Hukum Isbal (Memanjangkan Kain Di Bawah Mata Kaki)
Saya mau bertanya masalah isbal, kenapa di kalangan kita kok tidak terlalu memusingkan (bahkan kalau ngaji fikih jarang dibahas secara lama dan detail) masalah isbal ini. Padahal di kalangan kelompok lainnya, mereka menghukuminya lain.
Kalau memang memendekkan kain kaki sampai di atas mata kaki adalah anjuran, bahkan perintah sebagaimana mereka membawakan dalil-dalil naqli tentang ini, kenapa juga kita kok masih pada bergeming?
Bagaimana pendapat jumhur ulama kita tentang isbal ini. Saya sangat penasaran, mohon di jawab dengan detail dan jelas,
Sekalian dalil-dalil naqlinya.
(Udin, 3 Maret 2009)
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Dalil naqli sudah lengkap di artikelnya mereka. Masalahnya bukan pada dalilnya tetapi bagaimana menetapkan hukum dari dalil naqli tersebut.
Posisi Madzhab Syafi'i dalam masalah isbal ini sudah sangat jelas bahwa hukum dasar isbal ini makruh. Adapun yang membuatnya menjadi haram adalah apabila ada huyalaa' (kesombongan dalam berpakaian). Kalau kita bisa lebih mencermati 'semangat' dari hukum isbal yang huyalaa' ini sebenarnya maknanya bukan pada cara berpakaiannya tetapi niat berpakaiannya. Pada masa kini khususnya di Indonesia tidak ada orang yang isbal dengan maksud huyalaa' karena memang adat dan kondisi tidak mendukung itu. Yang menjadi sumber huyalaa' saat ini adalah bila orang memakai pakaian bermerek, berharga mahal, sesuai trend artis atau orang kaya, dsb. Adapun isbal sekarang banyak justru menjadi sumber kesombongan yang tidak melakukannya dengan memproklamirkan dirinya sebagai ahli ilmu, pelaksana syariat Islam, orang sholeh, sedangkan yang isbal meski tidak huyalaa' ia katakan sebagai orang bodoh, tak tahu agama, ahli bid'ah dll. Padahal semangatnya mestinya bukan begitu. Islam jelas mengarahkan umatnya untuk hidup sederhana, berpakaian sederhana, berperilaku santun, berakhlaq mulia. Jadi mestinya kita tidak terpaku pada isbalnya tetapi lebih fokus pada huyalaa' karena huyalaa' inilah yang ijma' disepakati semua ulama hukumnya haram.
Jadi dapat disimpulkan mengenai hukum isbal disini, isbal tetap lebih baik tidak dilakukan (makruh) meskipun tidak ada huyalaa'. Anak IMAN gak usah isbal lah gak ada manfaatnya (biasanya karena belum tahu tentang isbal). Lebih penting lagi kita jangan sampai huyalaa' alias sombong dalam berpakaian dengan cara apapun karena hal itu sangat jelas hukumnya haram.
Sebagai pelengkap saya copykan artikel yang cukup bagus tentang hukum isbal.
Dari Ibnu ‘Umar diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” Kemudian Abu Bakar bertanya, “Sesungguhnya sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku menyingsingkannya.” Rasulullah Saw menjawab, “Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” [HR. Jama’ah, kecuali Imam Muslim dan Ibnu Majah dan Tirmidizi tidak menyebutkan penuturan dari Abu Bakar.]
Dari Ibnu ‘Umar dituturkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
“Isbal itu bisa terjadi pada sarung, sarung dan jubah. Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah swt tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah]
Kata khuyalaa’ berasal dari wazan fu’alaa’. Kata al-khuyalaa’, al-bathara, al-kibru, al-zahw, al-tabakhtur, bermakna sama, yakni sombong dan takabur.
