Mengucapkan Selamat Natal
Oleh: Dr.H.M.Dawud Arif Khan
Catatan: Pengajian ini disampaikan online di Whatsapp sehingga terdapat dialog dari peserta. Dialog dari peserta dalam artikel ini diberi tanda miring dan diberi kurung [...] )
Alhamdulillah, hari ini kita bahas masalah mengucapkan selamat natal dan memakai atribut natal.
Pertama adalah mengenai hal yang disepakati, yaitu mengikuti perayaan atau ritual natal (sakramen). Para Ulama sepakat bahwa hal tersebut haram hukumnya. Alasannya adalah bahwa hal itu termasuk bagian dari ubudiyah orang Nashrani, sehingga mengikutinya adalah haram. Tapi, berbeda dengan pejabat yang datang hanya untuk memberikan sambutan dan mengucapkan selamat. Yang ini ada beda pendapat. Pada umumnya, Pejabat datang dan memberi sambutan itu dibolehkan, karena sebagai pengayom. Wa Allah A'lam.
Kini kita fokus ke masalah kedua, yaitu mengucapkan selamat natal. Untuk masalah ini ada khilafiyah.
Dalil yang dipergunakan oleh Ulama yang mengharamkan mengucapkan selamat natal itu praktis hanya satu, yaitu "Man tasyabbaha bi qaumin fa huwa minhum" (barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari kaum itu). Ada juga dalil tak langsung, seperti Surah al-Furqan ayat 72 dan al-Maaidah ayat 48. Tapi, kedua dalil ini tidak langsung terkait dengan pengucapan selamat itu.
Adapun para Ulama yang membolehkan mengucapkan selamat natal, biasanya menggunakan dasar Surah al-Mumtahanah ayat 7-8, al-Baqarah ayat 83, dan an-Nisaa ayat 86.
Adapun fatwa MUI mengenai Natal (1981) adalah mengenai mengikuti upacara dan ritual, tidak termasuk masalah mengucapkan selamat natal. Apabila kita merujuk fatwa tersebut, maka kesimpulan hukumnya adalah, apabila mengucapkan itu disertai persetujuan pada keyakinannya, maka haram. Tapi, bila tidak, ya tidak termasuk yang diharamkan. Wa Allah A'lam.
Mayoritas Ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat natal kepada umat Nashrani. Syaikh Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa ia berbeda pendapat dengan Ibn Taimiyah dalam hal tersebut. Ucapan selamat dibolehkan apabila berdamai dengan umat Islam, khususnya bagi orang Nashrani yang memiliki hubungan khusus dengan orang muslim, seperti hubungan kekerabatan, tetangga, teman sekantor, sekampus, satu sekolah, kolega bisnis, dan lain-lain. Mengucapkan selamat termasuk kebaikan yang tidak dilarang oleh Allah, bahkan termasuk perbuatan bagian dari perbuatan yang adil. Wa Allah A'lam.
[Tanggapan Ahmad Toha: Nambahin sedikit, Habib Umar bin Hafidz juga menerima pertanyaan dari peserta diskusi soal hukum mengucapkan selamat (tahniah) Natal kepada umat Kristiani. Ia menjawab bahwa ucapan tersebut boleh selama tak disertai pengakuan (iqrar) terhadap hal-hal yang bertentangan dengan pokok akidah Islam, seperti klaim Isa anak Tuhan dan keikutsertaan dalam kemaksiatan. Kebolehan ini, tutur Habib Umar, karena memuliakan para utusan Allah, termasuk Nabi Isa, adalah di antara hal yang pasti diakui dalam Islam (min dharuriyyati hadza ad-din).]
[Tanggapan Zia Ul Haq: Syaikh Abdullah bin Bayyah senada dengan Habib Umar bin Hafidh, sebab melihat illat yang sudah berbeda di zaman dahulu dan sekarang. Inilah pendapat yang dipegang dan dikemukakan Habib Ali Aljufri dimana-mana. Katanya, boleh saja orang menahan diri agar tidak mengucapkan selamat atau menunjukkan simpati sosial kepada yang merayakan Natal, namun dia tidak boleh menyalahkan orang lain yang tak sependapat apalagi sampai mengorek-korek kadar keimanan orang tersebut.]
Para Masyahikh di al-Azhar Mesir pada umumnya berpandangan sama dengan Syaikh Yusuf Qardhawi. Menurut mereka, tidak ada hal yang mencegah bolehnya mengucapkan itu, sepanjang tidak ikut merayakan. Tidak ada larangan bagi muslim mengucapkan selamat kepada non-muslim dengan kalimat biasa yang tidak mengandung pengakuan atas kebenaran agama mereka. Ucapan selamat itu hanya kalimat ramah tamah yang biasa dikenal.
Syaikh Ali Jum'ah, Mufti Mesir, juga menjelaskan hal yang sama, yakni boleh dengan syarat tidak ikut bergabung dalam perayaannya, terutama yang terkait dengan perkara yang bertentangan dengan aqidah Islam. Beliau berpandangan bahwa hal itu (mengucapkan selamat) adalah baik dan melunakkan hati.
Dari Suriah, ada Syaikh Wahbah az-Zuhaili (penulis al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh dan bergelar Syafi'i kecil) yang menyatakan bahwa tidak ada halangan dalam bersopan santun (mujamalah) dengan orang Nashrani menurut pendapat sebagian Ahli Fiqih berkenaan dengan Hari Raya mereka, asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas kebenaran paham mereka.
Di Yaman ada Habib Umar yang juga memberikan penjelasan serupa, sebagaimana telah diposting pak Toha. Di Yordania ada Syaikh Syarof Qudhat, seorang ahli Hadits yang juga menyatakan pendapat serupa. Di Eropa ada Syaikh Abdullah bin Bayyah yang pendapatnya juga sudah diposting di atas.
Di Indonesia ada Gus Dur dari NU dan juga Dr. Dien Syamsuddin dari Muhammadiyah punya pendapat serupa. Pendeknya Jumhur Ulama kontemporer membolehkan dengan syarat sebagaimana telah disebutkan.
[Tanggapan Sunarsip: Mungkin yang perlu dipikirkan: ucapan natal seperti apa yang di dalamnya itu tidak mengandung unsur pengakuan? Apakah ucapan-ucapan natal di Indonesia yang beredar tersebut sama dengan pengertian ucapan natal-natal sebagaimana yang dimaksud para ulama yang membolehkan memberikan ucapan natal?]
Betul sekali pak Sunarsip. Pada umumnya, para Ulama yang mengharamkan itu mengasumsikan bahwa ucapan itu sendiri inheren mengandung pengakuan. Di sinilah letak perbedaan pendapat itu. Karena itu, pembicaraan masalah ini bukanlah konsumsi perdebatan antara orang awam di facebook atau media sosial yang lain. Ada hal-hal yang harus dijelaskan, lebih dari sekedar menyatakan boleh atau tidak boleh. Edukasi masalah "al-hukm yaduuru ma'a 'illatih wujudan wa 'adaman" perlu disampaikan.
Di kalangan Ulama Muhammadiyah, Termasuk Buya Hamka, menghadiri upacara keagamaan agama lain dan mengucapkan selamat itu termasuk hal yang wajar dan tidak terlarang. Buya Hamka termasuk orang yang sering dikutip sebagai Ulama yang mengharamkan mengucapkan selamat natal, padahal beliau tidak pernah berpendapat seperti itu.
[Tanggapan Sunarsip: Saya tidak tahu apakah yang dimaksud pemberian ucapan natal tanpa pengakuan tersebut hanya ucapan sekedar basa-basi kata-kata, tetapi sebenarnya di hati kita mengingkarinya. Karena dalam bahasa harfiah (kata orang yang mengerti bahasa) ucapan selamat natal sesungguhnya merupakan pengakuan (inheren) bahwa Tuhan itu dilahirkan. Nah, di Islam kan ini tidak boleh.
Karena saya ingin menghormati kawan-kawan kita yang Kristen, saya suka berimprovisasi dalam ucapan natal ini. Saya TIDAK pernah mengucapkan kalimat "Selamat Natal". Saya mengucapkan natal seperti ini "Semoga SUASANA NATAL kali ini membawa kedamaian bagi kita semua, kedamaian bagi bangsa kita dan seluruh umat beragama"]
[Tanggapan Syaichuddin: Mohon maaf ikut bertanya. Biasanya hujjah bagi saudara kita yang memilih tidak mengucapkan adalah, bahwa ada kesesatan kok diucapin selamat?]
[Tanggapan Ustadz Ichsan Nafarin: Pandangan para ulama sudah cukup jelas. Boleh tahniah asal *tidak disertai persetujuan* hal yang menyimpang. Jangan dibalik menjadi "boleh asal *ada pengingkaran* hal yang menyimpang.]
Itulah juga argumen para Ulama yang menyatakan haram (seperti yang disampaikan Pak Sunarsip dan Syaichudin). Adapun di NU, ada dua pendapat besar, yakni yang membolehkan dan yang mengharamkan. KH Misbach (Ketua MUI Jatim) menyatakan bahwa menghadiri saja sudah haram. Biarpun di situ kita tidak ikut bernyanyi dan berdoa, tapi kehadiran kita itu berarti sudah ikut bernatal. Seluruh acara dalam perayaan Natal merupakan upacara ritual. Itulah mengapa beliau termasuk yang mengharamkan mengucapkan selamat natal itu. Para Ulama tradisional di kampung2 juga cenderung punya pendapat yang sama dengan Kyai Misbach. Wa Allah A'lam.
Pengajian kita ini tidak untuk memaksa sampean semua mengikuti pendapat tertentu. Semua pendapat dan pertimbangan telah disampaikan, silakan dipilih dan disikapi secara bijak. Saya sendiri memilih untuk tidak mengucapkan selamat natal. Hal itu tidak menjadi masalah bagi sahabat2 saya yang non muslim, dan juga bentuk kehati-hatian saya. Yang penting kita tidak menyalahkan dan mencela orang yang beda pendapat. Wa Allah A'lam.
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari WA khusus anggota IMAN, 23 Desember 2016)
Catatan: Pengajian ini disampaikan online di Whatsapp sehingga terdapat dialog dari peserta. Dialog dari peserta dalam artikel ini diberi tanda miring dan diberi kurung [...] )
Alhamdulillah, hari ini kita bahas masalah mengucapkan selamat natal dan memakai atribut natal.
Pertama adalah mengenai hal yang disepakati, yaitu mengikuti perayaan atau ritual natal (sakramen). Para Ulama sepakat bahwa hal tersebut haram hukumnya. Alasannya adalah bahwa hal itu termasuk bagian dari ubudiyah orang Nashrani, sehingga mengikutinya adalah haram. Tapi, berbeda dengan pejabat yang datang hanya untuk memberikan sambutan dan mengucapkan selamat. Yang ini ada beda pendapat. Pada umumnya, Pejabat datang dan memberi sambutan itu dibolehkan, karena sebagai pengayom. Wa Allah A'lam.
Kini kita fokus ke masalah kedua, yaitu mengucapkan selamat natal. Untuk masalah ini ada khilafiyah.
Dalil yang dipergunakan oleh Ulama yang mengharamkan mengucapkan selamat natal itu praktis hanya satu, yaitu "Man tasyabbaha bi qaumin fa huwa minhum" (barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari kaum itu). Ada juga dalil tak langsung, seperti Surah al-Furqan ayat 72 dan al-Maaidah ayat 48. Tapi, kedua dalil ini tidak langsung terkait dengan pengucapan selamat itu.
- "Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya," (QS. Al-Furqan: Ayat 72)
- "Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan,"(QS. Al-Ma'idah: Ayat 48)
Adapun para Ulama yang membolehkan mengucapkan selamat natal, biasanya menggunakan dasar Surah al-Mumtahanah ayat 7-8, al-Baqarah ayat 83, dan an-Nisaa ayat 86.
- "Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang di antara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al-Mumtahanah: Ayat 7)
- "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: Ayat 8)
- "Dan (ingatlah) ketika kami mengambil janji dari Bani Israil, "Janganlah kamu menyembah selain Allah dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah sholat dan tunaikanlah zakat." Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari) kecuali sebagian kecil dari kamu dan kamu (masih menjadi) pembangkang." (QS. Al-Baqarah: Ayat 83)
- "Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (penghormatan itu yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu." (QS. An-Nisa': Ayat 86)
Adapun fatwa MUI mengenai Natal (1981) adalah mengenai mengikuti upacara dan ritual, tidak termasuk masalah mengucapkan selamat natal. Apabila kita merujuk fatwa tersebut, maka kesimpulan hukumnya adalah, apabila mengucapkan itu disertai persetujuan pada keyakinannya, maka haram. Tapi, bila tidak, ya tidak termasuk yang diharamkan. Wa Allah A'lam.
