Antara Shalat Malam 8 Rakaat dan Tarawih 20 Rakaat
Alhamdulillah, sebelumnya kita telah membahas mengenai amalan tabarruk yang di antaranya didasarkan kepada riwayat dari Sayyidah 'Aisyah. Masih sangat banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari beliau terkait masalah-masalah agama. Salah satu yang akan kita bahas kali ini adalah hadits dari beliau yang membahas tentang shalat malam.
Dari Abu Salamah ibn Abdurrahman, ia menanyakan mengenai shalat malam Rasulullah SAW kepada Sayyidah 'Aisyah. Beliau menjawab: "Rasulullah SAW tidak pernah menambah, baik di dalam maupun di luar Ramadhan, lebih dari 11 rakaat. Beliau Shalat 4 rakaat. Jangan tanyakan mengenai bagus dan panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat 4 rakaat. Jangan tanyakan mengenai bagus dan panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Aku bertanya kepada beliau SAW, 'Apakah engkau tidur sebelum mengganjilkan? Nabi SAW menjawab: 'Kedua mataku (mungkin saja) terpejam, namun hatiku tidak (pernah) tidur.' "(HR Imam Bukhari)
Hadits tersebut belakangan ini sering dijadikan dasar bahwa Nabi SAW Shalat Tarawih 8 rakaat dan Witir 3 rakaat. Dengan dasar itu pula sering kita dengar ungkapan bahwa "kalau Nabi shalat Tarawih itu 8 rakaat, sedangkan Umar bin Khattab 20 rakaat" atau ungkapan "Kalau mengikuti Nabi, Tarawih itu 8 rakaat, sedangkan yang 20 rakaat itu mengikuti Umar". Benarkah kedua ungkapan tersebut?
Mari kita kupas satu persatu.
Pertama, tidak satu pun Ulama Salaf, termasuk imam Madzhab yang 4, yang menjadikan hadits tersebut sebagai dasar amalan Tarawih. Yang pertama menggunakan hadits tersebut sebagai dasar amalan dan jumlah rakaat Tarawih adalah Ibn Taimiyah, yang hidup pada abad ke-7 sampai 8 Hijriyah, jauh dari generasi Salaf.
Kedua, Abu Salamah datang dan bertanya kepada Sayyidah 'Aisyah adalah mengenai Shalat Malam Nabi SAW secara umum, bukan tentang Shalat Tarawih. Itulah mengapa Sayyidah 'Aisyah merasa perlu untuk menegaskan "fi ramadhan wa laa fi ghairihi" (tidak menambah baik di bulan Ramadhan maupun di bulan yang lain), karena yang dibicarakan adalah amalan yang dikerjakan sepanjang tahun, bukan khusus di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat Tarawih itu hanya ada di bulan Ramadhan dan tidak ada di bulan-bulan yang lain.
Dari sisi ini saja, sebenarnya dapat terbaca bahwa hadits itu berbicara mengenai shalat malam yang umum, bukan shalat malam khusus bulan Ramadhan, bukan mengenai "Qiyaamu Ramadhan". Istilah yang disebutkan Nabi SAW untuk shalat yang sekarang kita sebut Shalat Tarawih itu adalah "Qiyaamu Ramadhan", untuk menegaskan bahwa shalat itu hanya ada di bulan Ramadhan. Bila tidak demikian, tentu disebut saja "Qiyaam al-Lail" saja. Faktanya tidak ada satu pun Ulama yang menyebutkan ada shalat Tarawih di luar Ramadhan. Sedangkan Sayyidah 'Aisyah mengungkapkan baik di dalam maupun di luar Ramadhan menunjukkan bahwa itu bukan Shalat Tarawih. Wa Allah A'lam.
Ketiga, Nabi SAW melaksanakan shalat itu 4 rakaat salam, 4 rakaat salam, dan beliau mengganjilkan dengan 3 rakaat. Kaifiyah (tata cara) Tarawih semacam ini sama sekali tidak dikenal di masa shahabat maupun tabi'in. Tak ada satu pun riwayat yang menggambarkan kaifiyah tersebut. Bila Nabi SAW melaksanakan Tarawih demikian, dan para shahabat melihat hal tersebut, mengapa tak ada satu pun riwayat yang menunjukkan bahwa mereka mencontohnya demikian?
