Kedudukan Hadits dan Penjelasan Mengenai Hadits Mutawatir
Alhamdulillah, kita lanjutkan kajian kita. Kembali kepada al-Quran dan al-Hadiits.
Melalui sunnahnya, Rasulullah SAW, mendapatkan otoritas untuk menjelaskan, membatasi, dan mengkhususkan hukum. Allah SWT berfirman dalam an-Nahl ayat 44 yang artinya: “Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”.
Allah SWT berfirman dalam al-Hasyr ayat 7:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras siksanya”. (Al-Hasyr: 7)
Allah SWT juga berfirman dalam Surah asy-Syuraa ayat 42 yang artinya: Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) menunjukkan kepada jalan yang lurus.”
Ketiga ayat tersebut menunjukkan bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Quran dalam menentukan hukum.
Perintah untuk mengikuti Rasulullah SAW secara tegas juga disebutkan dalam surah Aali ‘Imraan ayat 31: “Katakanlah (hai Muhammad): ’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (ikutilah tuntunan dan petunjukku), niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.”
Rasulullah SAW sendiri juga telah menerangkan bahwa kita harus berpegang kepada Kitabullah (al-Quran) dan Sunnah Rasulullah (al-Hadiits). Beliau bersabda: “Aku tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpedoman kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di Telaga (Telaga Nabi SAW di Surga).” (HR Imam al-Hakim dan al-Baihaqi)
Ada orang dan juga golongan yang enggan mengikuti sunnah Rasulullah SAW dengan memilih hanya menggunakan al-Quran saja sebagai pedoman. Mereka ini adalah golongan inkarussunnah (yang mengingkari sunnah). Hal ini telah dinubuwwahkan oleh Rasulullah SAW: “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab (al-Qur-an) dan yang sepertinya bersamanya. Ketahuilah, nanti akan ada orang yang kenyang di atas tempat bersandarnya sambil berkata, ‘Cukuplah bagimu untuk berpegang dengan al-Quran, apa-apa yang kalian dapati hukum halal di dalamnya maka halalkanlah dan apa-apa yang kalian dapati hukum haram di dalamnya, maka haramkanlah.’ (Ketahuilah) sesungguhnya apa-apa yang diharamkan Rasulullah adalah sama seperti yang diharamkan Allah. Ketahuilah bahwa tidak halal bagi kalian keledai negeri dan tiap-tiap yang bertaring dari binatang buas dan tidak halal pula barang pungutan (kafir) mu’ahad kecuali bila pemiliknya tidak memerlukannya dan barangsiapa yang singgah di suatu kaum, maka wajib atas mereka menghormatinya. Bila mereka tidak menghormatinya, maka wajib baginya menggantikan yang serupa dengan penghormatan itu.” (HR Imam Abu Dawud, Ahmad, ath-Thabrani, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban)
Dengan demikian, telah jelas bagi kita kaum Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa pedoman kita adalah al-Quran dan juga al-Hadiits. Tidak bisa kita mencukupkan hanya dengan yang ada di dalam al-Quran, karena banyak rincian hukum juga dijelaskan melalui al-Hadiits.
Dari segi priwayatannya, hadits itu terbagi atas:
1. Hadits Mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut 'aadah, mustahil mereka bersepakat lebih dahulu untuk berdusta.
2. Hadits Ahad, yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Ada yang menambahkan kelompok ketiga, yaitu Hadits Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, selama tidak mencapai tingkatan mutawatir.
Hadits Mutawatir mempunyai kekuatan hukum yang qath’i (pasti/tanpa keraguan). Artinya, Hadits Mutawatir itu harus diyakini kebenarannya tanpa keraguan dan hukum yang terkandung di dalamnya adalah pasti kebenarannya.
Kriteria hadits mutawatir adalah:
Hadits Mutawatir itu terbagi dua, yaitu:
Demikian pengajian kita hari ini. Semoga bermanfaat. In syaa Allah kita lanjutkan minggu depan. Silakan baca Hamdalah. Wassalaamu alaikum WW.
(Kajian Whatsapp bulan Agustus 2018 oleh Dr.K.H.M.Dawud Arif Khan)
Melalui sunnahnya, Rasulullah SAW, mendapatkan otoritas untuk menjelaskan, membatasi, dan mengkhususkan hukum. Allah SWT berfirman dalam an-Nahl ayat 44 yang artinya: “Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”.
Allah SWT berfirman dalam al-Hasyr ayat 7:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras siksanya”. (Al-Hasyr: 7)
Allah SWT juga berfirman dalam Surah asy-Syuraa ayat 42 yang artinya: Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) menunjukkan kepada jalan yang lurus.”
Ketiga ayat tersebut menunjukkan bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Quran dalam menentukan hukum.
Perintah untuk mengikuti Rasulullah SAW secara tegas juga disebutkan dalam surah Aali ‘Imraan ayat 31: “Katakanlah (hai Muhammad): ’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (ikutilah tuntunan dan petunjukku), niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.”
Rasulullah SAW sendiri juga telah menerangkan bahwa kita harus berpegang kepada Kitabullah (al-Quran) dan Sunnah Rasulullah (al-Hadiits). Beliau bersabda: “Aku tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpedoman kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di Telaga (Telaga Nabi SAW di Surga).” (HR Imam al-Hakim dan al-Baihaqi)
Ada orang dan juga golongan yang enggan mengikuti sunnah Rasulullah SAW dengan memilih hanya menggunakan al-Quran saja sebagai pedoman. Mereka ini adalah golongan inkarussunnah (yang mengingkari sunnah). Hal ini telah dinubuwwahkan oleh Rasulullah SAW: “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab (al-Qur-an) dan yang sepertinya bersamanya. Ketahuilah, nanti akan ada orang yang kenyang di atas tempat bersandarnya sambil berkata, ‘Cukuplah bagimu untuk berpegang dengan al-Quran, apa-apa yang kalian dapati hukum halal di dalamnya maka halalkanlah dan apa-apa yang kalian dapati hukum haram di dalamnya, maka haramkanlah.’ (Ketahuilah) sesungguhnya apa-apa yang diharamkan Rasulullah adalah sama seperti yang diharamkan Allah. Ketahuilah bahwa tidak halal bagi kalian keledai negeri dan tiap-tiap yang bertaring dari binatang buas dan tidak halal pula barang pungutan (kafir) mu’ahad kecuali bila pemiliknya tidak memerlukannya dan barangsiapa yang singgah di suatu kaum, maka wajib atas mereka menghormatinya. Bila mereka tidak menghormatinya, maka wajib baginya menggantikan yang serupa dengan penghormatan itu.” (HR Imam Abu Dawud, Ahmad, ath-Thabrani, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban)
Dengan demikian, telah jelas bagi kita kaum Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa pedoman kita adalah al-Quran dan juga al-Hadiits. Tidak bisa kita mencukupkan hanya dengan yang ada di dalam al-Quran, karena banyak rincian hukum juga dijelaskan melalui al-Hadiits.
Dari segi priwayatannya, hadits itu terbagi atas:
1. Hadits Mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut 'aadah, mustahil mereka bersepakat lebih dahulu untuk berdusta.
2. Hadits Ahad, yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Ada yang menambahkan kelompok ketiga, yaitu Hadits Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, selama tidak mencapai tingkatan mutawatir.
Hadits Mutawatir mempunyai kekuatan hukum yang qath’i (pasti/tanpa keraguan). Artinya, Hadits Mutawatir itu harus diyakini kebenarannya tanpa keraguan dan hukum yang terkandung di dalamnya adalah pasti kebenarannya.
Kriteria hadits mutawatir adalah:
- Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, sehingga bisa memberikan keyakinan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Bila suatu hadits diriwayatkan oleh begitu banyak orang, sehingga para Ahli Hadits sampai pada tingkatan untuk meyakini bahwa para perawi itu tidak mungkin untuk bersepakat mengada-adakan sesuatu (tidak mungkin bersepakat untuk mengatakan bahwa itu dari Rasulullah SAW, padahal boleh jadi tidak), maka hadits itu dihukumi mutawatir.
- Adanya kesinambungan antara perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan thabaqat (generasi) berikutnya. Jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya harus seimbang, artinya jika pada generasi pertama berjumlah 20 orang, maka pada generasi berikutnya juga harus 20 orang atau lebih. Namun, tidak semua Ulama Hadits mensyaratkan hal ini. Logika dari persyaratan ini adalah bahwa berita dari Rasulullah SAW yang disampaikan oleh shahabat tentu ditangkap oleh lebih banyak generasi berikutnya, atau paling tidak sama. Bila generasi berikutnya yang meriwayatkan jumlahnya lebih sedikit, maka artinya ada satu perawi yang menerima lebih dari satu orang dari generasi sebelumnya. Hal ini mengurangi kredibilitas riwayat itu. Berbeda bila generasi yang mendengar lebih banyak dari yang meriwayatkan, maka hal itu akan lebih meyakinkan. Demikian luar biasanya tingkat kehati-hatian para Ulama dalam menjaga hukum syari’ah itu. Wa Allah A’lam.
- Berdasarkan Tangkapan Pancaindra, maksudnya hadits yang sudah mereka sampaikan itu harus benar hasil dari pendengaran atau penglihatan mereka sendiri. Tidak bisa suatu hadits mutawatir diterima sebagai “katanya” atau “sepertinya” dan yang sejenisnya, meski yang mengatakan banyak.
Hadits Mutawatir itu terbagi dua, yaitu:
- Mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang kemutawatiran perawinya masih dalam satu lafazh. Hadits semacam ini diketahui hanya ada satu, yaitu Sabda Rasulullah SAW yang artinya: ”Barang siapa berdusta atas (nama) diriku secara sengaja, ia telah menyediakan tempatnya di Neraka.” (HR Jama’ah Ahli Hadits) Ibnu Shalah berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62 shahabat, termasuk 10 shahabat yang dijamin masuk Surga. Ibrahim al-Haraby dan Abu Bakar al-Bazariy berpendapat bahwa hadit ini diriwayatkan oleh lebih dari 400 shahabat.
- Mutawatir Ma’nawiy, yaitu hadits yang para perawinya berbeda-beda dalam menyusun redaksi haditsnya, tetapi pada prinsipnya makna atau maksud yang dituju adalah sama. Ada beberapa hadits mutawatir ma’nawiy, di antaranya adalah hadits di mana para shahabat mengatakan, “Rasulullah saw tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam berdo’a, sehingga tampak putih kedua ketiak beliau, selain dalam do’a shalat istisqaa.” (HR Jama’ah Ahli Hadits) Lafadz (redaksi) haditsnya bermacam-macam, namun makna yang dituju adalah sama, yaitu bahwa Rasulullah SAW apabila berdoa dalam shalat istisqa’ itu mengangkat tangan beliau sedemikian tingginya, sehingga orang yang dari samping beliau dapat melihat putihnya ketiak beliau, karena jubahnya menjadi menjuntai ke bawah. Dari hadits tersebut, menjadi jelas dan pasti bagi kita bahwa berdoa itu disunnahkan mengangkat tangan. Apabila yang dimohonkan itu demikian mendesak, maka semakin tinggi tangan kita diangkat, untuk menunjukkan betapa sungguh-sungguh kita dalam berdoa tersebut. Wa Allah A’lam.
Demikian pengajian kita hari ini. Semoga bermanfaat. In syaa Allah kita lanjutkan minggu depan. Silakan baca Hamdalah. Wassalaamu alaikum WW.
(Kajian Whatsapp bulan Agustus 2018 oleh Dr.K.H.M.Dawud Arif Khan)
Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)
0 Response to "Kedudukan Hadits dan Penjelasan Mengenai Hadits Mutawatir"
Posting Komentar