Mayoritas Ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat natal kepada umat Nashrani. Syaikh Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa ia berbeda pendapat dengan Ibn Taimiyah dalam hal tersebut. Ucapan selamat dibolehkan apabila berdamai dengan umat Islam, khususnya bagi orang Nashrani yang memiliki hubungan khusus dengan orang muslim, seperti hubungan kekerabatan, tetangga, teman sekantor, sekampus, satu sekolah, kolega bisnis, dan lain-lain. Mengucapkan selamat termasuk kebaikan yang tidak dilarang oleh Allah, bahkan termasuk perbuatan bagian dari perbuatan yang adil. Wa Allah A'lam.
[Tanggapan Ahmad Toha: Nambahin sedikit, Habib Umar bin Hafidz juga menerima pertanyaan dari peserta diskusi soal hukum mengucapkan selamat (tahniah) Natal kepada umat Kristiani. Ia menjawab bahwa ucapan tersebut boleh selama tak disertai pengakuan (iqrar) terhadap hal-hal yang bertentangan dengan pokok akidah Islam, seperti klaim Isa anak Tuhan dan keikutsertaan dalam kemaksiatan. Kebolehan ini, tutur Habib Umar, karena memuliakan para utusan Allah, termasuk Nabi Isa, adalah di antara hal yang pasti diakui dalam Islam (min dharuriyyati hadza ad-din).]
[Tanggapan Zia Ul Haq: Syaikh Abdullah bin Bayyah senada dengan Habib Umar bin Hafidh, sebab melihat illat yang sudah berbeda di zaman dahulu dan sekarang. Inilah pendapat yang dipegang dan dikemukakan Habib Ali Aljufri dimana-mana. Katanya, boleh saja orang menahan diri agar tidak mengucapkan selamat atau menunjukkan simpati sosial kepada yang merayakan Natal, namun dia tidak boleh menyalahkan orang lain yang tak sependapat apalagi sampai mengorek-korek kadar keimanan orang tersebut.]
Para Masyahikh di al-Azhar Mesir pada umumnya berpandangan sama dengan Syaikh Yusuf Qardhawi. Menurut mereka, tidak ada hal yang mencegah bolehnya mengucapkan itu, sepanjang tidak ikut merayakan. Tidak ada larangan bagi muslim mengucapkan selamat kepada non-muslim dengan kalimat biasa yang tidak mengandung pengakuan atas kebenaran agama mereka. Ucapan selamat itu hanya kalimat ramah tamah yang biasa dikenal.
Syaikh Ali Jum'ah, Mufti Mesir, juga menjelaskan hal yang sama, yakni boleh dengan syarat tidak ikut bergabung dalam perayaannya, terutama yang terkait dengan perkara yang bertentangan dengan aqidah Islam. Beliau berpandangan bahwa hal itu (mengucapkan selamat) adalah baik dan melunakkan hati.
Dari Suriah, ada Syaikh Wahbah az-Zuhaili (penulis al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh dan bergelar Syafi'i kecil) yang menyatakan bahwa tidak ada halangan dalam bersopan santun (mujamalah) dengan orang Nashrani menurut pendapat sebagian Ahli Fiqih berkenaan dengan Hari Raya mereka, asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas kebenaran paham mereka.
Di Yaman ada Habib Umar yang juga memberikan penjelasan serupa, sebagaimana telah diposting pak Toha. Di Yordania ada Syaikh Syarof Qudhat, seorang ahli Hadits yang juga menyatakan pendapat serupa. Di Eropa ada Syaikh Abdullah bin Bayyah yang pendapatnya juga sudah diposting di atas.
Di Indonesia ada Gus Dur dari NU dan juga Dr. Dien Syamsuddin dari Muhammadiyah punya pendapat serupa. Pendeknya Jumhur Ulama kontemporer membolehkan dengan syarat sebagaimana telah disebutkan.
