Pembahasan Tuntas Puasa Rajab
Oleh: Dr.H.M.Dawud Arif Khan
Terdapat beberapa kesalahpahaman yang umum terjadi ketika membahas puasa Rajab. Pertama, banyaknya Dai yang suka membawakan hadits Dhaif, bahkan maudhu' (yang dibawakan jadi satu) untuk menjelaskan keutamaan Puasa Rajab. Hal itu membuat sebagian orang berpandangan bahwa dalil Puasa Rajab itu seluruhnya dhaif, bahkan maudhu' (palsu). Akibatnya, timbul perdebatan mengenai boleh tidaknya Puasa Rajab. Perdebatan itu berangkat dari pandangan bahwa seseorang itu tidak boleh beramal berdasarkan hadits maudhu'. Pola pikir yang terbentuk kemudian adalah tidak boleh berpuasa di Bulan Rajab karena didasarkan kepada Hadits Maudhu'.
Belakangan, kesalahpahaman itu derajatnya menurun, yakni menjadi boleh Puasa di Bulan Rajab asal puasanya adalah Puasa Senin - Kamis, Puasa Ayyaam al-Biidh, dan Puasa Dawud. Puasa Sunnah Mutlaq tetap haram karena tidak ada dalilnya. Kesalahpahaman berikutnya turun lagi derajatnya menjadi, boleh juga Puasa Sunnah Mutlaq asal tidak diniatkan Puasa Rajab. Hal ini dikemukakan setelah nyata adanya dalil yang nyata bahwa berpuasa di bulan Rajab itu ternyata boleh bahkan Sunnah. Wa Allah A'lam.
Pada dasarnya, setiap amalan dalam Islam itu harus didasarkan kepada adanya dalil dari al-Quran, Hadits, Ijma', dan Qiyas. Karena itu yang menjadi pokok persoalan dalam masalah ini bukanlah pada adanya begitu banyak Hadits Dhaif dan Maudhu' menyangkut keutamaan Rajab dan Puasa Rajab. Pertanyaan pokok yang harus diajukan adalah adakah dalil dari al-Quran dan Hadits mengenai keutamaan Rajab dan kesunnahan Puasa secara umum di Bulan Rajab. Bila kita fokus ke persoalan ini, maka perdebatan menyangkut hal itu pun dengan sendirinya akan mendapatkan titik temu. Wa Allah A'lam. [
Mari kita baca firman Allah dalam Surah at-Taubah ayat 36, yang terjemahannya: "Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya 4 bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” Ayat tersebut dijelaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW: "Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada 12 bulan, di antaranya 4 bulan haram: yang 3 bulan berturut-turut, yakni Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta satu yang terpisah, yakni Rajab Mudhar, yang terdapat di antara Jumada Akhirah dan Sya'ban." (HR Imam Bukhari dan Muslim). Jadi, ada 4 bulan yang diutamakan dan diistimewakan dalam Islam, selain Ramadhan, yakni Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Ini ketentuan dari Allah SWT dan dalilnya adalah al-Quran, bukan Hadits Maudhu'.
Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam bulan2 haram tersebut? Disebutkan dalam Kitab Tafsir Ibn Katsir, bahwa ketika menafsirkan ayat tersebut, pada bagian "Falaa tazhlimuu fiihinna anfusakum" (maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan2 haram yang empat itu), Sayyidinaa Ibn Abbas menjelaskan bahwa empat bulan haram itu diagungkan oleh Allah SWT, sehingga hukuman atas perbuatan dosa yang dilakukan di bulan-bulan tersebut dilipatkan, sebagaimana pahala beramal Shaleh di bulan-bulan tersebut juga dilipatkan. Hal yang senada juga disampaikan oleh Qatadah, yang menambahkan bahwa Allah SWT telah memilih bulan Ramadhan dan bulan-bulan Haram, sebagaimana Dia juga memilih hari Jumat di antara hari-hari. Kita diminta untuk mengagungkan bulan-bulan tersebut dengan memperbanyak amal shalih. Termasuk amal shalih adalah Puasa Sunnah.