Semua fatwa dari keempat Madzhab yang ada senantiasa menjelaskan bahwa Shalat Tarawih itu 20 rakaat dan dilaksanakan dengan cara salam setiap 2 rakaat. Bahkan menurut Madzhab Syafi'i, bila dilaksanakan 4 rakaat dengan niat Tarawih, maka tidak sah shalatnya. Padahal mereka tahu adanya hadits dari 'Aisyah tersebut. Apakah para Imam Madzhab tersebut sengaja mengabaikan bahkan menentang Nabi SAW? Tentu tidak mungkin demikian. Wa Allah A'lam.
Hal tersebut justru menunjukkan bahwa para Imam Madzhab dan para Ulama memahami bahwa hadits itu bukan berkaitan dengan Tarawih. Kalau kita tarik lebih jauh ke masa Shahabat, baik Sayyidah 'Aisyah maupun Abu Salamah, dan juga segenap shahabat yang lain yang pernah berjama'ah Tarawih di belakang Rasulullah SAW, tidak ada satu pun yang ribut, protes, atau berusaha menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW itu tidak pernah lho melaksanakan Tarawih lebih dari 11 rakaat. Sedangkan mereka adalah generasi yang paling Berhati-hati menyangkut masalah hukum, terlebih yang terkait dengan ubudiyah. Jangankan menambah 12 rakaat (dari 8 ke 20), adanya tambahan 2 rakaat saja semestinya sudah menimbulkan kegemparan yang luar biasa.
Hal yang paling logis yang bisa kita simpulkan adalah bahwa mereka melaksanakan segala sesuatu ubudiyah itu adalah mencontoh dari Nabi SAW. Terlebih bahwa Tarawih itu adalah ibadah jama'i yang dilaksanakan dan dilihat oleh banyak orang. Bila semua shahabat bisa sepakat pada jumlah 20 rakaat tanpa perdebatan maupun keraguan, jelas mengindikasikan bahwa mereka pernah melaksanakan dengan Nabi SAW dengan jumlah tersebut. Wa Allah A'lam.
Kekhususan Tarawih di bulan Ramadhan bisa kita bandingkan dengan kekhususan shalat Tahiyyatul Masjid yang juga khusus dilaksanakan di Masjid. Tidak ada shalat Tahiyyatul Masjid itu di jalan maupun di rumah.
Mari kita perhatikan hadits berikut ini: Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir, keduanya berkata : Telah datang Sulaik al-Ghathfani ketika Rasulullah SAW tengah berkhutbah. Lalu Nabi bertanya kepadanya : “Apakah engkau sudah shalat dua rakaat sebelum datang kesini?” Dia menjawab : "Belum." Nabi SAW bersabda: “Shalatlah kamu dua rakaat dan ringkaskanlah shalatmu.” (HR Imam Ibn Majah).
Rasulullah SAW menganjurkan kepada Sulaik untuk shalat sunnah qabliyyah dua raka’at sebelum duduk mendengarkan khutbah. Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi menjelaskan bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah Jum’ah, bukan shalat Tahiyyatul Masjid, karena sabda Nabi "Ashollaita qabla an tajiia." (Apakah kamu sudah shalat sebelum datang ke masjid ini). Sedangkan tahiyyatul masjid tidak boleh dikerjakan di rumah atau di luar masjid, melainkan harus dikerjakan di masjid. Imam Syaukani juga menjelaskan bahwa Sabda Nabi SAW ‘sebelum engkau datang kesini’ menunjukkan bahwa sholat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah Jum’ah dan bukan sholat sunnah tahiyyatul masjid“. Wa Allah A'lam.
Kembali kepada pertanyaan bolehkah orang bertarawih dalam jumlah yang kurang dari 20 rakaat. Jawabannya ya jelas boleh, meski itu artinya tidak sempurna. Jangankan 8 rakaat, dikerjakan cuma 2 rakaat saja juga boleh. Lha wong itu shalat sunnah. Bahkan tidak dikerjakan pun tidak berdosa. Yang dilarang adalah melaksanakannya empat rakaat sekali salam, karena tidak ada shalat Tarawih dengan kaifiyah tersebut.
Penjelasan mengenai Qabliyah Jum'ah di atas memberi kita pemahaman bahwa ungkapan Sayyidah 'Aisyah "Di dalam maupun di luar Ramadhan" menunjukkan bahwa yang beliau jelaskan kepada Abu Salamah itu adalah bukan Shalat Tarawih, karena itu adalah shalat yang adanya khusus di bulan Ramadhan.
Kelima (yang keempat terkait dengan Qabliyah Jum'ah tadi), nama Tarawih itu sendiri telah menunjukkan jumlah rakaatnya. Tarawih adalah bentuk jamak dari raahah, yang artinya adalah istirahat. Dengan demikian, tarawih artinya banyak istirahatnya. Shalat Tarawih artinya shalat yang banyak istirahatnya. Dalam kitab I'anah ath-Thalibin dijelaskan bahwa shalat itu diberi nama Tarawih adalah karena para shahabat melaksanakannya dengan kaifiyah setiap 2 rakaat salam, kemudian setiap dua kali salam atau setiap 4 rakaat, mereka berhenti beristirahat (meski tidak semua mau beristirahat, karena yang merasa kuat mereka thawaf ketika yang lain istirahat). Karena banyak istirahatnya (sampai 4 kali, bahkan 5 kali bila berdoa menjelang witir juga dihitung istirahat), maka orang-orang menyebutnya sebagai Shalat Tarawih. Wa Allah A'lam.
Bila shalat itu hanya 8 rakaat, tentu sebutan itu tidak akan ada. Bila berdoa sebelum witir (yang 8 rakaat) juga dihitung istirahat, tetap tak bisa disebut Tarawih, karena untuk tatsniyah ada ungkapannya dalam Bahasa Arab, yakni raahataani (dua kali istirahat). Istilah jamak dalam Bahasa Arab hanya berlaku untuk jumlah tiga ke atas. Adapun jumlah 20 memenuhi kriteria penamaan Tarawih tersebut.
Keenam, para Imam Madzhab, bahkan seluruh Ulama Salaf sepakat bahwa jumlah rakaat Tarawih itu 20 rakaat, tidak kurang. Memang ada sebagian umat Islam di Madinah (dan itu khusus terjadi di Masjid Nabawi) yang melaksanakannya sampai 36 rakaat. Namun, jumlah itu tidak pernah menjadi fatwa Madzhab mana pun, hanya ada yang membolehkan, bukan menfatwakan bahwa rakaat Tarawih itu 36. Wa Allah A'lam.
Para Imam Madzhab itu pernah melakukan perjalanan lintas negara dalam upaya mereka mengumpulkan ilmu, kecuali Imam Malik yang nyaris tidak pernah keluar dari Madinah kecuali untuk berhaji. Imam Abu Hanifah ada di Baghdad. Beliau pernah ke Kufah untuk belajar langsung kepada Shahabat Malik bin Anas. Beliau menfatwakan rakaat Tarawih 20 rakaat. Imam Malik beliau ada di Madinah dan menyaksikan sendiri mereka yang melakukan Tarawih di Masjid Nabawi sampai 36 rakaat, tapi beliau tetap menfatwakan bahwa rakaat Tarawih itu 20 rakaat. Imam Syafi'i adalah pengelana sejati. Beliau lahir di Gaza, Palestina, pernah belajar di Makkah, belajar kepada Imam Malik di Madinah, pernah ke Yaman, Iraq, dan Mesir. Beliau juga menfatwakan Tarawih itu 20 rakaat. Tak ada riwayat dari seluruh negeri itu yang melaksanakannya dalam jumlah yang lain dari itu. Imam Ahmad bin Hanbal lahir di Turkmenistan, pernah ke Suriah, Makkah, Madinah, dan Yaman juga menfatwakan hal yang sama tanpa ada pembandingan dengan jumlah rakaat yang selain 20. Kesepakatan seluruh Ulama dan juga seluruh negeri Islam itu adalah Ijma' yang sangat kuat.
Baik al-Qur'an maupun Nabi SAW telah memerintahkan kepada kita agar mengikuti ijma' dan melarang kita untuk keluar dan menyendiri. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan ‘tangan’ Allah beserta jama’ah.” (HR Imam Tirmidzi) "Allah tidak akan membiarkan ummatku dalam kesesatan, selamanya. Ikutilah As-Sawad al-A'dhom (kelompok terbesar). Tangan Allah bersama jamaah. Barangsiapa menyendiri, ia akan menyendiri dalam neraka." (HR Imam al-Hakim) Dari Anas bin Malik ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya ummatku takkan bersatu dalam kesesatan. Jika kalian melihat perselisihan, maka hendaklah kalian bersama As-Sawad Al-A'dhom (kelompok terbesar)." (HR Ibnu Majah)
Alhamdulillah, demikian pengajian kita hari ini. Semoga bermanfaat. Kita tutup dulu pengajian kita hari ini. Insyaa Allah kita lanjutkan minggu depan. Silakan baca Hamdalah. Wassalaamu alaikum WW.
Dikutip dari Kajian di WA dari Dr.K.H.M.Dawud Arif Khan - Arsip tanggal 17 Mei 2017
Foto dari Wikipedia.
0 Response to "Antara Shalat Malam 8 Rakaat dan Tarawih 20 Rakaat"
Posting Komentar