[Tanggapan Sunarsip: Mungkin yang perlu dipikirkan: ucapan natal seperti apa yang di dalamnya itu tidak mengandung unsur pengakuan? Apakah ucapan-ucapan natal di Indonesia yang beredar tersebut sama dengan pengertian ucapan natal-natal sebagaimana yang dimaksud para ulama yang membolehkan memberikan ucapan natal?]
Betul sekali pak Sunarsip. Pada umumnya, para Ulama yang mengharamkan itu mengasumsikan bahwa ucapan itu sendiri inheren mengandung pengakuan. Di sinilah letak perbedaan pendapat itu. Karena itu, pembicaraan masalah ini bukanlah konsumsi perdebatan antara orang awam di facebook atau media sosial yang lain. Ada hal-hal yang harus dijelaskan, lebih dari sekedar menyatakan boleh atau tidak boleh. Edukasi masalah "al-hukm yaduuru ma'a 'illatih wujudan wa 'adaman" perlu disampaikan.
Di kalangan Ulama Muhammadiyah, Termasuk Buya Hamka, menghadiri upacara keagamaan agama lain dan mengucapkan selamat itu termasuk hal yang wajar dan tidak terlarang. Buya Hamka termasuk orang yang sering dikutip sebagai Ulama yang mengharamkan mengucapkan selamat natal, padahal beliau tidak pernah berpendapat seperti itu.
[Tanggapan Sunarsip: Saya tidak tahu apakah yang dimaksud pemberian ucapan natal tanpa pengakuan tersebut hanya ucapan sekedar basa-basi kata-kata, tetapi sebenarnya di hati kita mengingkarinya. Karena dalam bahasa harfiah (kata orang yang mengerti bahasa) ucapan selamat natal sesungguhnya merupakan pengakuan (inheren) bahwa Tuhan itu dilahirkan. Nah, di Islam kan ini tidak boleh.
Karena saya ingin menghormati kawan-kawan kita yang Kristen, saya suka berimprovisasi dalam ucapan natal ini. Saya TIDAK pernah mengucapkan kalimat "Selamat Natal". Saya mengucapkan natal seperti ini "Semoga SUASANA NATAL kali ini membawa kedamaian bagi kita semua, kedamaian bagi bangsa kita dan seluruh umat beragama"]
[Tanggapan Syaichuddin: Mohon maaf ikut bertanya. Biasanya hujjah bagi saudara kita yang memilih tidak mengucapkan adalah, bahwa ada kesesatan kok diucapin selamat?]
[Tanggapan Ustadz Ichsan Nafarin: Pandangan para ulama sudah cukup jelas. Boleh tahniah asal *tidak disertai persetujuan* hal yang menyimpang. Jangan dibalik menjadi "boleh asal *ada pengingkaran* hal yang menyimpang.]
Itulah juga argumen para Ulama yang menyatakan haram (seperti yang disampaikan Pak Sunarsip dan Syaichudin). Adapun di NU, ada dua pendapat besar, yakni yang membolehkan dan yang mengharamkan. KH Misbach (Ketua MUI Jatim) menyatakan bahwa menghadiri saja sudah haram. Biarpun di situ kita tidak ikut bernyanyi dan berdoa, tapi kehadiran kita itu berarti sudah ikut bernatal. Seluruh acara dalam perayaan Natal merupakan upacara ritual. Itulah mengapa beliau termasuk yang mengharamkan mengucapkan selamat natal itu. Para Ulama tradisional di kampung2 juga cenderung punya pendapat yang sama dengan Kyai Misbach. Wa Allah A'lam.
Pengajian kita ini tidak untuk memaksa sampean semua mengikuti pendapat tertentu. Semua pendapat dan pertimbangan telah disampaikan, silakan dipilih dan disikapi secara bijak. Saya sendiri memilih untuk tidak mengucapkan selamat natal. Hal itu tidak menjadi masalah bagi sahabat2 saya yang non muslim, dan juga bentuk kehati-hatian saya. Yang penting kita tidak menyalahkan dan mencela orang yang beda pendapat. Wa Allah A'lam.
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari WA khusus anggota IMAN, 23 Desember 2016)
Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)
0 Response to "Mengucapkan Selamat Natal"
Posting Komentar