Sebenarnya dengan satu dalil ini saja sudah selesai persoalan mengenai sunnahnya memperbanyak Puasa di bulan Haram, termasuk bulan Rajab. Dalil dari al-Quran lebih dari cukup karena kekuatan hukumnya di atas semua jenis pendalilan. Wa Allah A'lam. Bila masih tidak puas, maka kita bisa ke pertanyaan berikutnya untuk menyelesaikan perdebatannya. Misalnya, mengenai pendapat yang mengatakan, ok kita perbanyak puasa, namun itu adalah Puasa seperti Senin-Kamis, Puasa 3 hari setiap bulan, dan Puasa Dawud, bukan Puasa khusus bulan haram, termasuk Puasa sunnah Mutlaq dengan niat Puasa Rajab. Untuk itu, mari kita kaji Hadits berikut ini.
Dari Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah SAW kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya, sedangkan kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Ya Rasulallah, apakah engkau masih mengenalku?” Rasulullah SAW bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku Bahili, yang datang tahun sebelumnya.” Rasulullah SAW bertanya: “Mengapa kondisi fisikmu berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali malam hari sejak meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Mengapa kamu menyiksa diri?” Lalu berliau bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari dalam setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.” Beliau menjawab: “Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah, aku masih kuat.” Rasulullah SAW menjawab: “Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah.” Rasulullah SAW menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadits tersebut adalah Hadits shahih, bukan dhaif, apalagi Maudhu'.Hadits tersebut memberikan penjelasan banyak hal. Pertama, ternyata Puasa setahun penuh selain hari-hari yang diharamkan adalah boleh bagi mereka yang kuat. Beberapa riwayat menunjukkan bahwa beberapa shahabat melakukannya, termasuk hadits di atas. Adapun Nabi SAW menganjurkan agar orang itu tidak melakukannya lagi adalah karena kondisi fisiknya sudah berubah dan menurun. Itulah mengapa sebagian Ulama, termasuk kalangan Syafi'iyyah memandang Puasa itu secara umum sunnah, kecuali pada hari-hari yang diharamkan. Jadi, bagi mereka yang kuat, tidak ada halangan melakukan Puasa setahun penuh. Wa Allah A'lam. Kedua, anjuran Nabi untuk puasa di bulan Ramadhan dan satu hari di setiap bulan menunjukkan bahwa itu bukan Puasa Senin-Kamis, Puasa Ayyaam al-Biidh, maupun Puasa Dawud. Demikian pula ketika beliau menambahkan dua hari, sampai tiga hari dalam sebulan. Ketiga, Rasulullah SAW memberikan pilihan Puasa di bulan-bulan Haram. Artinya, Puasa di bulan-bulan haram itu sunnah, dan boleh sebulan penuh. Sabda Nabi SAW, "Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah" menunjukkan bolehnya melakukan sebulan penuh. Adalah ada kata dan tinggalkanlah adalah karena Nabi SAW mengkhawatirkan kondisi fisik orang itu, sehingga baginya sebaiknya kadang puasa, kadang tidak. Namun, bagi yang mampu ya tidak ada halangan baginya Puasa sebulan penuh. Wa Allah A'lam.
Dengan dasar ayat al-Quran surah at-Taubah ayat 36 dan juga Hadits ini, sudah lebih dari cukup menunjukkan kesunnahan Puasa di bulan-bulan Haram, tanpa perlu mengutip satu pun Hadits Dha'if. Termasuk bulan Haram adalah Bulan Rajab. Namun, bila masih belum puas juga, boleh juga kita sampaikan Hadits berikut ini.
Dari Usamah bin Zaid, beliau berkata, “Yaa Rasulallah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam suatu bulan sebanyak di bulan Sya’ban”.
Nabi SAW menjawab: “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR Imam An Nasa’i).
Hadits ini adalah Hadits shahih, mengajarkan kepada kita beberapa hal: Pertama, Nabi SAW banyak berpuasa di bulan Sya'ban, saking banyaknya membuat shahabat takjub. Hal ini mengindikasikan bahwa puasa beliau itu melebihi puasa yang biasa seperti puasa senin kamis dan ayyaam al-biidh. Dengan begitu, puasa Sya'ban itu sunnah hukumnya.
Kedua, Puasa Nabi SAW itu untuk mendorong umatnya menghidupkan puasa di bulan Sya'ban, karena mereka lebih mengutamakan puasa di bulan Rajab (sunnah) dan Ramadhan (wajib). Hal ini mengindikasikan bahwa umat Islam dari semula memang rajin menghidupkan puasa di bulan Rajab. Artinya, puasa Rajab itu juga sunnah hukumnya, bahkan sudah lebih dahulu menjadi kebiasaan daripada puasa Sya'ban.
Imam al-Syaukani berkata: “Hadits Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya puasa Rajab. Karena yang tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi SAW melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.” (Lihat Nail al-Authar Juz 4)
Sementara orang masih juga ada yang tidak puas dan mengatakan (karena keengganannya berfikir) bahwa Hadits tersebut tidak menyebutkan bahwa Nabi SAW banyak berpuasa di bulan Rajab. Untuk mereka kita berikan Hadits berikut ini:
‘Utsman bin Hakim Al-Anshari menceritakan kepada kami, beliau berkata: "Aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa bulan Rajab. Kami pada hari itu berada di bulan Rajab. Sa’id bin Jubair berkata: 'Aku mendengar Ibnu ‘Abbas r.anhuma mengatakan bahwa Rasulullah SAW biasa berpuasa (di bulan Rajab), sampai-sampai kami berkata: Beliau tidak pernah tidak berpuasa (di bulan Rajab). Beliau juga biasa tidak berpuasa sampai-sampai kami berkata: Beliau tidak pernah berpuasa (di bulan Rajab)'." (HR Imam Muslim)
Hadits riwayat Imam Muslim itu sangat jelas menunjukkan bahwa Puasa Rajab yang dilakukan oleh Rasulullah SAW bukanlah semata Puasa Senin-Kamis, atau pun Ayyaam al-Biidh. Bahkan indikasi dalam Hadits menunjukkan bahwa beliau puasa sebulan penuh. Adapun Nabi SAW tidak melanggengkan puasa itu adalah untuk tujuan menunjukkan bahwa hal itu adalah sunnah saja, jangan dianggap fardhu. Selain itu, ada tujuan agar ibadah itu tidak difardlukan, agar tidak memberatkan umat beliau. Sebagai contoh Nabi SAW tidak melanggengkan jamaah Tarawih, karena, takut difardlukan (oleh Allah SWT), dan juga khawatir dianggap fardlu oleh umatnya. Hal yang sama juga beliau lakukan dengan tidak melanggengkan shalat Dhuha. Namun bagi kita, shalat Tarawih berjamaah sebulan penuh itu sunnah. Demikian pula shalat dhuha setiap hari itu juga sunnah. Wa Allah A’lam
Dengan dalil dari al-Quran dan Hadits-hadits yang Shahih telah jelas dan pasti mengenai kesunnahan berpuasa di bulan Rajab, baik sebagiannya maupun sebulan penuh. Adapun adanya Hadits lain yang memberikan semangat lebih untuk melakukan puasa Rajab, maka itu tidak masalah, karena puasa sunnah itu termasuk Amalan utama, yang dalilnya boleh menggunakan Hadits Dha'if. Termasuk dalam kategori yang ini adalah Hadits berikut ini.
Nabi SAW juga telah bersabda: “Sesungguhnya di dalam surga ada suatu sungai yang disebut Sungai Rajab. Airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis daripada madu. Barang siapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka kelak Allah memberi minum kepadanya dari sungai tersebut.” (HR Imam al-Baihaqi - dha’if)
Hadits ini termasuk yg dha’if bukan karena dipalsukan, bukan pula karena perawinya pembohong atau parah dalam periwayatan. Sebagian hanya karena ada perawinya dianggap kurang kuat hafalannya (meski ia jujur), atau ia pernah diketahui pernah berbohong, atau ia peragu, dll. Hadits jenis ini adalah hadits dari Rasulullah SAW juga, namun sanadnya kurang kuat. Hadits ini tidak masalah menjadi landasan pemacu semangat Puasa Rajab, karena kesunnahannya sendiri telah didukung dalil dari al-Quran dan Hadits-hadits yang Shahih. Wa Allah A'lam.
Para Ulama Ahli Hadits berbeda pendapat mengenai hadits dha'if jenis ini. Namun, intinya tidak ada yang melarang menggunakannya untuk Fadhail al-a"maal (amalan-amalan utama seperti puasa, dzikir, dll.). Ulama Salaf seperti Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa hadits dha'if jenis ini boleh diamalkan secara mutlak tanpa syarat jika tidak ada hadits lain dalam bab tersebut. Pendapat yg sama diungkapkan oleh Imam Abu Dawud. Mereka berpendapat bahwa hadits dha'if masih jauh lebih kuat daripada pendapat Ulama. Imam Ahmad mengatakan: "Dho'iful hadits lebih kusukai daripada pendapat Ulama, karena kita tidak beralih ke Qiyas kecuali setelah tidak ada nash."
Adapun pendapat Jumhur Ulama Salaf (Imam Nawawi dan Ibnu Hajar bahkan mengatakan ini adalah ijma' Ulama) bahwa hadits dha'if itu boleh diamalkan dengan beberapa syarat. Menurut para ahli hadits dan selain mereka, boleh mempermudah urusan sanad dan meriwayatkan hadits dha'if - selain maudhu' - tanpa perlu menjelaskan kelamahannya. Dan boleh mengamalkan hadits dha'if dalam hal selain sifat-sifat Allah (Aqidah), hukum halal dan haram, yaitu (boleh dalam hal) nasehat-nasehat, kisah-kisah, fadhail a'mal, segala macam targhib dan tarhib, dalam semua hal yg tidak berkaitan dengan hukum (halal haram) dan aqidah. Wa Allah A’lam.
Sekarang bagaimana mengamalkan doa ketika memasuki Rajab, "Allahumma Baarik lanaa fi Rajab wa Sya'baan wa Ballighnaa Ramadhaan." Bukankah haditsnya termasuk Dha'if? Jawaban pertama, telah diuraikan di atas bahwa untuk amalan utama, beramal dengan dasar Hadits Dha'if itu boleh menurut Jumhur Ulama Salaf. Jawaban kedua, doa itu adalah amalan baik yang tidak dibatasi bentuk dan macamnya. Dengan kata lain, sepanjang doa itu baik, maka tidak bisa disebut bid'ah, bahkan bila dilafadzkan menggunakan selain Bahasa Arab. Banyak orang tua mendoakan anaknya lulus sekolah, sukses dalam karir, dll yang tidak satu pun ada contohnya dari Rasulullah SAW. Tidak ada salahnya orang berdoa, "Yaa Allah, berilah kami keberkahan di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikan kami ke bulan Ramadhan." Seandainya tidak ada Hadits di atas pun berdoa demikian adalah baik. Wa Allah A'lam
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa tidak dibenarkan untuk berpuasa Rajab bila semata didasarkan kepada Hadits yang Dha'if sekali, seperti Hadits, "Sesungguhnya Nabi SAW tidak pernah puasa setelah Ramadhan, selain Rajab dan Sya'ban." (HR Imam Baihaqi), maka itu ada benarnya juga. Beramal dengan dasar Hadits yang sangat dha'if dan juga Hadits Maudhu' memang tidak dianjurkan. Tampaknya hal ini yang kemudian memicu kesalahpahaman, karena ada yang mengira bahwa Puasa Rajab itu dasarnya hanyalah Hadits Dha'if dan Maudhu'. Namun, sebagaimana telah kita uraikan di atas, hal itu terjadi karena kurang lengkapnya penjelasan dan dipotongnya suatu gagasan hanya pada bagian tertentu dari suatu uraian. Wa Allah A'lam
Terakhir kita bahas mengenai pemahaman dan fatwa Ulama Salaf menyangkut Puasa Rajab. Hal untuk menunjukkan siapa yang mengikuti al-Quran dan Hadits berdasarkan pemahaman Ulama Salaf, dan siapa yang sekedar mengaku-ngaku saja. Para Ulama telah ijma' bahwa puasa Rajab itu sunnah hukumnya. Perbedaannya hanya pada apakah puasa Rajab itu sunnah sebulan penuh atau tidak. Hanya madzhab Hanbali yang berpendapat bahwa Puasa Rajab itu sunnah asal tidak dilakukan sebulan penuh. para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa berpuasa Rajab secara penuh (30 hari) hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan puasa pada bulan-bulan haram yang lainnya. Kemakruhan ini akan menjadi hilang apabila tidak berpuasa dalam satu atau dua hari dalam bulan Rajab tersebut, atau dengan berpuasa pada bulan haram yang lain. Adapun semua Madzhab yang lain berpendapat bahwa Puasa Rajab itu sunnah, termasuk apabila dilakukan sebulan penuh. Wa Allah A'lam.
(Pengajian via grup WA IMAN, arsip tanggal 18-03-2018)
Terdapat beberapa kesalahpahaman yang umum terjadi ketika membahas puasa Rajab. Pertama, banyaknya Dai yang suka membawakan hadits Dhaif, bahkan maudhu' (yang dibawakan jadi satu) untuk menjelaskan keutamaan Puasa Rajab. Hal itu membuat sebagian orang berpandangan bahwa dalil Puasa Rajab itu seluruhnya dhaif, bahkan maudhu' (palsu). Akibatnya, timbul perdebatan mengenai boleh tidaknya Puasa Rajab. Perdebatan itu berangkat dari pandangan bahwa seseorang itu tidak boleh beramal berdasarkan hadits maudhu'. Pola pikir yang terbentuk kemudian adalah tidak boleh berpuasa di Bulan Rajab karena didasarkan kepada Hadits Maudhu'.
Belakangan, kesalahpahaman itu derajatnya menurun, yakni menjadi boleh Puasa di Bulan Rajab asal puasanya adalah Puasa Senin - Kamis, Puasa Ayyaam al-Biidh, dan Puasa Dawud. Puasa Sunnah Mutlaq tetap haram karena tidak ada dalilnya. Kesalahpahaman berikutnya turun lagi derajatnya menjadi, boleh juga Puasa Sunnah Mutlaq asal tidak diniatkan Puasa Rajab. Hal ini dikemukakan setelah nyata adanya dalil yang nyata bahwa berpuasa di bulan Rajab itu ternyata boleh bahkan Sunnah. Wa Allah A'lam.
Pada dasarnya, setiap amalan dalam Islam itu harus didasarkan kepada adanya dalil dari al-Quran, Hadits, Ijma', dan Qiyas. Karena itu yang menjadi pokok persoalan dalam masalah ini bukanlah pada adanya begitu banyak Hadits Dhaif dan Maudhu' menyangkut keutamaan Rajab dan Puasa Rajab. Pertanyaan pokok yang harus diajukan adalah adakah dalil dari al-Quran dan Hadits mengenai keutamaan Rajab dan kesunnahan Puasa secara umum di Bulan Rajab. Bila kita fokus ke persoalan ini, maka perdebatan menyangkut hal itu pun dengan sendirinya akan mendapatkan titik temu. Wa Allah A'lam. [
Mari kita baca firman Allah dalam Surah at-Taubah ayat 36, yang terjemahannya: "Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya 4 bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” Ayat tersebut dijelaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW: "Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada 12 bulan, di antaranya 4 bulan haram: yang 3 bulan berturut-turut, yakni Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta satu yang terpisah, yakni Rajab Mudhar, yang terdapat di antara Jumada Akhirah dan Sya'ban." (HR Imam Bukhari dan Muslim). Jadi, ada 4 bulan yang diutamakan dan diistimewakan dalam Islam, selain Ramadhan, yakni Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Ini ketentuan dari Allah SWT dan dalilnya adalah al-Quran, bukan Hadits Maudhu'.
Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam bulan2 haram tersebut? Disebutkan dalam Kitab Tafsir Ibn Katsir, bahwa ketika menafsirkan ayat tersebut, pada bagian "Falaa tazhlimuu fiihinna anfusakum" (maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan2 haram yang empat itu), Sayyidinaa Ibn Abbas menjelaskan bahwa empat bulan haram itu diagungkan oleh Allah SWT, sehingga hukuman atas perbuatan dosa yang dilakukan di bulan-bulan tersebut dilipatkan, sebagaimana pahala beramal Shaleh di bulan-bulan tersebut juga dilipatkan. Hal yang senada juga disampaikan oleh Qatadah, yang menambahkan bahwa Allah SWT telah memilih bulan Ramadhan dan bulan-bulan Haram, sebagaimana Dia juga memilih hari Jumat di antara hari-hari. Kita diminta untuk mengagungkan bulan-bulan tersebut dengan memperbanyak amal shalih. Termasuk amal shalih adalah Puasa Sunnah.
Sebenarnya dengan satu dalil ini saja sudah selesai persoalan mengenai sunnahnya memperbanyak Puasa di bulan Haram, termasuk bulan Rajab. Dalil dari al-Quran lebih dari cukup karena kekuatan hukumnya di atas semua jenis pendalilan. Wa Allah A'lam. Bila masih tidak puas, maka kita bisa ke pertanyaan berikutnya untuk menyelesaikan perdebatannya. Misalnya, mengenai pendapat yang mengatakan, ok kita perbanyak puasa, namun itu adalah Puasa seperti Senin-Kamis, Puasa 3 hari setiap bulan, dan Puasa Dawud, bukan Puasa khusus bulan haram, termasuk Puasa sunnah Mutlaq dengan niat Puasa Rajab. Untuk itu, mari kita kaji Hadits berikut ini.
Dari Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah SAW kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya, sedangkan kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Ya Rasulallah, apakah engkau masih mengenalku?” Rasulullah SAW bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku Bahili, yang datang tahun sebelumnya.” Rasulullah SAW bertanya: “Mengapa kondisi fisikmu berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali malam hari sejak meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Mengapa kamu menyiksa diri?” Lalu berliau bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari dalam setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.” Beliau menjawab: “Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah, aku masih kuat.” Rasulullah SAW menjawab: “Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah.” Rasulullah SAW menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadits tersebut adalah Hadits shahih, bukan dhaif, apalagi Maudhu'.Hadits tersebut memberikan penjelasan banyak hal. Pertama, ternyata Puasa setahun penuh selain hari-hari yang diharamkan adalah boleh bagi mereka yang kuat. Beberapa riwayat menunjukkan bahwa beberapa shahabat melakukannya, termasuk hadits di atas. Adapun Nabi SAW menganjurkan agar orang itu tidak melakukannya lagi adalah karena kondisi fisiknya sudah berubah dan menurun. Itulah mengapa sebagian Ulama, termasuk kalangan Syafi'iyyah memandang Puasa itu secara umum sunnah, kecuali pada hari-hari yang diharamkan. Jadi, bagi mereka yang kuat, tidak ada halangan melakukan Puasa setahun penuh. Wa Allah A'lam. Kedua, anjuran Nabi untuk puasa di bulan Ramadhan dan satu hari di setiap bulan menunjukkan bahwa itu bukan Puasa Senin-Kamis, Puasa Ayyaam al-Biidh, maupun Puasa Dawud. Demikian pula ketika beliau menambahkan dua hari, sampai tiga hari dalam sebulan. Ketiga, Rasulullah SAW memberikan pilihan Puasa di bulan-bulan Haram. Artinya, Puasa di bulan-bulan haram itu sunnah, dan boleh sebulan penuh. Sabda Nabi SAW, "Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah" menunjukkan bolehnya melakukan sebulan penuh. Adalah ada kata dan tinggalkanlah adalah karena Nabi SAW mengkhawatirkan kondisi fisik orang itu, sehingga baginya sebaiknya kadang puasa, kadang tidak. Namun, bagi yang mampu ya tidak ada halangan baginya Puasa sebulan penuh. Wa Allah A'lam.
Dengan dasar ayat al-Quran surah at-Taubah ayat 36 dan juga Hadits ini, sudah lebih dari cukup menunjukkan kesunnahan Puasa di bulan-bulan Haram, tanpa perlu mengutip satu pun Hadits Dha'if. Termasuk bulan Haram adalah Bulan Rajab. Namun, bila masih belum puas juga, boleh juga kita sampaikan Hadits berikut ini.
Dari Usamah bin Zaid, beliau berkata, “Yaa Rasulallah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam suatu bulan sebanyak di bulan Sya’ban”.
Nabi SAW menjawab: “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR Imam An Nasa’i).
Hadits ini adalah Hadits shahih, mengajarkan kepada kita beberapa hal: Pertama, Nabi SAW banyak berpuasa di bulan Sya'ban, saking banyaknya membuat shahabat takjub. Hal ini mengindikasikan bahwa puasa beliau itu melebihi puasa yang biasa seperti puasa senin kamis dan ayyaam al-biidh. Dengan begitu, puasa Sya'ban itu sunnah hukumnya.
Kedua, Puasa Nabi SAW itu untuk mendorong umatnya menghidupkan puasa di bulan Sya'ban, karena mereka lebih mengutamakan puasa di bulan Rajab (sunnah) dan Ramadhan (wajib). Hal ini mengindikasikan bahwa umat Islam dari semula memang rajin menghidupkan puasa di bulan Rajab. Artinya, puasa Rajab itu juga sunnah hukumnya, bahkan sudah lebih dahulu menjadi kebiasaan daripada puasa Sya'ban.
Imam al-Syaukani berkata: “Hadits Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya puasa Rajab. Karena yang tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi SAW melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.” (Lihat Nail al-Authar Juz 4)
Sementara orang masih juga ada yang tidak puas dan mengatakan (karena keengganannya berfikir) bahwa Hadits tersebut tidak menyebutkan bahwa Nabi SAW banyak berpuasa di bulan Rajab. Untuk mereka kita berikan Hadits berikut ini:
‘Utsman bin Hakim Al-Anshari menceritakan kepada kami, beliau berkata: "Aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa bulan Rajab. Kami pada hari itu berada di bulan Rajab. Sa’id bin Jubair berkata: 'Aku mendengar Ibnu ‘Abbas r.anhuma mengatakan bahwa Rasulullah SAW biasa berpuasa (di bulan Rajab), sampai-sampai kami berkata: Beliau tidak pernah tidak berpuasa (di bulan Rajab). Beliau juga biasa tidak berpuasa sampai-sampai kami berkata: Beliau tidak pernah berpuasa (di bulan Rajab)'." (HR Imam Muslim)
Hadits riwayat Imam Muslim itu sangat jelas menunjukkan bahwa Puasa Rajab yang dilakukan oleh Rasulullah SAW bukanlah semata Puasa Senin-Kamis, atau pun Ayyaam al-Biidh. Bahkan indikasi dalam Hadits menunjukkan bahwa beliau puasa sebulan penuh. Adapun Nabi SAW tidak melanggengkan puasa itu adalah untuk tujuan menunjukkan bahwa hal itu adalah sunnah saja, jangan dianggap fardhu. Selain itu, ada tujuan agar ibadah itu tidak difardlukan, agar tidak memberatkan umat beliau. Sebagai contoh Nabi SAW tidak melanggengkan jamaah Tarawih, karena, takut difardlukan (oleh Allah SWT), dan juga khawatir dianggap fardlu oleh umatnya. Hal yang sama juga beliau lakukan dengan tidak melanggengkan shalat Dhuha. Namun bagi kita, shalat Tarawih berjamaah sebulan penuh itu sunnah. Demikian pula shalat dhuha setiap hari itu juga sunnah. Wa Allah A’lam
Dengan dalil dari al-Quran dan Hadits-hadits yang Shahih telah jelas dan pasti mengenai kesunnahan berpuasa di bulan Rajab, baik sebagiannya maupun sebulan penuh. Adapun adanya Hadits lain yang memberikan semangat lebih untuk melakukan puasa Rajab, maka itu tidak masalah, karena puasa sunnah itu termasuk Amalan utama, yang dalilnya boleh menggunakan Hadits Dha'if. Termasuk dalam kategori yang ini adalah Hadits berikut ini.
Nabi SAW juga telah bersabda: “Sesungguhnya di dalam surga ada suatu sungai yang disebut Sungai Rajab. Airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis daripada madu. Barang siapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka kelak Allah memberi minum kepadanya dari sungai tersebut.” (HR Imam al-Baihaqi - dha’if)
Hadits ini termasuk yg dha’if bukan karena dipalsukan, bukan pula karena perawinya pembohong atau parah dalam periwayatan. Sebagian hanya karena ada perawinya dianggap kurang kuat hafalannya (meski ia jujur), atau ia pernah diketahui pernah berbohong, atau ia peragu, dll. Hadits jenis ini adalah hadits dari Rasulullah SAW juga, namun sanadnya kurang kuat. Hadits ini tidak masalah menjadi landasan pemacu semangat Puasa Rajab, karena kesunnahannya sendiri telah didukung dalil dari al-Quran dan Hadits-hadits yang Shahih. Wa Allah A'lam.
Para Ulama Ahli Hadits berbeda pendapat mengenai hadits dha'if jenis ini. Namun, intinya tidak ada yang melarang menggunakannya untuk Fadhail al-a"maal (amalan-amalan utama seperti puasa, dzikir, dll.). Ulama Salaf seperti Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa hadits dha'if jenis ini boleh diamalkan secara mutlak tanpa syarat jika tidak ada hadits lain dalam bab tersebut. Pendapat yg sama diungkapkan oleh Imam Abu Dawud. Mereka berpendapat bahwa hadits dha'if masih jauh lebih kuat daripada pendapat Ulama. Imam Ahmad mengatakan: "Dho'iful hadits lebih kusukai daripada pendapat Ulama, karena kita tidak beralih ke Qiyas kecuali setelah tidak ada nash."
Adapun pendapat Jumhur Ulama Salaf (Imam Nawawi dan Ibnu Hajar bahkan mengatakan ini adalah ijma' Ulama) bahwa hadits dha'if itu boleh diamalkan dengan beberapa syarat. Menurut para ahli hadits dan selain mereka, boleh mempermudah urusan sanad dan meriwayatkan hadits dha'if - selain maudhu' - tanpa perlu menjelaskan kelamahannya. Dan boleh mengamalkan hadits dha'if dalam hal selain sifat-sifat Allah (Aqidah), hukum halal dan haram, yaitu (boleh dalam hal) nasehat-nasehat, kisah-kisah, fadhail a'mal, segala macam targhib dan tarhib, dalam semua hal yg tidak berkaitan dengan hukum (halal haram) dan aqidah. Wa Allah A’lam.
Sekarang bagaimana mengamalkan doa ketika memasuki Rajab, "Allahumma Baarik lanaa fi Rajab wa Sya'baan wa Ballighnaa Ramadhaan." Bukankah haditsnya termasuk Dha'if? Jawaban pertama, telah diuraikan di atas bahwa untuk amalan utama, beramal dengan dasar Hadits Dha'if itu boleh menurut Jumhur Ulama Salaf. Jawaban kedua, doa itu adalah amalan baik yang tidak dibatasi bentuk dan macamnya. Dengan kata lain, sepanjang doa itu baik, maka tidak bisa disebut bid'ah, bahkan bila dilafadzkan menggunakan selain Bahasa Arab. Banyak orang tua mendoakan anaknya lulus sekolah, sukses dalam karir, dll yang tidak satu pun ada contohnya dari Rasulullah SAW. Tidak ada salahnya orang berdoa, "Yaa Allah, berilah kami keberkahan di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikan kami ke bulan Ramadhan." Seandainya tidak ada Hadits di atas pun berdoa demikian adalah baik. Wa Allah A'lam
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa tidak dibenarkan untuk berpuasa Rajab bila semata didasarkan kepada Hadits yang Dha'if sekali, seperti Hadits, "Sesungguhnya Nabi SAW tidak pernah puasa setelah Ramadhan, selain Rajab dan Sya'ban." (HR Imam Baihaqi), maka itu ada benarnya juga. Beramal dengan dasar Hadits yang sangat dha'if dan juga Hadits Maudhu' memang tidak dianjurkan. Tampaknya hal ini yang kemudian memicu kesalahpahaman, karena ada yang mengira bahwa Puasa Rajab itu dasarnya hanyalah Hadits Dha'if dan Maudhu'. Namun, sebagaimana telah kita uraikan di atas, hal itu terjadi karena kurang lengkapnya penjelasan dan dipotongnya suatu gagasan hanya pada bagian tertentu dari suatu uraian. Wa Allah A'lam
Terakhir kita bahas mengenai pemahaman dan fatwa Ulama Salaf menyangkut Puasa Rajab. Hal untuk menunjukkan siapa yang mengikuti al-Quran dan Hadits berdasarkan pemahaman Ulama Salaf, dan siapa yang sekedar mengaku-ngaku saja. Para Ulama telah ijma' bahwa puasa Rajab itu sunnah hukumnya. Perbedaannya hanya pada apakah puasa Rajab itu sunnah sebulan penuh atau tidak. Hanya madzhab Hanbali yang berpendapat bahwa Puasa Rajab itu sunnah asal tidak dilakukan sebulan penuh. para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa berpuasa Rajab secara penuh (30 hari) hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan puasa pada bulan-bulan haram yang lainnya. Kemakruhan ini akan menjadi hilang apabila tidak berpuasa dalam satu atau dua hari dalam bulan Rajab tersebut, atau dengan berpuasa pada bulan haram yang lain. Adapun semua Madzhab yang lain berpendapat bahwa Puasa Rajab itu sunnah, termasuk apabila dilakukan sebulan penuh. Wa Allah A'lam.
(Pengajian via grup WA IMAN, arsip tanggal 18-03-2018)
Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)
0 Response to "Pembahasan Tuntas Puasa Rajab"
Posting Komentar