Mengomentari hadits ini, Ibnu Ruslan dari Syarah al-Sunan menyatakan, “Dengan adanya taqyiid“khuyalaa’” (karena sombong) menunjukkan bahwa siapa saja yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki tanpa ada unsur kesombongan, maka dirinya tidak terjatuh dalam perbuatan haram. Hanya saja, perbuatan semacam itu tercela (makruh).”
Imam Nawawi berkata, “Hukum isbal adalah makruh. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Syafi’iy.”
Imam al-Buwaithiy dari al-Syafi’iy dalam Mukhtasharnya berkata, “Isbal dalam sholat maupun di luar sholat karena sombong dan karena sebab lainnya tidak diperbolehkan. Ini didasarkan pada perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra.”
Namun demikian sebagian ‘ulama menyatakan bahwa khuyala’ dalam hadits di atas bukanlah taqyiid. Atas dasar itu, dalam kondisi apapun isbal terlarang dan harus dijauhi. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu al-‘Arabiy berkata, “Tidak diperbolehkan seorang laki-laki melabuhkan kainnya melebihi mata kaki dan berkata tidak ada pahala jika karena sombong. Sebab, larangan isbal telah terkandung di dalam lafadz. Tidak seorangpun yang tercakup di dalam lafadz boleh menyelisihinya dan menyatakan bahwa ia tidak tercakup dalam lafadz tersebut; sebab, ‘illatnya sudah tidak ada. Sesungguhnya, sanggahan semacam ini adalah sanggahan yang tidak kuat. Sebab, isbal itu sendiri telah menunjukkan kesombongan dirinya. Walhasil, isbal adalah melabuhkan kain melebihi mata kaki, dan melabuhkan mata kaki identik dengan kesombongan meskipun orang yang melabuhkan kain tersebut tidak bermaksud sombong.”
Mereka juga mengetengahkan riwayat-riwayat yang melarang isbal tanpa ada taqyiid. Riwayat-riwayat itu diantaranya adalah sebagai berikut:
“Angkatlah sarungmu sampai setengah betis, jika engkau tidak suka maka angkatlah hingga di atas kedua mata kakimu. Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan. Sedangkan Allah SWT tidak menyukai kesombongan.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin Salim].
“Tatkala kami bersama Rasulullah Saw, datanglah ‘Amru bin Zurarah al-Anshoriy dimana kain sarung dan jubahnya dipanjangkannya melebihi mata kaki (isbal). Selanjutnya, Rasulullah Saw segera menyingsingkan sisi pakaiannya (Amru bin Zurarah) dan merendahkan diri karena Allah SWT. Kemudian beliau Saw bersabda, “Budakmu, anak budakmu dan budak perempuanmu”, hingga ‘Amru bin Zurarah mendengarnya. Lalu, Amru Zurarah berkata, “Ya Rasulullah sesungguhnya saya telah melabuhkan pakaianku melebihi mata kaki.” Rasulullah Saw bersabda, “Wahai ‘Amru, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Wahai ‘Amru sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang yang melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.” [HR. ath-Thabarni dari haditsnya Abu Umamah] Hadits ini rijalnya tsiqah. Dzahir hadits ini menunjukkan bahwa ‘Amru Zurarah tidak bermaksud sombong ketika melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.
Riwayat-riwayat ini memberikan pengertian, bahwa isbal yang dilakukan baik karena sombong atau tidak, hukumnya haram. Akan tetapi, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan hadits-hadits seperti ini. Kita mesti mengkompromikan riwayat-riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain yang di dalamnya terdapat taqyiid (pembatas) “khuyalaa’”. Kompromi (jam’u) ini harus dilakukan untuk menghindari penelantaran terhadap hadits Rasulullah Saw. Sebab, menelantarkan salah satu hadits Rasulullah bisa dianggap mengabaikan sabda Rasulullah Saw. Tentunya, perbuatan semacam ini adalah haram.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, yakni perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra (“Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”), menunjukkan bahwa manath (obyek) pengharaman isbal adalah karena sombong. Sebab, isbal kadang-kadang dilakukan karena sombong dan kadang-kadang tidak karena sombong. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar telah menunjukkan dengan jelas bahwa isbal yang dilakukan tidak dengan sombong hukumnya tidak haram.
