Kaidah Pokok Istinbath Hukum dari Alquran

Jamaah Pengajian Tematik IMAN PKN STAN yang dirahmati Allah SWT. Di pengajian sebelumnya telah kita bahas mengenai sumber hukum fiqih yang utama, yaitu al-Quran al-Kariim, dan juga telah kita bahas bahwa ada banyak persyaratan dalam mengistinbath hukum dari al-Quran, terutama penguasaan Bahasa Arab. Masih di tema yang sama kita lanjutkan kajian kita.

Terdapat kaidah ushuliyyah (pokok) menyangkut instinbath (menarik/menyimpulkan) hukum dari al-Quran, yaitu:

Pertama, semua instinbath hukum harus mengacu kepada kaidah umum yang terkandung dalam al-Quran. Patokannya adalah bahwa setiap perbuatan yang disebutkan sebagai diagungkan oleh Allah, dipuji dan dicintai pelakunya, dan yang senada, maka perbuatan itu dituntut untuk dilakukan. Hukumnya bisa wajib atau sunnah, melihat kepada kalam yang dipergunakan dalam al-Quran. Sebaliknya, setiap perbuatan yang dikecam atau dicela pelakunya , dan yang senada, maka perbuatan itu dituntut untuk ditinggalkan. Hukumnya bisa haram atau makruh, tergantung kalam yang dipergunakan dalam al-Quran. Apabila ayat menunjukkan bahwa suatu perbuatan boleh dilakukan atau meniadakan kesulitan dan dosa bagi pelakunya, maka hukumnya mubah.

Kaidah pokok ini penting agar kita jangan terbalik-balik dalam menafsiri al-Quran atau memelintir makna mengikuti hawa nafsu kita, atau kita mengikut2 orang yang melakukan hal tersebut. Wal 'iyaadz bi Allah. Surah at-Taubah ayat 100 misalnya adalah ayat pujian kepada para shahabat, baik Muhajirin maupun Anshar, serta kalangan tabi'in yang mengikuti kebaikan para shahabat. Artinya, kita diminta untuk mempercayai mereka, meneladani mereka, dan juga menjadikan mereka sebagai panutan. Namun, sebagian orang Syi'ah malah memperlakukan ayat tersebut sebagai ayat untuk mendiskreditkan shahabat. Dari segi bahasa dan gagasannya saja sudah terbalik-balik.

Kaidah pokok itu juga penting agar kita lebih berhati-hati dalam menyikapi hal-hal yang dibahas oleh suatu ayat dengan bahasa larangan, kecaman, atau pun sindiran. Dalam kajian fiqih, sikap ikhtiyat atau berhati-hati adalah penting, karena mencegah keburukan atau kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Wa Allah A'lam.

Kedua, untuk memahami kandungan al-Quran, harus mengetahui secara baik asbaab an-nuzuul (sebab-sebab atau peristiwa yang mengiringi turunnya ayat-ayat al-Quran), karena ketidaktahuan hal itu akan menimbulkan kerancuan dalam memahami hukum. Salah seorang Khalifah Bani Umayyah, yakni Marwan bin Hakam, pernah mengalami kegalauan, ketika ia tengah bertafakkur mengenai Surah Aali ‘Imraan ayat 188 yang artinya: “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa dan bagi mereka siksa yang pedih.”

Sang Khalifah galau, karena ia memahami ayat itu tanpa mengkaji sebab turunnya (sabab an-nuzuul). Ia berkata, “ jika orang yang senang dengan apa yang telah diberikannya dan ingin dipuji dengan apa yang tidak dilakukannya akan disiksa, maka kita semua akan disiksa.”

Kegalauan sang Khalifah kemudian teratasi setelah Sayyidinaa Ibn Abbas menjelaskan maksud ayat tersebut, yakni bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan orang Yahudi. Asbab al-nuzulnya adalah suatu ketika Nabi SAW menanyakan sesuatu kepada mereka (kaum Yahudi). Orang-orang Yahudi itu merahasiakan jawabannya dan memberi jawaban yang tidak sebenarnya. Mereka memperlihatkan keinginan untuk memperoleh pujian dari beliau atas jawaban yang mereka berikan. Mereka kemudian merasa gembira dengan menyembunyikan jawaban yang sebenarnya. Kemudian turunlah ayat di atas.

Peristiwa yang lebih “unik” lagi terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab. Beliau, Umar bin Khattab telah menugaskan Qudamah bin Mazh’un sebagai Gubernur di Bahrain dan dia adalah paman Hafshah dan Abdullah bin Umar. Suatu ketika datanglah Jarud Sayyid Abdul Qais dari Bahrain menghadap Khalifah Umar. Ia berkata, “Yaa Amirul mukminin, Qudamah telah meminum khamar dan mabuk. Jatuhkanlah hukuman had kepadanya”. Umar berkata “siapa yang menjadi saksi bersamamu?”. Jarud menjawab, “Abu Hurairah”. Umar pun memerintahkan agar Abu Hurairah dipanggil, dan ia berkata “Adakah kamu menyaksikannya?” Abu Hurairah berkata, “Aku tidak melihatnya minum, tetapi aku melihatnya mabuk.” Umar berkata, ”Kamu telah merubah kesaksian.” Kemudian Umar menulis surat kepada Qudamah untuk datang menemuinya. Qudamah pun datang. Ketika Qudamah telah berada di Madinah, Jarud berkata (mendesak lagi) kepada Umar, “Jatuhkanlah hukuman (had) Allah kepadanya.” Umar berkata “kamu membencinya atau seorang saksi?” Jarud menjawab, “Saksi” .Umar berkata, “Kamu telah memberikan kesaksian”. Kemudian Jarud memaksa Umar untuk melaksanakan had kepada Qudamah. Umar berkata “menurutku kamu membencinya, tidak ada yang menyaksikan bersamamu kecuali seorang”. Jarud berkata “Allah SWT menyaksikanmu”. Umar berkata “Jagalah lisanmu atau aku akan menyakitimu.” Jarud berkata, “Wahai Umar, itukah kebenaran? Anak pamanmu meminum khamar dan kamu akan menyakitiku?” Abu Hurairah berkata “Wahai Umar, jika kamu meragukan kesaksian kami, maka pergilah bertanya  kepada anak perempuan Walid, yaitu istri Qudamah. Umar pun mendatangi Hindun binti Walid dan meminta kesaksian. Kemudian dia memberi kesaksian. Maka Umar berkata kepada Qudamah “Aku akan menghukummu”. Qudamah berkata, “Jika memang aku meminum khamar, maka kamu tidak berhak menghukumku”. Umar berkata “Kenapa?”. Qudamah menjawab “Karena Allah SWT berfirman, ‘Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa dan beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh (al-Maaidah ayat 93)’.” Umar berkata, “Takwilmu keliru, jika kamu bertakwa kepada Allah maka kamu pasti menjauhkan diri dari apa yang diharamkan.” (Atsar Riwayat Imam al-Baihaqi dan Abdurrazzaaq)

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Sayyidinaa Umar meminta pendapat kepada Sayyidinaa Ibnu Abbas, yang kemudian menjelaskan sebab turunnya ayat dan apa yang dikehendaki dari ayat tersebut. Setelah ayat yang mengharamkan khamar turun, mereka bertanya: ”Lantas bagaimanakah teman-teman kita yang telah mati dalam keadaan perutnya berisi khamr, sedangkan Allah telah memberi tahu bahwa khamr itu perbuatan keji dan dosa?” Tak lama kemudian turunlah ayat di atas. Maksudnya, tidak ada dosa itu bagi mereka yang dulunya sudah terlanjur meminum khamr, kemudian mereka beriman dan tidak meminum lagi. Adapun setelah itu, maka hukum yang berlaku adalah Surah al-Maaidah ayat 90 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” Setelah itu baru Umar menyalahkan Qudamah atas tafsirnya itu. Wa Allah A’lam

Ketiga, diperlukan pemahaman yang baik mengenai adat kebiasaan orang Arab, karena bila tidak juga bisa menimbulkan kerancuan. Hal ini agar jangan sampai ada kebiasaan ditetapkan sebagai bagian integral dari syariat, dan agar jelas dibedakan, mana syariah dan mana ‘aadah (kebiasaan/tradisi). Selain itu, tradisi yang telah berjalan lama di kalangan orang Arab boleh jadi kemudian dijadikan syariat dalam Islam, seperti perintah Haji dan Umrah yang menggunakan redaksi, “Dan sempurnakanlah Haji dan Umrah semata-mata karena Allah….” (al-Baqarah ayat 196). Mengapa menggunakan kata “sempurnakanlah”, bukan “kerjakanlah”, adalah karena orang-orang Arab telah mentradisikan Haji dan Umrah, dan Rasulullah SAW menyempurnakan tata caranya menjadi suatu syariat yang utuh. Karena itu, meskipun redaksinya “sempurnakanlah”, namun yang dimaksud adalah “kerjakanlah dari awal secara lengkap sempurna sebagaimana dicontohkan oleh Nabi”. Wa Allah A’lam.

Demikian pengajian kita hari ini. Semoga bermanfaat. In syaa Allah kita lanjutkan minggu depan. Silakan baca Hamdalah. Wassalaamu alaikum WW.

(Kajian Whatsapp bulan Agustus 2018 oleh Dr.K.H.M.Dawud Arif Khan)

0 Response to "Kaidah Pokok Istinbath Hukum dari Alquran"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel