Memondokkan Anak

(Dalam percakapan ini didahului permohonan informasi oleh Ustadz Muh. Dularif perihal pembukaan pendaftaran pondok takhfidz untuk anak-anak putri di Kudus, yaitu Pondok Mbah Arwani dekat Menara Kudus)

Pertanyaan Bu Alfi

Assalaamu'alaikum.

Maaf Pak Dularif, saya bukan mau memberi informasi tentang pendaftaran, tapi malah mau nanya nih, sepertinya anak Pak Dul sudah punya persiapan seandainya dipondokin.

Sebenarnya saya juga kepengin banget mendaftarkan anak saya ke pondok ini, tapi saya pengen tanya bagaimana mengkondisikan anak-anak kita agar siap untuk dibawa ke pondok?

Anak saya putri sekarang baru berumur 3,5 tahun, barangkali masih ada waktu untuk menciptakan kondisi tersebut.

Saya melihat kakak-kakaknya (umurnya sudah lewat 7 tahun) sepertinya susah untuk dikondisikan ke pondok.

Maturnuwun tips-tipsnya

Wassalaamu'alaikum.


Jawaban Ustadz Muh. Dularif

Wa'alaikum Salam Wr. Wb.

Mbak Alfi...

Biasanya, untuk mengkondisikan anak untuk mau ke pondok bukanlah hal yang sulit.

Yang jauh lebih sulit adalah mengikhlaskan hati orang tua (terutama ibunya) untuk melepaskan anak berusia 6-7 tahun jauh dari kehidupan keluarga sehari-hari. Walaupun kita juga harus sadar bahwa kondisi tiap keluarga terutama anak berbeda. Perbedaan itu menyebabkan "treatment" yang harus kita lakukan berbeda.

Namun ada beberapa hal "sederhana" yang mungkin bisa kita lakukan.

Pertama-tama, sebagai orang tua, kita harus belajar untuk "mengikhlaskan" anak kita. Untuk memacu sikap tersebut, kita semestinya sadar, bahwa "APAPUN YANG KITA MILIKI, HANYALAH SEMATA TITIPAN ALLAH SWT". Karena bukan milik kita, tentunya cepat atau lambat, semua akan dimintanya kembali. Kita semua akan saling meninggalkan atau ditinggalkan dalam kehidupan di dunia ini.

Kemudian hal lain yang juga bisa membangkitkan keihklasan kita adalah realita SD jaman sekarang. Saya pribadi cukup prihatin karena sekarang anak-anak cukup "tertekan" ketika sekolah. Kalau dulu di jaman kita, kita gembira karena di sekolah dasar adalah wahana belajar sekaligus tempat permainan yang membahagiakan, maka saat ini banyak sekali kondisi anak yang "kelihatan" nya tertekan mentalnya sebagai akibat beban yang "berlebihan".

Bagi saya pribadi, jika pilihannya adalah sama-sama "underpressure", saya memilih anak saya untuk jadi khafid/khafidzoh daripada hanya sekedar anak yang "juara" di ranah "duniawi". Menjadikan anak sebagai penghafal Qur'an bagi Kami adalah suatu anugrah yang sangat indah.

Kedua, kita jangan pernah memaksa anak kita untuk "mondok". Tidaklah baik mengarahkan anak dengan cara paksaan, tapi jauh lebih baik bila kita menawarkan "impian" bagi mereka. Cara paling gampang untuk menunjukkan impian adalah dengan memberi contoh dihadapan mereka. Normalnya, apapun yang kita lakukan akan menjadi "benchmarking" bagi anak kita. Maka tidaklah heran, bila keluarga penyanyi atau bintang film juga berasal dari keluarga dengan profesi yang sama. Begitu pula, normalnya anak kyai berkemungkinan besar menjadi ulama di masa yang akan datang.

Hal tersebut, bukanlah semata karena genetika, tapi jauh lebih penting adalah bahwa apapun yang mereka lihat dalam kehidupan mereka sehari-hari, akan menjadi "apa" mereka yang akan datang. Meskipun kita harus ingat bahwa banyak faktor yang membentuk kepribadian seorang hamba.

Hal ketiga, yang harus kita perhatikan adalah kondisi riil anak. Meskipun kita sudah berusaha ikhlas, kemudian memberi contoh yang baik, bukan berarti kita bisa memastikan "everything will be OK". Kemungkinan besar, kita, terutama seorang ibu, memiliki feeling yang bagus tentang apa yang cocok untuk seorang anak. Kalau memang kita memandang bahwa anak kita orang yang independen dan cocok untuk mondok, ya kita pondokkan anak tersebut. Jika tidak, mungkin pendidikan dekat rumah adalah pilihan yang cukup bijak.

Tapi tenang mbak...

Kalo sampeyan lihat di brosur pendaftaran sebagaimana saya lampirkan sebelumnya, ada dua tahap test. Yang pertama adalah test kemampuan dan yang kedua adalah test "psikologi" adaptasi anak. Jadi meskipun si anak lolos test kemampuan tahap pertama, namun di Kudus, seorang anak harus lolos untuk mampu beradaptasi selama kurang lebih 3 minggu hidup terpisah dari orang tua, sebelum resmi diterima di Kudus.

Kemudian, jangan lupa jenengan juga mendaftarkan anak di tempat lain sebagai alternatif pilihan. Sebagai contoh, saya juga mendaftarkan anak saya di MIN I Malang, dan kemungkinan juga di SD dekat rumah saya. Jadi, kalaupun nanti, anak saya lolos tahap kedua, saya akan tetep menawarkan anak saya untuk "memilih" sekolah mana yang akan di masukinya.

Terakhir, jangan lupa kita berdoa dan bertawakkal.

Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan hidayahnya bagi kita semua.

Semoga membantu.

Wallohu 'alam bis shawab.

Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.

(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)


Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)

0 Response to "Memondokkan Anak"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel