hafalannya (meski ia jujur), atau ia pernah diketahui pernah berbohong sekali (selebihnya ia jujur), atau ia peragu, dll. Hadits jenis ini adalah hadits dari Rasulullah SAW juga, namun sanadnya kurang kuat.
Hadits maudhu’ ialah perkataan bohong dan mengada-ada yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Informasi ini disampaikan dengan mengatasnamakan Nabi biasanya untuk tujuan popularitas, mengajak orang berbuat baik, ingin dekat dengan penguasa, dan tujuan lainnya. Apapun motifnya, menyampaikan hadits palsu, apalagi membuatnya, tidak dibolehkan dalam Islam, karena Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, kelak silakan ambil tempat di Neraka,” (HR Imam Ibnu Majah). Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang menyampaikan berita tentangku padahal dia mengetahui bahwa berita itu bohong, maka dia termasuk pembohong,” (HR Imam Muslim).
Contoh hadits maudhu adalah riwayat yang menceritakan bahwa “Rasulullah SAW memakan buah anggur dengan memetik dari pohonnya.”
Hadits ini maudhu’. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam kitabnya al-Kamil fit-Tarikh Juz 1 dengan sanad dari Sulaiman bin Rabi’ dari Kadih bin Rahmah, kemudian berkata, ”Umumnya riwayat Kadih tidak hafizh dan tidak memperhatikan sanad serta matannya.”
Adapun Ibnul Jauzi dalam kitabnya al-Maudhu’ telah mengeluarkan sanad tersebut sambil berkata, ”Sulaiman telah dinyatakan lemah oleh ad-Daruquthni, sedangkan Kadih adalah pendusta dan Husain bukan perawi tsiqah."
Contoh lain adalah hadits yang artinya: “Barang siapa menziarahiku dan menziarahi kakekku Ibrahim dalam satu tahun, maka ia masuk surga.”
Imam Zarkasi dalam kitab al-La’aali al-Mantsuurah menyatakan, “Hadits tersebut maudhu’ dan tak seorang pun pakar hadits yang meriwayatkannya.” Hadits itu oleh Imam Nawawi dinyatakan maidhu’ dan tak ada sumbernya.
Hadits maudlu’ tidak boleh dijadikan landasan (dalil) untuk beramal, dan pada dasarnya dibedakan dari hadits dha’if. Kalau disebut dha’if biasanya tidak sampai derajat maudlu’. Syaikh Khalil ibn Ibrahim menjelaskan bahwa hadits dhaif pada dasarnya tetap dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, berbeda dengan hadits maudlu’ yang merupakan kebohongan yang diada-adakan (atas nama Nabi SAW). Pembedaan ini akan memudahkan kita mengambil keputusan mengenai digunakan atau tidaknya suatu hadits, atau paling tidak memahami mengapa suatu hadits tidak diterima dan mengapa masih bisa ditolerir penggunaannya sebagai dalil. Hadits maudlu’ tidak boleh diriwayatkan sama sekali kecuali dengan menjelaskan kepalsuannya.
Bagaimana dengan Hadits Dha'if yang bukan karena dipalsukan, bukan pula karena perawinya pembohong? In syaa Allah kita bahas di pengajian berikutnya. Untuk hari ini kita cukupkan sampai di sini dulu pengajiannya. Semoga bermanfaat. Silakan baca Hamdalah. Wassalaamu alaikum WW.
Pertanyaan dari Jamaah WA:
Ibnul Jauzy dengan Ibnu Qayyim Aljauziyah..apakah sama orangnya? Kalau beda, manakah di antara keduanya yang merupakan murid dari Ibn Taymiyah?
Jawab:
Ibnu al-Jauzi namanya adalah Abu al-Faraj Abdurrahman Ibn al-Jauzi, hidup di abad ke-6 Hijriyah. Sedangkan Ibn Qayyim namanya adalah Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub ad-Dimasyqi, hidup di abad 7-8 Hijriyah. Yang terakhir inilah murid Ibn Taimiyah. Keduanya adalah Ulama Madzhab Hanbali. Wa Allah A'lam.
Yang membuat keduanya sering dikira sama adalah karena Muhammad bin Abi Bakr lebih dikenal sebagai Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dan keduanya bermadzhab Hanbali.
Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)
0 Response to "Pembahasan Mengenai Hadits Dhaif"
Posting Komentar