Hadits Ahad dan Hadits Masyhur

Alhamdulillah, kita lanjutkan kajian kita. Selanjutnya kita bahas Hadits Ahad dan Hadits Masyhur.

Hadits Ahad adalah yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa perawi, yang tidak mencapai tingkat mutawatir. Boleh jadi hadits itu diriwayatkan oleh 10 orang shahabat atau jumlah di bawah itu, atau bahkan mungkin hanya oleh satu orang shahabat. Kekuatan hukum Hadits Ahad, apabila berstatus shahih, hanyalah bersifat zhanni, apalagi yang di bawah tingkatan shahih. Ada yang menambahkan Hadits Masyhur, yaitu hadits yang pada tingkatan shahabat adalah hadits Ahad, kemudian di kalangan generasi berikutnya diriwayatkan secara mutawatir. Kekuatan hukum Hadits Masyhur, apabila berstatus shahih, juga tetap bersifat zhanni. Maksud zhanni di sini adalah tidak mutlak untuk diterima, karena bila isinya ada ta’arudh (pertentangan) dengan ayat al-Quran atau kaidah umum yang terkandung dalam ayat al-Quran, atau ta’arudh dengan hadits shahih yang lain, maka para Imam Mujtahid mungkin saja mengabaikan atau mentafshil (memerinci hukum) dari hadits tersebut.

Sebagai contoh, masalah keluarga yang menangis dan meratapi kematian, apakah si mayyit akan mendapatkan siksa karena tangisan atau ratapan keluarganya itu? Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Ubaidillah ibn Mulaikah meriwayatkan bahwa salah seorang anak perempuan Utsman meninggal dunia di Makkah. Kamu pun pergi menjenguknya, termasuk Ibn Umar dan Ibn Abbas. Aku (Ubaidillah) duduk di antara keduanya (atau duduk di samping salah satunya….). (Saat itu keluarga jenazah pada menangis atau ada yang menangis) Kemudian Ibn Umar berkata kepada ‘Amr bin Utsman, “Mengapakah engkau tidak melarang tangisan itu? Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa mayit itu disiksa karena tangisan keluarganya?” (HR Imam Bukhari)

Ibn Abbas menceritakan bahwa ia pernah bepergian dari Makkah bersama Umar bin Khaththab. Ketika sampai di Baida, mereka mendapati ada sekelompok orang yang berkerumun di bawah pohon. Umar berkata, “Periksalah, siapa orang-orang itu?” Ibn Abbas kemudian menghampiri kumpulan itu dan ia mendapati Shuhaib di sana. Ibn Abbas memberitahu Umar bahwa ia menjumpai Shuhaib. Umar berkata, “Panggilkan dia untuk menemuiku.” Ibn Abbas pun memanggil Shubaih, “Pergilah kamu, temui Amiirul Mukminiin.” Shubaib segera bergegas menemui Umar. Ia datang sambil menangis dan berkata, “Duhai sudaraku, duhai sahabatku.” Umar kemudian berkata, “Hai Shuhaib, mengapa engkau menangis kepadaku? Bukankah Rasulullah pernah bersabda, ‘Sesungguhnya mayit itu disiksa karena tangisan keluarganya?’.” (HR Imam Bukhari)

Apabila kita mengikuti hadits-hadits ini semata, maka kita akan menarik hukum bahwa menangis ketika ditinggal mati salah seorang keluarga atau saudara adalah haram hukumnya, karena dapat mengakibatkan hal yang buruk, yakni disiksanya jenazah karena tangisan tersebut. Namun, kesimpulan hukum semacam itu ternyata bertentangan dengan kaidah umum di dalam al-Quran yang menyebutkan bahwa seorang manusia itu tidak menanggung dosa akibat perbuatan orang lain. Allah SWT berfirman dalam Surah an-Najm ayat 38, yang artinya: “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,”

Hal ini berbeda dengan masalah pahala, karena ada takhsish dalam al-Qur’an dan juga hadits-hadits yang menunjukkan bahwa pahala itu mungkin dan bisa dihadiahkan. Hal ini juga berbeda dengan dosa yang diterima oleh seorang yang hasud dari orang yang dihasudi, karena ia menerima dosa itu adalah karena perbuatan hasudnya. Sedangkan mayit bukanlah subyek yang berbuat menangis itu. (Wa Allah A’lam).

Penjelasan tentang persoalan ini sebenarnya juga telah disebutkan di dalam Shahih Bukhari, melalui riwayat Ibn Mulaikah. Ketika Sayyidinaa Umar bin Khaththab telah wafat, Ibn Abbas menanyakan persoalan menangisi jenazah itu kepada Sayyidah ‘Aisyah. Beliau menjawab, “Semoga Allah merahmati Umar. Demi Allah, Rasulullah SAW tidak pernah mengatakan bahwa mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya. (Yang benar) Beliau (SAW) mengatakan, “Sesungguhnya Allah akan menambah beratnya siksaan orang kafir, karena tangisan keluarganya.” Sayyidah ‘Aisyah kemudian melanjutkan, “Cukuplah bagimu al-Quran yang mengatakan, ‘bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,’ (An-Najm ayat 38). Ibn Abbas kemudian menambahi dengan membaca ayat (yang artinya), “Dialah yang membuat orang tertawa dan menangis.” (An-Najm ayat 43). (HR Imam Bukhari)

Adapun sabda Nabi SAW terkait masalah tersebut juga sudah disebutkan melalui riwayat ‘Aisyah, yang menceritakan bahwa ia bersama Rasulullah SAW suatu ketika melewati jenazah seorang Yahudi yang sedang ditangisi oleh keluarganya. Nabi SAW kemudian bersabda, “Sesungguhnya mereka itu menangisi keluarganya, sedangkan si mayyit sedang disiksa di dalam kuburnya.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Apa yang disampaikan oleh Sayyidah ‘Aisyah sejalan dengan fakta bahwa Rasulullah SAW pun menangis ketika putra beliau, Ibrahim, wafat. Dari Anas bin Malik ra., dia berkata: “Kami bersama Rasulullah SAW mendatangi Abu Saif al-Qaiyn yang (isterinya) telah mengasuh dan menyusui Ibrahim (bin Rasulillah SAW). Lalu Rasulullah SAW mengambil Ibrahim dan menciumnya. Setelah itu, pada kesempatan yang lain kami mengunjunginya sedangkan Ibrahim telah meninggal. Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah SAW berlinang air mata. Lalu berkatalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf kepada beliau: “Mengapa Engkau menangis, Yaa Rasulallah?” Beliau SAW menjawab: “Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang).” Beliau lalu melanjutkan dengan kalimat yang lain dan bersabda: “Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan dengan perpisahan ini, yaa Ibrahim, pastilah kami bersedih”. (HR Imam Bukhari)

Jadi, menangis ketika ditinggal mati keluarga atau saudara bukanlah hal yang haram. Adapun untuk menangis yang berlebihan hingga meratap-ratap, maka hal itu adalah perkara yang berbeda. Ada Hadits lain yang membahas masalah tersebut dan melarang hal tersebut. Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: Ketika Zainab binti Rasulullah SAW meninggal dunia, lalu para wanita menangis. Kemudian Sayyidinaa Umar memukul mereka dengan cambuknya. Lalu Rasulullah SAW memegang tangan Umar sambil bersabda, “Sabar ya Umar!" Kemudian beliau bersabda, “Jauhkankah diri kalian dari raungan syaithan". Kemudian beliau bersabda (pula), “Karena sesungguhnya bila tangisan itu hanya sekedar mengeluarkan air mata dan kesedihan hati, maka ia itu berasal dari Allah 'Azza wa Jalla dan dari perasaan iba. Dan bila tangisan itu diikuti perbuatan tangan dan lisan, maka ia itu berasal dari syaithan". (HR Imam Ahmad)

Demikian pengajian kita hari ini. Semoga bermanfaat. In syaa Allah kita lanjutkan minggu depan, masih membahas Hadits Ahad dan Masyhur dan persoalan penyimpulan hukum yang harus memperhatikan banyak hal selain isi hadits itu sendiri. Silakan baca Hamdalah. Wassalaamu alaikum WW.

Kajian Whatsapp bulan Agustus 2018 oleh Dr.K.H.M.Dawud Arif Khan

0 Response to "Hadits Ahad dan Hadits Masyhur"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel