Nikah Setengah Dari Agama

Assalaamu'alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh.

Bismillaah, Alhamdulillaah, wassholaatu wassalaamu 'alaa Rosuulillaah.

Saya sering mendengar penjelasan, membaca artikel, atau juga argumen orang-orang tertentu yang menyebutkan hadits "Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya."

Kadang-kadang itu juga yang dijadikan dasar untuk "menikah di usia dini", meskipun orang tuanya menginginkan agar dia jangan nikah dulu.

Yang ingin saya tanyakan:
1. Sebenarnya bagaimana penjelasan mengenai hadits tersebut?
2. Saya kok merasa jarang sekali para ustadz itu menjelaskan pengertian "maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya"? Jadi seakan-akan kok mengambil bagian depannya saja. Sebenarnya apa maksudnya "setengah yang lainnya"? Dalam bayangan saya, setengah yang lainnya itu mungkin kewajiban ibadahnya, birrul walidain, dsb.
3. Ada juga yang iseng tanya, bagaimana jika ia bercerai? Apakah setengah dari agamanya itu hilang?

Mungkin itu dulu, terima kasih.

Yang dho'if, Ibnu Abihi.

Wassalaamu'alaikum.

(Bachrul Ulum, 13 Januari 2010)

(Catatan redaksi: untuk diperhatikan bagi pembaca non-anggota IMAN, bahwa IMAN adalah organisasi di STAN, yang mana setelah lulus hampir pasti menjadi PNS, baik di Kementerian Keuangan atau instansi lain. Jawaban yang diberikan Ustadz Muh.Dularif berhubungan dengan kondisi ini)

Tanggapan Zawawi

Kalau Kyai Gozalie Masrurie, biasanya membahas belakangnya juga. Kurang lebih begini menurut beliau:

Mengendalikan nafsu adalah hal pokok dalam agama. Secara umum, nafsu itu bisa digolongkan jadi dua sumber yakni perut dan bawah perut.

Perut yakni kebutuhan makan. Orang bekerja agar bisa bertahan hidup, bisa makan. Tetapi lama kelamaan nafsu ini menjadikan rakus, mulai dari makannya yang rakus, kemudian rakus dalam pekerjaannya, yang akhirnya menjadikan gila harta.

Bawah perut, yakni nafsu seksual. Dari nafsu ini manusia bisa terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak baik.

Jika kita menikah, 'diharapkan' nafsu seks bisa terkendali sehingga setengah dari nafsu kita bisa diarahkan. Sementara sebagian lagi harus dikendalikan dengan bertakwa kepada Allah.

Kurang lebih begitu penjelasan singkatnya.

Jawaban Ustadz Muh Dularif

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Rekan-rekan yang saya hormati.

Pertama-tama saya minta maaf, kalau di sini saya tidak menjelaskan mengenai hukum nikah atau penjelasan dari hadist yang sedang diperbincangkan. Mungkin Pak Ichsan atau Pak Dawud lebih berhak daripada saya.

Dalam kesempatan ini, saya hanya ingin berbagi cerita yang mungkin bisa berguna.

Banyak kejadian (atau keluhan?), dimana orang tua merasa keberatan ketika kita akan menikah. terutama jika “kita” adalah laki-laki (normalnya kalau perempuan, orang tua kepingin segera menikahkan). Rata-rata yang keberatan adalah ibu kita. Dan hal tersebut saya kira wajar sebagai seorang manusia, apalagi seorang Ibu, yang merasa telah melahirkan kita, merawat kita, dan ‘normalnya’ akan merasa bangga dengan kita (apalagi jika kita orang Pajak atau orang Kementerian Keuangan, he..he…). Rasa kebanggaan itu kemudian berkembang menjadi rasa memiliki. Apalagi, dengan kondisi kita yang memang “memegang uang”, dengan mudah kita akan lebih berkemungkinan untuk membuat orang tua kita “senang” (jangan dibaca bahagia). Hal-hal tersebut kadang mengakibatkan orang tua kita merasa memiliki kebanggaan yang berlebihan dan bila tidak diimbangi dengan “penetralisir” yang kuat dan bagus, akan berubah menjadi sikap posesif yang bersifat negatif.

Nah, sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa meyakinkan diri dan juga orang kita, bahwa kita memang laki-laki yang layak untuk menikah. Dengan demikian, tarik menarik antara “kepentingan” orang tua yang berbeda dengan kepentingan “kita” yang mau menikah bisa diminimalisir.

Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Yang pertama adalah menata diri kita sehingga kita memang layak untuk menikah. Persiapan ini, menyangkut manajemen qolbu, manajemen kepemimpinan, serta penting juga manajemen keuangan.

Manajemen Qolbu meliputi peningkatan “keikhlasan” kita untuk melangsungkan pernikahan sebagai salah satu sunah nabi. Kita perlu ingat, bahwa nikah bukanlah semata jalan penyaluran nafsu, namun lebih dari itu, pernikahan adalah salah satu gerbang kita untuk lebih mendekat kepada Allah SWT. Kita juga harus sadar bahwa dari pernikahan itu akan muncul tanggung jawab syar’i, baik berkaitan dengan istri kita maupun anak-anak kita. Tentunya manajemen qolbu ini berkaitan dengan ayat Qur’an yang memerintahkan kita untuk menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka. Jadi tanggung jawab seorang ayah

Manajemen kepemimpinan berkaitan erat dengan akan kita bawa kemana keluarga kita ke depannya. Untuk itu, hal pertama yang harus kita sepakati dengan istri kita adalah landasan dan dasar pijak kita berkeluarga. Landasan dan dasar berpijak ini sangat penting terutama ketika ada masalah-masalah yang mungkin timbul dalam kehidupan berkeluarga.

Sebagai contoh, ada orang yang menjadikan prinsip individualisme dalam berkeluarga. Hal ini lazim terjadi di dunia barat, di mana pernikahan adalah sarana untuk mewujudkan kesenangan (bukan kebahagiaan) dari individu-individu yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ketika mereka sudah merasa “gerah” dengan pasangannya. perceraian adalah jalan termudah. tidak mengherankan pula dalam model keluarga ini, anak yang usia 18 tahun pergi meninggalkan keluarga untuk mencari kesenangan individu anak tersebut. Hal ini pula yang mungkin menjadi alasan tingginya perceraian di kalangan selebritis.

tentunya, sebagai seorang muslim, kita tidak bijak jika menjadikan artis atau orang barat sebagai tempat rujukan bersikap. Mungkin (baca: tentunya), Islam menjadi landasan pijak yang paling logis dalam kehidupan kita. Karena syariat Islam telah mengatur secara komprehensif hampir segala aspek kehidupan kita di mulai dari kita “dibuat” hingga kita dikirim ke liang lahat. Dengan menjadikan Islam sebagai bahan rujukan, hal tersebut juga bisa menimalisir “benturan” budaya yang mungkin terjadi jika kita berasal dari kultur yang berbeda. Demikian pula, jika kita menghadapi masalah, Islam telah memberikan garis yang jelas bagaimana menyelesaikannya.

Hal berikutnya berkaitan dengan manjemen kepemimpinan ini, dikenal dengan “uswatun hasanah”. Sebagaimana kita pahami bersama, sikap dan gaya hidup kita merupakan faktor penting yang mungkin akan menjadi rujukan bagi anggota keluarga kita. Oleh karena itu, memberikan contoh yang baik dan konsisten dengan apa yang menjadi landasan dan pijakan yang telah disepakati merupakan faktor yang menentukan dalam mewujudkan “baitii jannatii (rumahku surgaku - red)”  dalam keluarga kita.

Mengenai manajemen keuangan, hal ini berhubungan dengan tanggung jawab seorang lelaki dalam kaitannya dengan “wa bimaa anfaqu min amwalihim (dan karena mereka -laki-laki- telah menafkahkan sebagian dari harta mereka - red)”. Menyangkut keuangan, ada tiga prinsip utama utnuk menjaga agar masalah ini tidak menjadi faktor pertengkaran yang sebenarnya tidak perlu.

Prinsip pertama adalah transparansi, terutama dengan pasangan kita. Kita harus terbuka dan jujur dengan istri kita mengenai berapa sih “kemampuan” kita. Jangan sampai, gaji cuma 5 jutaan berlagak seolah pengusaha atau “pejabat” yang berpenghasilan ratusan juta per bulan. Jangan takut dijauhi seorang wanita, hanya karena kita nggak punya harta. Harta memang berguna, tapi bukan berarti segala-galanya.

Begitu pula menyangkut pengeluaran. Ibarat kata, satu sen kita keluarkan, usahakan atas keikhlasan dan persetujuan pasangan kita. Ketidakterbukaan masalah ini akan menimbulkan kecurigaan yang menjadikan ekonomi biaya tinggi dan juga perasaan tidak tenang. Sebagai contoh, jika kita tidak terbuka mengenai “sumbangan” kita pada keluarga kita (misalnya orang tua atau saudara-saudara kita), maka pasangan kita pun kan menyembunyikan “uang jatah” yang kita berikan. Akhirnya, ketidakpercayaan tersebut mengakibatkan pengeluaran yang mungkin berlebihan. Ketidakpercayaan tersebut akhirnya juga mungkin akan menghapus pahala dari amal yang pernah kita berikan karena diungkit-ungkit oleh pasangan kita yang tidak rela.

Prinsip berikutnya adalah rasionalitas. Hal ini berkaitan terutama untuk kita-kita yang menerima pendapatan yang relatif tetap. Dengan demikian, kita hanya bisa mengatur keuangan dari sisi pengeluaran. jangan sampai terjadi lebih besar pasak daripada tiang. Seringkali kita punya banyak kebutuhan, namun sebenarnya hal tersebut hanyalah sekedar keinginan, bukan suatu kebutuhan yang penting. Gaya hidup sederhana bisa menjadi pilihan bijak untuk mengatasi masalah ini.

Rasionalitas juga penting untuk kita ketika berhubungan dengan pemilikan harta. Sebagaimana lazimnya keluarga PNS, kredit menjadi hal yang agak sulit dihindari ketika ingin membeli aset yang bernilai besar semacam mobil atau rumah. Dalam urusan kredit ini (terlepas halal-haramnya), kita harus mempertimbangkan kemampuan kita tidak hanya 1 atau 2 tahun, tapi bisa 10-20 tahun ke depan. Sebagian besar ahli keuangan mengatakan bahwa maksimal angsuran kredit yang bisa kita tanggung adalah 40% dari total penghasilan. Contohnya, kalau penghasilan kita sebesar Rp 5 juta per bulan, maka total angsuran kredit yang bisa kita tanggung adalah Rp 2 juta per bulan.

Meskipun demikian, berdasarkan pengalaman pribadi penulis, kadang kala sikap nekat perlu dilakukan untuk mewujudkan impian punya rumah idaman. Hal ini berkaitan dengan karakteristik harga properti di Indonesai yang cenderung selalu naik. Jika kita menunggu kumpulnya uang dengan cara menabung, ada kemungkinan kita tidak akan pernah bisa membeli rumah, karena tingkat kenaikan harga rumah tidak terkejar oleh tingkat akumulasi modal dalam tabungan kita. Karena itu, jika kita bisa memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh developer maupun perbankan (KPR), kenekatan untuk membeli rumah dengan uang yang tersedia mungkin pilihan yang lebih rasional, daripada menunggu terkumpulnya uang di tabungan yang nilainya turun termakan inflasi.

Prinsip ketiga dalam manajemen keuangan adalah prinsip keseimbangan antara dunia dan akhirat. Kita harus sadar, bahwa harta hanyalah sarana kita untuk ber”hamba” pada Allah SWT. Di samping itu ada hak orang lain dalam harta yang kita “kuasai” melalui jalan zakat infaq dan shodaqoh. Karena itu, kita harus sisihkan dari awal zakat yang menjadi kewajiban kita. Meskipun belum ada kesepakatan mengenai zakat profesi, terutama berkaitan dengan dasar pengenaan zakatnya, namun akan lebih bijak jika kita menyisihkan 2.5% dari total penghasilan kita untuk orang lain, saat kita menerima penghasilan tersebut. 2.5% bukanlah jumlah yang besar, kecuali untuk orang kikir dan tamak. Sebagai bayangan, dengan gaji sejuta, kita hanya perlu mengeluarkan uang 25.000,- dan jika gaji kita berpenghasilan Rp 4 juta, itu hanya butuh Rp 100.000, jauh lebih murah dari harga HP kita atau bahka pulsa yang kita habiskan untuk sebulan.

Demikian, semoga bermanfaat.

Wass. Wr. Wb.

Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin

‘Alaikumussalaam.

Penjelasan dari Kang Dul sangat bermanfaat dan bisa dijadikan pertimbangan dan pedoman dalam melangkah ke jenjang pernikahan.

Untuk pertanyaan awal, yaitu penjelasan hadits, saya pun menyatakan tidak berkompeten untuk menjawab dan disamping juga sudah ada jawaban dari Muhammad Zawawi berdasarkan pembahasan Kyai Ghozali yang dalam pandangan saya cukup menjawab pertanyaan tersebut.

Mengenai hukum pernikahan yang menjadi diskusi lebih lanjut saya hanya dapat menyampaikan tinjauan hukum pernikahan itu sbb :

Nikah itu hukum asalnya mubah, menjadi sunnah jika seseorang itu berhajat (ingin) menikah dan memiliki kecukupan bekal materi untuk menikah. Hajat (keinginan) dimaksud secara jelas dalam hukum Fiqh dimaknai sebagai “kebutuhan seksual” jadi tidak ada masalah apapun jika orang menikah karena dorongan “nafsu sex” karena memang itulah hajat yang membuat nikah menjadi sunnah. Adapun bekal materi dimaksud adalah mahar dan nafkah karena dua hal itulah kewajiban material yang harus dipenuhi dalam pernikahan.

Dari tinjauan hukum tersebut dapat dikatakan bahwa sunnahnya pernikahan tidak dibatalkan ataupun dipengaruhi oleh faktor keluarga/orang tua, karena secara hukum keduanya merupakan hal yang berbeda. Birrul walidain tetap wajib baik seseorang menikah atau tidak. Orang tua pun secara hukum tidak memiliki hak untuk menghalangi pernikahan anaknya, khususnya bagi anak laki-laki atau anak perempuan yang calonnya sekufu. Karena itu seorang anak tidaklah berdosa jika tidak menuruti keinginan orang tua untuk tidak segera menikah karena kewajiban taat adalah pada perkara kebaikan, dan syariat pun telah menjamin bahwa seorang laki-laki halal dan sah menikah tanpa perlu persetujuan orang tua, dan seorang perempuan berhak mengalihkan kewalian pada wali hakim jika wali menolak menikahkan dengan calon sekufu.

Kalaupun ada pertimbangan-pertimbangan di luar kewajiban syariat seperti pentingnya “restu” orang tua, lebih baik menunda menikah jika orang tua belum ridho, dll tidak terkait dan tidak merubah hukum pernikahan. Tentu dalam penerapannya kemudian kita pertimbangkan mana hal yang harus diprioritaskan berdasarkan tingkatan hukum dan urgensinya. Jadi semisal Udin yang memilih menunda pernikahan dengan berbagai pertimbangan tentu tidaklah salah karena ia telah menentukan prioritas berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, tetapi tidak merubah hukum bahwa Udin yang sudah “ingin” menikah dan sudah punya bekal tetap “disunnahkan” menikah.

(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)


Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)

0 Response to "Nikah Setengah Dari Agama"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel