Hadits Ahad dan Persoalan Penyimpulan Hukum

Alhamdulillah, kita lanjutkan kajian kita.

Sebelumnya telah kita bahas bahwa Hadits Ahad itu kekuatan hukumnya bersifat zhanni, maksudnya adalah tidak mutlak untuk diterima, karena bila isinya ada ta’arudh (pertentangan) dengan ayat al-Quran atau kaidah umum yang terkandung dalam ayat al-Quran, atau ta’arudh dengan hadits shahih yang lain, maka para Imam Mujtahid mungkin saja mengabaikan atau mentafshil (memerinci hukum) dari hadits tersebut. Ilustrasi masalah menangisi jenazah adalah salah satu contohnya.

Itulah mengapa Ulama Hanafiyah menerima Hadits Ahad dengan beberapa syarat, di antaranya adalah bahwa yang meriwayatkan Hadits itu tidak mengamalkan hal yang berlawanan atau berbeda dengan hadits yang diriwayatkannya. Misalnya Hadits dari Sayyidah ‘Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa ijin dari walinya, maka pernikahannya itu baathil, pernikahannya itu baathil, pernikahannya itu baathil. Akan tetapi jika ia telah digauli, baginya mahar sebagai ganti apa yang telah dihalalkan atas kemaluannya. Namun, jika mereka berselisih, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” (HR Imam Abu Dawud, al-Haakim, at-Tirmidzi, dan Ibn Maajah).

Para Ulama Hanafiyah tidak menggunakan hadits ini karena terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa ‘Aisyah pernah menikahkan anak saudaranya (keponakannya), sedangkan walinya tidak ada (sedang berada di Syam). dari Maalik, dari Abdurrahman bin al-Qaasim, dari ayahnya, yang menceritakan bahwasannya ‘Aisyah, istri Nabi SAW menikahkan Hafshah binti Abdirrahman dengan al-Mundzir bin az-Zubair. Saat itu ‘Abdurrahman (ayah Hafshah) sedang berada di Syam. Ketika Abdurrahman tiba, ia berkata dengan kecewa, “Orang sepertiku memang pantas diperlakukan seperti ini, dan tidak pantas dimintai pertimbangan ya”. Lalu ‘Aisyah berbicara kepada al-Mundzir bin Zubair, lalu al-Mundzir berkata : “Itu terserah Abdurrahman”. Kemudian Abdurrahman berkata : “Aku tidak akan menolak sesuatu yang telah engkau putuskan”. Hafshah pun tetap menjadi istri al-Mundzir, dan perkataannya tidak dianggap sebagai thalaq.” (Atsar diriwayatkan oleh Imam Malik – Lihat al-Muwaththa).

Dari kalangan Syafi’iyyah, suatu hadits ahad yang shahih terkadang juga tidak langsung digunakan untuk mengambil suatu kesimpulan hukum, melainkan juga memperhatikan apa yang dikatakan, difatwakan, atau dilakukan oleh shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut. Sebagai contoh, ada Hadits dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengerjakan shalat dengan tanpa membaca Ummul Quran (surah al-Faatihah) di dalam shalatnya, maka shalatnya kurang (diucapkan beliau tiga kali), tidak sempurnalah shalatnya.” Ditanyakan kepada Abu Hurairah, “Sesungguhnya kami shalat di belakang imam.” Abu Hurairah menjawab, “Bacalah (pelan) untuk diri kalian sendiri, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, bahwa Allah SWT berfirman, ‘Aku telah membagi shalat (surat Al Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca, ‘Alhamdulillahirabbil ‘alamiin.’ Maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Apabila ia membaca, ‘Ar-Rahmanir rahiim’. Maka Allah menjawab, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’. Apabila ia membaca, ‘Maliki yaumiddiin’. Maka Allah menjawab, ‘Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku’. Apabila ia membaca, ‘Iyyakana’budu waiyyaka nasta’iin’. Maka Allah menjawab, ‘Ini adalah di antara aku dan hambaku’. Apabila ia membaca, ‘Ihdinas shirathal mustaqim’, maka Allah berfirman, ‘Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta’.” (HR Imam Muslim)

Hadits ini dijadikan oleh orang Wahabi untuk menyimpulkan bahwa Basmalah itu bukan termasuk ayat surah al-Faatihah. Hal ini – menurut mereka – melihat bahwa dalam Hadits Qudsi tersebut, Allah SWT langsung menyebutkan Hamdalah, tanpa Basmalah. Bila kita melihat hadits ini saja, boleh jad kesimpulan kita akan sama. Apalagi ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Namun, bila kita merangkai hadits ini dengan hadits-hadits yang lain dalam pembahasan Basmalah, maka kesimpulan akhirnya akan berbeda.

Pertama, kaum Wahabi berlaku “curang” dalam menyikapi hadits ini. Mereka hanya mau menggunakan bagian kedua dari hadits, namun tidak bagian pertamanya. Bagian awal hadits adalah “Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengerjakan shalat dengan tanpa membaca Ummul Quran (surah al-Faatihah) di dalam shalatnya, maka shalatnya kurang (diucapkan beliau tiga kali), tidak sempurnalah shalatnya.” Ditanyakan kepada Abu Hurairah, “Sesungguhnya kami shalat di belakang imam.” Abu Hurairah menjawab, “Bacalah (pelan) untuk diri kalian sendiri,…” Bagian ini jelas menunjukkan bahwa shalat itu tidak sah tanpa membaca surah al-Faatihah, sekalipun ia sedang menjadi makmum. Sedangkan kaum Wahabi umumnya mengikuti fatwa bahwa makmum shalat jahar itu tidak membaca apa pun, termasuk al-Faatihah. Jadi, haditsnya hanya setengah yang dipergunakan sebagai dalil (yakni bagian yang membahas pembagian shalat), namun setengah yang lain tidak dipergunakan. Ini cara pendalilan yang aneh, mengingat tidak ada ‘illat (cacat) dalam periwayatannya.