Atas dasar itu, isbal yang diharamkan adalah isbal yang dilakukan dengan kesombongan. Sedangkan isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidaklah diharamkan. Imam Syaukani berkata, “Oleh karena itu, sabda Rasulullah Saw, ‘Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan.’ [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi dari haditsnya Jabir bin Salim], harus dipahami bahwa riwayat ini hanya berlaku bagi orang yang melakukan isbal karena sombong. Hadits yang menyatakan bahwa isbal adalah kesombongan itu sendiri —yakni riwayat Jabir bin Salim—harus ditolak karena kondisi yang mendesak. Sebab, semua orang memahami bahwa ada sebagian orang yang melabuhkan pakaiannya melebihi mata kaki memang bukan karena sombong. Selain itu, pengertian hadits ini (riwayat Jabir bin Salim) harus ditaqyiid dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar yang terdapat dalam shahihain….Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong hadir dalam bentuk muthlaq, sedangkan hadits yang lain yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar datang dalam bentuk muqayyad. Dalam kondisi semacam ini, membawa muthlaq ke arah muqayyad adalah wajib….”
Dari penjelasan Imam Syaukani di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kesombongan adalah taqyiid atas keharaman isbal. Atas dasar itu, hadits-hadits yang memuthlaqkan keharaman isbal harus ditaqyiid dengan hadits-hadits yang mengandung redaksi khuyalaa’. Walhasil, isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidak termasuk perbuatan yang haram.
Tidak boleh dinyatakan di sini bahwa hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar tidak bisa mentaqyiid kemuthlakan hadits-hadits lain yang datang dalam bentuk muthlaq dengan alasan, sebab dan hukumnya berbeda. Tidak bisa dinyatakan demikian. Sebab, hadits-hadits tersebut, sebab dan hukumnya adalah sama. Topik yang dibicarakan dalam hadits tersebut juga sama, yakni sama-sama berbicara tentang pakaian dan cara berpakaian. Atas dasar itu, kaedah taqyiid dan muqayyad bisa diberlakukan dalam konteks hadits-hadits di atas. [Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam].
Pertanyaan dari Ochid
Assalamualaikum, nyuwun penjelasan tentang seluk beluk isbal, baik dari sisi sejarah maupun hukumnya.
(15 Juni 2009)
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Alaikumussalaam.
Masalah ini sudah pernah dibahas (yaitu sebagaimana pembahasan di atas - red).
Isbaal/tasabbul artinya asosiasi celana kombor (memakai kain melebihi/menutupi mata kaki).
Sejarahnya dulu di Arab, orang senang memakai kombor agar terlihat sebagai orang kaya. Orang-orang miskin para pekerja tidak mungkin memakai kombor karena akan menggangu aktivitas dan mudah kotor karena mereka biasa jalan kaki (tidak seperti orang kaya yang naik unta dan jika berjalan pun beralas karpet).
Atas kesombongan dalam berpakaian tersebut Rasul melarang orang isbal karena sombong.
Adapun hukum isbal ini karena sebab larangannya adalah sombong maka haram isbal jika disertai kesombongan (huyala'). Jika tidak, maka maksimal makruh, bahkan seperti Habib Munzir menyatakan makruh pun tidak.
Budaya saat ini sih tidak menempatkan isbal sebagai wujud kesombongan, karena itu isbal saat ini muncul dalam format baru yaitu gaya hidup, fashion, make up. Orang menunjukkan statusnya dengan memakai pakaian bermerek mengikuti tren, memakai mobil mewah, motor gede, rumah mewah, dsb bergaul di kalangan jetset, bahkan ada yang menunjukkan status sebagai orang alim melalui pakaiannya yang pada dasarnya hanyalah kebohongan dan kesombongan.
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
0 Response to "Hukum Isbal (Memanjangkan Kain Di Bawah Mata Kaki)"
Posting Komentar