Perihal Sholat Jamak
Assalamualaikum wr.wb
1. Apakah syarat kita diperbolehkan menjama' sholat? Apakah hanya karena kita bepergian jauh saja sudah diperbolehkan untuk menjama' sholat? Misalnya kita melakukan perjalanan dari Sidoarjo ke Yogyakarta dengan menggunakan mobil pribadi. Saat maghrib tiba, kita masih di Solo. Jika perjalanan diteruskan, Isya' baru sampai di Yogyakarta. Dalam kondisi seperti ini, Apa boleh kita menjama' sholat maghrib dan dilakukan pada waktu isya'?
2. Suatu waktu saya melakukan perjalanan dari Yogya ke Sidoarjo naik Bus Umum. Berangkat dari yogya jam 18.30. karena tidak tahu kapan sampai di Sidoarjo, saya memutuskan untuk menjama' sholat isya' dan dilakukan pada waktu maghrib. Ternyata saya telah tiba di Sidoarjo jam 1.00 dini hari. Dalam kondisi seperti ini, Apakah saya harus mengulang sholat isya yang tadi telah dijama'?
Terima kasih.
(Suprapto, 26 April 2009)
Jawaban dari Ustadz Ichsan Nafarin
Alaikumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh
Jawaban Pertanyaan 1
Salah satu syarat boleh jama' adalah safar ghairu maksiyat, jelas tempat tujuannya, jarak minimal 2 marhalah (+-90km).
Tata cara jama' ada 2, taqdim (dilakukan diwaktu dhuhur/maghrib) dan ta'khir (dilakukan waktu ashar/isya').
Syarat jama' ta'khir :
a. niat jama' sebelum waktu dhuhur/maghrib habis, karena kalau sudah habis waktu baru niat jama' berarti ada kesengajaan melalaikan sholat dhuhur/maghrib.
b.masih dalam perjalanan sampai waktu pertama habis.
Dari syarat b kita tahu bahwa tidak jadi masalah jika kita menjama' shalat maghrib di Jogja saat waktu isya' (ta'khir) karena kita sampai di Jogja saat sudah masuk isya' (tentu setelah niat jama' pada saat masih dalam waktu maghrib). Pelaksanaan sholat maghribnya kapan saja sepanjang masih dalam waktu isya' karena tidak ada syarat tartib maupun muwalah.
Jawaban Pertanyaan 2
Syarat jama' taqdim safar :
a. niat jama' sebelum salam pada sholat dhuhur/ashar.
b. tartib - berurutan dhuhur dulu baru ashar (atau maghrib dulu baru isya').
c. muwalah - bersambung (tidak terpisah lama antara shalat pertama dan kedua).
d. masih dalam perjalanan saat takbiratul ihram shalat kedua.
Dari syarat d kita tahu bahwa bahkan jika kita sampai Jogja masih waktu maghrib pun tidak menjadi masalah dan shalat isya' yang telah kita lakukan tetap sah dan tidak perlu diulang.
Wallaahu A'lamu
Tanggapan dari Faris
Masalah jamak dan qosor sholat adalah sebuah rukhsoh yang diberikan pada saat kita dalam perjalanan jauh.
Jawaban dari Ustadz Ichsan Nafarin
Memang jama' adalah satu bentuk rukhshoh, akan tetapi beda dengan qoshor.
Rukhshoh jama' dianjurkan untuk 'tidak diambil' dalam konteks khuruj minal khilaf (keluar dari khilafiyah) karena beberapa ulama madzhab tidak menyepakati bolehnya jama' dalam safar ataupun perbedaan-perbedaan dalam hal kriteria/syarat bolehnya jama'. Jadi bila memungkinkan shalat pada waktu masing-masing tanpa menjama' itu lebih utama untuk dipilih. Sedangkan untuk qoshor, rukhshohnya lebih utama untuk diambil.
Adapun pilihan taqdim dan ta'khir, lebih utama dipilih taqdim bila memungkinkan untuk berhenti shalat pada waktu pertama. Jika tidak, maka ta'khir lebih utama dipilih daripada memaksakan shalat sambil di atas kendaraan.
Wallaahu a'lamu bish-showwaab
Pertanyaan dari Safinda
Saya mau tanya pak. Pernah saya menemukan bahkan calon mertua saya sendiri.
Jadi begini. Kami bepergian ke jakarta tinggal di sana bermalam satu malam. Saya sampai jakarta jam 5 sore, terus waktu sholat magrib saya laksanakan biasa tidak saya jama' karena saya mukim 1 malam. Tetapi calon mertua saya memilih menjama' sholat nya di isya', dengan alasan musafir atau bepergian.
Nah yang menjadi tanda tanya bepergiannya itu bagaimana? Apakah kalau belum pulang ke rumah dianggap masih pergi, meski kita mukim 1 malam di tempat lain? Atau bagaimana? Mohon penjelasannya lebih rinci.
Suwun.
Jawaban dari Ustadz Ichsan Nafarin
Dalam Fiqh Syafi'i orang dianggap mukim bila :
1. Telah sampai di tempat domisilinya.
2. Sampai ditempat tujuan dimana ia meniatkan untuk tinggal disitu selama 4 hari (tidak termasuk hari datang dan hari pulang - jadi bisa sampai 6 hari)
3. Telah melampaui masa 18 hari untuk kasus seseorang tidak meniatkan menetap di suatu tempat dalam jumlah hari tertentu karena suatu urusan yang belum jelas waktu selesainya (bisa saja nantinya kurang dari 4 hari atau lebih dari 4 hari). Ia akan segera meninggalkan tempat tersebut jika urusannya telah selesai. Jika sehari urusan beres pun ia akan langsung pergi atau niatnya tidak akan melampaui 4 hari jika urusan telah selesai, sebaliknya jika 4 hari belum selesai akan ia tunggu sampai selesai.
Jadi apabila seseorang tidak berada dalam kriteria di atas maka ia dikatakan musafir, dan musafir tersebut bila memenuhi kriteria-kriteria tertentu boleh jama', qosor, tidak jum'atan, tidak puasa, dsb.
Tetapi kembali ke kasus yang dialami tadi, memang masih diperbolehkan jama'-qosor, tetapi tentu lebih baik bila tidak dilakukan jama'.
Pertanyaan dari Bachrul
Assalaamu'alaikum.
Masih terkait dengan Jama' dan Qoshor, mohon penjelasannya.
1. Jum'at yang lalu saya bepergian naik kereta api Bangun Karta berangkat dari Senen jam 15.00 WIB. Jam tersebut, untuk waktu Jakarta dan sekitarnya belum masuk waktu ashar. Kalau hari-hari yang lain sih mudah, tinggal saya datang lebih awal lalu menjama' ashr dengan dzuhur. Sedangkan Jum'at bagaimana? Apakah lebih baik tetap jum'atan tetapi sholat asharnya di atas kereta (yang tidak bisa memenuhi semua syarat-syaratnya, misalnya menghadap qiblatnya) ataukah menjama' dzuhur dengan Ashr (tidak jum'atan)? Atau bagaimana? Karena penjelasan yang pernah saya dapat, sholat jum'at tidak dapat dijama' dengan sholat ashr (tidak sama dengan sholat dhzuhur).
2. Saya juga pernah mendapat penjelasan bahwa sholat jama'/Qoshor sudah bisa dilakukan jika kita sudah melakukan perjalanan, ketika sudah meninggalkan desa tempat kita mukim (sudah masuk desa lain). Penjelasan lain mengatakan bukan desa, tetapi kota/kabupaten. Manakah yang lebih kuat atau bagaimana? Mohon penjelasannya.
3. Tentang sholat di atas kendaraan (misalnya Kereta Api). Memang kita kadang-kadang bisa mendapatkan air di kamar mandi kereta. Tetapi jika saya berwudlu, biasanya tidak bisa dihindarkan dari terkena najis, karena kereta tsb bergerak kuat, sehingga saya hampir terjatuh. Dalam keadaan tsb biasanya pakaian jadi terkena najis. Dengan kecenderungan terkena najis tsb, apakah di lain kesempatan (kondisi yang sama) kita tetap tidak diperbolehkan tayammum?
4. Jika di dalam Kereta tsb kita mendapatkan adanya tempat sholat (musholla), tetapi posisi kereta tidak menghadap kiblat, bahkan kita tidak tahu sama sekali di mana posisi kiblat. Bolehkan kita memilih untuk sholat di kursi saja (dengan duduk), tidak di musholla tsb, menghadap/mengikuti arah jalannya kereta? Mohon penjelasannya.
Terima Kasih diucapkan kepada para ahli ilmu.
Wassalaamu'alaikum
Pertanyaan dari Suprapto
Menanggapi jawaban dari teman-teman dan mas-masnya semua.
Tentang jawaban dari pertanyaan saya No.2 alhamdulillah saya sudah faham sekarang.
Sedangkan jawaban dari pertanyaan No.1, saya ingin sedikit menambahi ikut urun rembug di sini. pada perjalanan itu kan kita memakai mobil pribadi, dimana kita bisa berhenti kapan saja dan dimana saja. Apakah tidak sebaiknya kita melaksanakan sholat dengan cara biasa saja (tidak dijama')?.
Kita analogikan misalanya sedang dalam perjalan panjang dan perut merasa lapar. Tentu saja kita berhenti sejenak untuk membeli makanan. Untuk makan saja kita mau berhenti sejenak, masak untuk melakukan sholat kita enggan melakukannya. Walaupun menjama' sholat itu merupakan kemudahan yang diberikan oleh Allah, bukan berarti kita tidak mau berusaha dong atau malah ambil enaknya saja. Layaknya lebih memilih untuk membayar fidyah dibanding harus puasa dengan alasan tidak kuat.
Jawaban dari Ustadz Ichsan Nafarin
Alaikumussalaam
1. Sepengetahuan saya sholat jum'at adalah pengganti dhuhur jadi posisinya sama dengan dhuhur misal dalam hal rawatibnya, bisa dijama'nya dengan ashar, waktunya dll. Akan tetapi memang kondisi ini jarang terjadi orang menjama' jum'at dengan ashar, karena bepergian di hari jum'at setelah shubuh sebelum jum'atan haram kecuali bisa memastikan bisa jum'atan di perjalanan. Dan musafir yang boleh tidak jum'atan adalah jika dia telah keluar dari batas 'desa' sebelum fajar. Karena itu jarang sekali orang kemudian bepergian sebelum jum'atan lalu di perjalanan dia shalat jum'at sekaligus jama' taqdim dengan ashar. Yang banyak dilakukan orang, bepergian hari Jum'at sebelum fajar sehingga bisa tidak jum'atan lalu ia sholat dhuhur dijama' dengan ashar. Atau dia pergi setelah jum'atan, akibatnya ia tidak bisa menjama' dengan ashar karena belum musafir.
Dalam kasus, tentu memang tidak ada banyak solusi karena ia berangkat jam 15.00 WIB sehingga tetap musti jum'atan dan tidak bisa menjama' ashar karena belum musafir. Yang bisa diambil, ia berangkat sebelum jum'atan lalu jum'atan di perjalanan sekaligus jama' dengan ashar (kalau sependapat bahwa sholat jum'at bisa dijama' dengan sholat ashar). Atau ia lakukan ashar di perjalanan (kereta) tetapi musti tetap sesuai syarat dan rukunnya. Tidak jum'atan? tentu ini bukan pilihan, tidak dimungkinkan ia meninggalkan jum'at karena memang tidak memenuhi syaratnya.
2. Tentu sholat jama' safar hanya bisa dilakukan saat sudah jadi musafir yaitu telah berangkat melewati batas tertentu. Batasan yang dipakai dalam fiqh adalah 'qoryah'. ini dimaknai batasan mulai tidak adanya rumah-rumah tinggal (kalau di kampung sana mulai masuk area persawahan). Tetapi situasi ini sulit diterapkan mengingat padatnya pemukiman sekarang. Yang sering dipakai adalah desa, tetapi umumnya dengan menganalogikan Kota Makkah dengan situasi sekarang mungkin kecamatan adalah batas yang lebih sesuai. Tentu tidak serta merta dipakai batas ini, kita perlu pertimbangkan kepantasan karena seperti rumah saya, menyebrang jalan sudah masuk kabupaten yang lain sehingga kalau saya sholat di mesjid sebrang jalan saya sudah keluar dari wilayah kabupaten, padahal itu masih dalam satu kompleks. Dipertimbangkan saja menurut urf kita sudah cukup jauh dari domisili kita atau tidak, sudah layakkah kita dikatakan musafir, dsb. Tetapi karena ini masalah fiqh yang perlu pembatasan yang jelas tidak ada salahnya pula jika menggunakan batas-batas pemerintah itu sebagai acuan.
3. Masalah najis ini saya masih bingung, kenapa mesti kena najis saat wudlu di kereta? Masalah ini sudah pernah dibahas panjang saat pertanyaan tentang orang yang sembarangan masuk mushola/masjid. Mungkin bisa direview lagi tentang kena najis ini. Ketakutan terkena najis bukanlah sebab yang membolehkan tayammum, kecuali sudah pasti air yang ada najis, maka baru boleh tayammum.
4. Menghadap kiblat adalah syarat sahnya sholat fardlu selain dalam kondisi genting (khauf). Karena itu, meskipun di kendaraan syarat ini tetap harus dipenuhi. Beda jika sholat sunnah, maka kewajiban menghadap kiblat hanya saat takbirotul ihram. Jika tidak memenuhi syarat tentu saja sholat tidak sah sehingga harus diulang saat bisa melakukannya dengan sempurna.
5. Pertanyaan tambahan suprapto, jelas bahwa memilih tidak jama' lebih utama. apalagi jika membawa mobil pribadi. Jika jama' pun taqdim lebih utama.
Wallaahu A'lamu
Pertanyaan dari Udin
Waduh, saya pulang kampung besok ini hari jum'at. Pesawat berangkat jam 01.30 dari batam, artinya jam 12.30 harus udah check in, telat 5 menit saja tidak boleh. Padahal di sini khutbah Jum'at mulai jam 12.15, sedangkan sholat jum'atnya biasanya jam 12.40-an. Semuanya selesai jam 1-an kurang sedikit.
Nah kalau seperti kasus saya ini bagaimana?
Dulu saya sholat Ashr saya jamak takhir sama dhuhur (karena saya tidak bisa sholat jum'at) pas sampai di Jakarta.
Mohon pencerahannya.
Jawaban dari Ustadz Ichsan Nafarin
Intinya tidak memenuhi syarat boleh meninggalkan jum’atan jika berangkat tidak sebelum fajar hari Jum’at. Solusinya lain kali beli tiket yang agak sore. Untuk sekarang, mungkin check-in saja sebelum jum’atan terus jum’atan di sekitar bandara. Selesai jum’atan terbang deh. Kalau tidak bisa, ya bagaimana lagi, istafti qolbak deh.
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
1. Apakah syarat kita diperbolehkan menjama' sholat? Apakah hanya karena kita bepergian jauh saja sudah diperbolehkan untuk menjama' sholat? Misalnya kita melakukan perjalanan dari Sidoarjo ke Yogyakarta dengan menggunakan mobil pribadi. Saat maghrib tiba, kita masih di Solo. Jika perjalanan diteruskan, Isya' baru sampai di Yogyakarta. Dalam kondisi seperti ini, Apa boleh kita menjama' sholat maghrib dan dilakukan pada waktu isya'?
2. Suatu waktu saya melakukan perjalanan dari Yogya ke Sidoarjo naik Bus Umum. Berangkat dari yogya jam 18.30. karena tidak tahu kapan sampai di Sidoarjo, saya memutuskan untuk menjama' sholat isya' dan dilakukan pada waktu maghrib. Ternyata saya telah tiba di Sidoarjo jam 1.00 dini hari. Dalam kondisi seperti ini, Apakah saya harus mengulang sholat isya yang tadi telah dijama'?
Terima kasih.
(Suprapto, 26 April 2009)
Jawaban dari Ustadz Ichsan Nafarin
Alaikumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh
Jawaban Pertanyaan 1
Salah satu syarat boleh jama' adalah safar ghairu maksiyat, jelas tempat tujuannya, jarak minimal 2 marhalah (+-90km).
Tata cara jama' ada 2, taqdim (dilakukan diwaktu dhuhur/maghrib) dan ta'khir (dilakukan waktu ashar/isya').
Syarat jama' ta'khir :
a. niat jama' sebelum waktu dhuhur/maghrib habis, karena kalau sudah habis waktu baru niat jama' berarti ada kesengajaan melalaikan sholat dhuhur/maghrib.
b.masih dalam perjalanan sampai waktu pertama habis.
Dari syarat b kita tahu bahwa tidak jadi masalah jika kita menjama' shalat maghrib di Jogja saat waktu isya' (ta'khir) karena kita sampai di Jogja saat sudah masuk isya' (tentu setelah niat jama' pada saat masih dalam waktu maghrib). Pelaksanaan sholat maghribnya kapan saja sepanjang masih dalam waktu isya' karena tidak ada syarat tartib maupun muwalah.
Jawaban Pertanyaan 2
Syarat jama' taqdim safar :
a. niat jama' sebelum salam pada sholat dhuhur/ashar.
b. tartib - berurutan dhuhur dulu baru ashar (atau maghrib dulu baru isya').
c. muwalah - bersambung (tidak terpisah lama antara shalat pertama dan kedua).
d. masih dalam perjalanan saat takbiratul ihram shalat kedua.
Dari syarat d kita tahu bahwa bahkan jika kita sampai Jogja masih waktu maghrib pun tidak menjadi masalah dan shalat isya' yang telah kita lakukan tetap sah dan tidak perlu diulang.
Wallaahu A'lamu
Tanggapan dari Faris
Masalah jamak dan qosor sholat adalah sebuah rukhsoh yang diberikan pada saat kita dalam perjalanan jauh.
Jawaban dari Ustadz Ichsan Nafarin
Memang jama' adalah satu bentuk rukhshoh, akan tetapi beda dengan qoshor.
Rukhshoh jama' dianjurkan untuk 'tidak diambil' dalam konteks khuruj minal khilaf (keluar dari khilafiyah) karena beberapa ulama madzhab tidak menyepakati bolehnya jama' dalam safar ataupun perbedaan-perbedaan dalam hal kriteria/syarat bolehnya jama'. Jadi bila memungkinkan shalat pada waktu masing-masing tanpa menjama' itu lebih utama untuk dipilih. Sedangkan untuk qoshor, rukhshohnya lebih utama untuk diambil.
Adapun pilihan taqdim dan ta'khir, lebih utama dipilih taqdim bila memungkinkan untuk berhenti shalat pada waktu pertama. Jika tidak, maka ta'khir lebih utama dipilih daripada memaksakan shalat sambil di atas kendaraan.
Wallaahu a'lamu bish-showwaab
Pertanyaan dari Safinda
Saya mau tanya pak. Pernah saya menemukan bahkan calon mertua saya sendiri.
Jadi begini. Kami bepergian ke jakarta tinggal di sana bermalam satu malam. Saya sampai jakarta jam 5 sore, terus waktu sholat magrib saya laksanakan biasa tidak saya jama' karena saya mukim 1 malam. Tetapi calon mertua saya memilih menjama' sholat nya di isya', dengan alasan musafir atau bepergian.
Nah yang menjadi tanda tanya bepergiannya itu bagaimana? Apakah kalau belum pulang ke rumah dianggap masih pergi, meski kita mukim 1 malam di tempat lain? Atau bagaimana? Mohon penjelasannya lebih rinci.
Suwun.
Jawaban dari Ustadz Ichsan Nafarin
Dalam Fiqh Syafi'i orang dianggap mukim bila :
1. Telah sampai di tempat domisilinya.
2. Sampai ditempat tujuan dimana ia meniatkan untuk tinggal disitu selama 4 hari (tidak termasuk hari datang dan hari pulang - jadi bisa sampai 6 hari)
3. Telah melampaui masa 18 hari untuk kasus seseorang tidak meniatkan menetap di suatu tempat dalam jumlah hari tertentu karena suatu urusan yang belum jelas waktu selesainya (bisa saja nantinya kurang dari 4 hari atau lebih dari 4 hari). Ia akan segera meninggalkan tempat tersebut jika urusannya telah selesai. Jika sehari urusan beres pun ia akan langsung pergi atau niatnya tidak akan melampaui 4 hari jika urusan telah selesai, sebaliknya jika 4 hari belum selesai akan ia tunggu sampai selesai.
Jadi apabila seseorang tidak berada dalam kriteria di atas maka ia dikatakan musafir, dan musafir tersebut bila memenuhi kriteria-kriteria tertentu boleh jama', qosor, tidak jum'atan, tidak puasa, dsb.
Tetapi kembali ke kasus yang dialami tadi, memang masih diperbolehkan jama'-qosor, tetapi tentu lebih baik bila tidak dilakukan jama'.
Pertanyaan dari Bachrul
Assalaamu'alaikum.
Masih terkait dengan Jama' dan Qoshor, mohon penjelasannya.
1. Jum'at yang lalu saya bepergian naik kereta api Bangun Karta berangkat dari Senen jam 15.00 WIB. Jam tersebut, untuk waktu Jakarta dan sekitarnya belum masuk waktu ashar. Kalau hari-hari yang lain sih mudah, tinggal saya datang lebih awal lalu menjama' ashr dengan dzuhur. Sedangkan Jum'at bagaimana? Apakah lebih baik tetap jum'atan tetapi sholat asharnya di atas kereta (yang tidak bisa memenuhi semua syarat-syaratnya, misalnya menghadap qiblatnya) ataukah menjama' dzuhur dengan Ashr (tidak jum'atan)? Atau bagaimana? Karena penjelasan yang pernah saya dapat, sholat jum'at tidak dapat dijama' dengan sholat ashr (tidak sama dengan sholat dhzuhur).
2. Saya juga pernah mendapat penjelasan bahwa sholat jama'/Qoshor sudah bisa dilakukan jika kita sudah melakukan perjalanan, ketika sudah meninggalkan desa tempat kita mukim (sudah masuk desa lain). Penjelasan lain mengatakan bukan desa, tetapi kota/kabupaten. Manakah yang lebih kuat atau bagaimana? Mohon penjelasannya.
3. Tentang sholat di atas kendaraan (misalnya Kereta Api). Memang kita kadang-kadang bisa mendapatkan air di kamar mandi kereta. Tetapi jika saya berwudlu, biasanya tidak bisa dihindarkan dari terkena najis, karena kereta tsb bergerak kuat, sehingga saya hampir terjatuh. Dalam keadaan tsb biasanya pakaian jadi terkena najis. Dengan kecenderungan terkena najis tsb, apakah di lain kesempatan (kondisi yang sama) kita tetap tidak diperbolehkan tayammum?
4. Jika di dalam Kereta tsb kita mendapatkan adanya tempat sholat (musholla), tetapi posisi kereta tidak menghadap kiblat, bahkan kita tidak tahu sama sekali di mana posisi kiblat. Bolehkan kita memilih untuk sholat di kursi saja (dengan duduk), tidak di musholla tsb, menghadap/mengikuti arah jalannya kereta? Mohon penjelasannya.
Terima Kasih diucapkan kepada para ahli ilmu.
Wassalaamu'alaikum
Pertanyaan dari Suprapto
Menanggapi jawaban dari teman-teman dan mas-masnya semua.
Tentang jawaban dari pertanyaan saya No.2 alhamdulillah saya sudah faham sekarang.
Sedangkan jawaban dari pertanyaan No.1, saya ingin sedikit menambahi ikut urun rembug di sini. pada perjalanan itu kan kita memakai mobil pribadi, dimana kita bisa berhenti kapan saja dan dimana saja. Apakah tidak sebaiknya kita melaksanakan sholat dengan cara biasa saja (tidak dijama')?.
Kita analogikan misalanya sedang dalam perjalan panjang dan perut merasa lapar. Tentu saja kita berhenti sejenak untuk membeli makanan. Untuk makan saja kita mau berhenti sejenak, masak untuk melakukan sholat kita enggan melakukannya. Walaupun menjama' sholat itu merupakan kemudahan yang diberikan oleh Allah, bukan berarti kita tidak mau berusaha dong atau malah ambil enaknya saja. Layaknya lebih memilih untuk membayar fidyah dibanding harus puasa dengan alasan tidak kuat.
Jawaban dari Ustadz Ichsan Nafarin
Alaikumussalaam
1. Sepengetahuan saya sholat jum'at adalah pengganti dhuhur jadi posisinya sama dengan dhuhur misal dalam hal rawatibnya, bisa dijama'nya dengan ashar, waktunya dll. Akan tetapi memang kondisi ini jarang terjadi orang menjama' jum'at dengan ashar, karena bepergian di hari jum'at setelah shubuh sebelum jum'atan haram kecuali bisa memastikan bisa jum'atan di perjalanan. Dan musafir yang boleh tidak jum'atan adalah jika dia telah keluar dari batas 'desa' sebelum fajar. Karena itu jarang sekali orang kemudian bepergian sebelum jum'atan lalu di perjalanan dia shalat jum'at sekaligus jama' taqdim dengan ashar. Yang banyak dilakukan orang, bepergian hari Jum'at sebelum fajar sehingga bisa tidak jum'atan lalu ia sholat dhuhur dijama' dengan ashar. Atau dia pergi setelah jum'atan, akibatnya ia tidak bisa menjama' dengan ashar karena belum musafir.
Dalam kasus, tentu memang tidak ada banyak solusi karena ia berangkat jam 15.00 WIB sehingga tetap musti jum'atan dan tidak bisa menjama' ashar karena belum musafir. Yang bisa diambil, ia berangkat sebelum jum'atan lalu jum'atan di perjalanan sekaligus jama' dengan ashar (kalau sependapat bahwa sholat jum'at bisa dijama' dengan sholat ashar). Atau ia lakukan ashar di perjalanan (kereta) tetapi musti tetap sesuai syarat dan rukunnya. Tidak jum'atan? tentu ini bukan pilihan, tidak dimungkinkan ia meninggalkan jum'at karena memang tidak memenuhi syaratnya.
2. Tentu sholat jama' safar hanya bisa dilakukan saat sudah jadi musafir yaitu telah berangkat melewati batas tertentu. Batasan yang dipakai dalam fiqh adalah 'qoryah'. ini dimaknai batasan mulai tidak adanya rumah-rumah tinggal (kalau di kampung sana mulai masuk area persawahan). Tetapi situasi ini sulit diterapkan mengingat padatnya pemukiman sekarang. Yang sering dipakai adalah desa, tetapi umumnya dengan menganalogikan Kota Makkah dengan situasi sekarang mungkin kecamatan adalah batas yang lebih sesuai. Tentu tidak serta merta dipakai batas ini, kita perlu pertimbangkan kepantasan karena seperti rumah saya, menyebrang jalan sudah masuk kabupaten yang lain sehingga kalau saya sholat di mesjid sebrang jalan saya sudah keluar dari wilayah kabupaten, padahal itu masih dalam satu kompleks. Dipertimbangkan saja menurut urf kita sudah cukup jauh dari domisili kita atau tidak, sudah layakkah kita dikatakan musafir, dsb. Tetapi karena ini masalah fiqh yang perlu pembatasan yang jelas tidak ada salahnya pula jika menggunakan batas-batas pemerintah itu sebagai acuan.
3. Masalah najis ini saya masih bingung, kenapa mesti kena najis saat wudlu di kereta? Masalah ini sudah pernah dibahas panjang saat pertanyaan tentang orang yang sembarangan masuk mushola/masjid. Mungkin bisa direview lagi tentang kena najis ini. Ketakutan terkena najis bukanlah sebab yang membolehkan tayammum, kecuali sudah pasti air yang ada najis, maka baru boleh tayammum.
4. Menghadap kiblat adalah syarat sahnya sholat fardlu selain dalam kondisi genting (khauf). Karena itu, meskipun di kendaraan syarat ini tetap harus dipenuhi. Beda jika sholat sunnah, maka kewajiban menghadap kiblat hanya saat takbirotul ihram. Jika tidak memenuhi syarat tentu saja sholat tidak sah sehingga harus diulang saat bisa melakukannya dengan sempurna.
5. Pertanyaan tambahan suprapto, jelas bahwa memilih tidak jama' lebih utama. apalagi jika membawa mobil pribadi. Jika jama' pun taqdim lebih utama.
Wallaahu A'lamu
Pertanyaan dari Udin
Waduh, saya pulang kampung besok ini hari jum'at. Pesawat berangkat jam 01.30 dari batam, artinya jam 12.30 harus udah check in, telat 5 menit saja tidak boleh. Padahal di sini khutbah Jum'at mulai jam 12.15, sedangkan sholat jum'atnya biasanya jam 12.40-an. Semuanya selesai jam 1-an kurang sedikit.
Nah kalau seperti kasus saya ini bagaimana?
Dulu saya sholat Ashr saya jamak takhir sama dhuhur (karena saya tidak bisa sholat jum'at) pas sampai di Jakarta.
Mohon pencerahannya.
Jawaban dari Ustadz Ichsan Nafarin
Intinya tidak memenuhi syarat boleh meninggalkan jum’atan jika berangkat tidak sebelum fajar hari Jum’at. Solusinya lain kali beli tiket yang agak sore. Untuk sekarang, mungkin check-in saja sebelum jum’atan terus jum’atan di sekitar bandara. Selesai jum’atan terbang deh. Kalau tidak bisa, ya bagaimana lagi, istafti qolbak deh.
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)
0 Response to "Perihal Sholat Jamak"
Posting Komentar