Kedua, di dalam hadits tersebut, tidak ada satu pun pernyataan yang tegas bahwa Basmalah itu bukan termasuk ayat al-Faatihah. Bila kita merujuk kepada lafadznya, maka yang dibagi adalah ash-shalah (shalat). Sesuatu yang membahas perkara yang umum, bahkan sangat umum (Shalat, bukan khusus al-Faatihah, apalagi khusus Basmalah), tapi dipergunakan untuk menyimpulkan perkara yang khusus, yang membutuhkan dalil dengan pernyataan yang tegas. Cara ini tidak pada tempatnya dalam istinbath hukum. Wa Allah A’lam.

Ketiga, periwayat hadits, yakni Abu Hurairah ra., ternyata punya kesimpulan dan fatwa yang berkebalikan dengan kesimpulan mereka (Kaum Wahabi). Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu membaca (surah) al-Hamdulillah (maksudnya al-Faatihah-pen), maka bacalah ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim’, karena sesungguhnya ia (surah al-Hamdulillah atau surah al-Faatihah) adalah induk al-Quran, induk al-Kitab, dan tujuh ayat yang diulang-ulang. Sedangkan ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim’ adalah salah satu ayatnya.” (HR Imam ad-Daruquthni dan al-Baihaqi)

Abu Hurairah ra. bukan hanya meriwayatkan sabda Rasulullah SAW bahwa Basmalah adalah salah satu ayat al-Faatihah. Ia juga menfatwakan dan mengajarkan kepada shahabat yang lain mengenai hal tersebut. Nu’aim al-Mujmir berkata: “Aku shalat di belakang Abu Hurairah, lalu ia membaca ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim’, kemudian membaca Ummul Quran, sehingga setelah sampai pada ghairil maghdluubi ‘alaihim waladl-dlaalliin, maka ia berkata, 'Aamiin'. Lalu orang-orang juga berkata, 'Aamiin…' Lalu Abu Hurairah berkata: ‘Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling menyerupai kamu shalatnya dengan Rasulullah SAW’.” (HR Imam an-Nasaa'i)

Jadi, kadangkala Rasulullah SAW itu menyebut surah al-Faatihah dengan sebutan surah al-Hamdulillah, namun beliau tetap menegaskan bahwa Basmalah adalah salah satu ayat dalam surah tersebut. Hal itu untuk membedakan dengan Basmalah dalam surah-surah yang lain, yang tidak tegas disebutkan sebagai salah satu ayat dari setiap surah (kecuali surah at-Taubah yang jelas tidak dimulai dengan Basmalah). Oleh karena itu, ketika kita mendengar Hadits dari Anas bin Malik yang berkata, “Bahwasanya Nabi SAW, Abu Bakar, dan Umar, mereka memulai shalat dengan Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamiin.” (HR Imam Bukhari), maka boleh jadi yang dimaksud adalah surah al-Faatihah, sebagaimana hadits di atas, dan semisal surah al-A’laa kadang disebut surah “Sabbihisma Rabbika”, sesuai bunyi ayat pertamanya setelah Basmalah. Bila dipaksakan juga bahwa shalat itu dimulai dengan Hamdalah, juga tidak pas. Kita semua tahu bahwa shalat itu senantiasa dimulai dengan Takbiratul Ihram. Wa Allah A’lam.

Apa yang disampaikan di sini bukan berarti memastikan bahwa yang tidak menghitung Basmalah sebagai ayat al-Faatihah itu pasti salah (meski bila kita memegang fatwa itu harus meyakini kebenarannya). Yang dimaksudkan di sini adalah penggunaan Hadits Abu Hurairah mengenai pembagian shalat itu tidak tepat sebagai dasar atau dalil untuk menafikan Basmalah sebagai salah satu ayat al-Faatihah, karena Abu Hurairah diketahui meriwayatkan hadits lain dari Rasulullah SAW yang tegas menyebutkan bahwa Basmalah itu adalah salah satu ayat dari al-Faatihah, dan beliau juga mengajarkannya kepada shahabat yang lain. Tegasnya adalah, “bila anda menyatakan bahwa Basmalah bukanlah ayat al-Faatihah, gunakan dalil yang lain, bukan dalil itu, yang periwayatnya justru punya pendapat yang tidak seperti itu.” Wa Allah A’lam.

Demikian pengajian kita hari ini. Semoga bermanfaat. In syaa Allah kita lanjutkan minggu depan, untuk membahas Hadits Dha'if dan kekuatan hukumnya. Silakan baca Hamdalah. Wassalaamu alaikum WW.

Kajian Whatsapp bulan Agustus 2018 oleh Dr.K.H.M.Dawud Arif Khan)

0 Response to "Hadits Ahad dan Persoalan Penyimpulan Hukum"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel