Mulainya Puasa
Kapan kita mulai puasa? Dengan metode apa kita menetapkan awal puasa?
"Puasalah karena melihat hilal (Ramadhan), dan berbukalah karena melihat hilal (Syawal). Apabila hilal tertutup, maka sempurnakanlah Sya'ban 30 hari”. (H.R. Bukhari)
Dari hadits tersebut kemudian ditetapkan bahwa metode penentuan awal Ramadlan dan Syawal harus dengan ru’yatul hilal. Jika gagal dilakukan ru’yatul hilal maka Sya’ban disempurnakan 30 hari.
Penentuan tanggal ini sendiri tidak berlaku secara menyeluruh untuk setiap wilayah dan bisa berbeda apabila berbeda mathla’ (waktu/tempat terbit matahari, istilah modernnya garis bujur), jadi bisa dan pasti beda antara Saudi dengan Indonesia karena waktu Fajar/Maghribnya saja jelas beda dan mathla’/bujurnya juga beda. Indonesia sendiri seharusnya juga mungkin beda antara WIB dengan WIT karena perbedaan mathla’nya cukup jauh, kriteria beda mathla’ dalam fiqh adalah masafatul qashr (jarak boleh qashar +- 100km).
Apabila dalam satu wilayah sudah ada yang melihat hilal maka wilayah lain dalam radius masafah qashr wajib mengikutinya, demikian pula wilayah yang secara ilmu pengetahuan seharusnya lebih dulu melihat hilal ia pun wajib mengikutinya. Cuman masalah ini membutuhkan pemahaman yang rumit dalam ilmu astronomi.
Ustad yang awam astronomi sering salah faham sehingga menyamakan waktu bulan dengan waktu matahari. Ia berkata “lha wong Arab aja udah puasa selasa kok Indonesia baru puasa Rabu”. Itulah kalau orang gak faham maksain ngomong. Saya sendiri kurang begitu faham tetapi saya coba sharing pemahaman astronomi ini agar kita bisa sama2 makin faham, mohon koreksinya kalau ada yang salah atau gak masuk akal.
1. Kalau orang kemudian puasa di hari yang sama dengan Arab dengan alasan mengikuti arab (sering terjadi saat penetapan puasa Arafah dengan mengatakan puasa kita karena para haji sedang wukuf di Arafah), sesungguhnya ia salah kaprah karena masuknya selasa di Indonesia lebih dulu dari di Arab (Indonesia di Timur Arab) sehingga ia sebetulnya mendahului Arab dan saat ia puasa para haji belumlah wukuf.
2. Bisa tidak Indonesia sama dengan Arab, atau harus setelah Arab? Tentu saja Indonesia bisa sama dengan Arab dan juga mungkin arab mendahului satu hari, kalau sama tentu maksudnya adalah Indonesia mendahului beberapa jam sebelum Arab. Tetapi logika astronomi tidak memungkinkan Indonesia mendahului Arab satu hari atau lebih. Jika itu terjadi maka logika astronomi mengatakan salah satunya pasti salah, tetapi kriteria fiqh bisa mengatakan keduanya benar jika memang kriteria penerapan global tidak diikuti alias penetapan ramadhan/syawal berlakunya lokal.
3. Pergerakan bulan berbeda dengan matahari. Kalau hari matahari Indonesia selalu mendahului Arab, tapi karena arah pergerakan bulan terhadap bumi dari barat ke timur maka Arab bisa mendahului Indonesia bisa juga sama. Kalau titik batas hari di kalender masehi diberikan batas tetap yaitu GMT (kota Greenwich), titik batas kalender bulan tidak tetap tempatnya dan dimulai dari tempat pertama yang bisa melihat hilal kemudian berjalan ke barat. Jika Indonesia belum melihat bulan terus 3 jam kemudian India melihat bulan maka india langsung masuk ramadhan, arab terus mesir, spanyol, brasil, hawai, dan australia mengikutinya dan sampai ke indonesia setelah hari berikutnya. Jika hilal pertama terlihat di Pulau Jawa, dan daerah yang lebih timur tidak ada yang melihatnya maka pulau bali berpuasa sehari setelah pulau jawa dst. Memang ada kebijakan menyatukan seluruh Indonesia bahkan asean, tetapi kebijakan ini agak kurang sesuai kalau kita mengikuti kriteria fiqh yang memberi batasnya masafatul qashr.
Bagaimana dengan penggunaan hisab?
Penggunaan hisab tidak diperbolehkan dalam menentukan Ramadhan karena :
1. Tidak ada dalil yang mendukung bahwa Rasul melakukan hisab dalam menentukan awal puasa/syawal. Padahal ilmu hisab ini sudah ada bahkan sejak jaman babilonia.
2. Penggunaan hisab hanya dibolehkan dijadikan dasar penentuan awal ramadhan oleh yang melakukan hisab atau muridnya yang faham betul metode hisab yang dilakukannya, sehingga tahu persis kemungkinan-kemungkinan kesalahannya.
3. Penggunaan hisab sendiri tidak menghapuskan kemungkinan terjadinya perbedaan penetapan awal ramadhan karena tiap ahli hisab punya kriteria yang berbeda-beda. Misal kenyataan antara Muhammadiyyah dan Persis/PKS meskipun sama-sama menggunakan hisab mereka masih bisa berbeda pendapat, bahkan jika pun hasil hitungannya sama persis, karena Muh menggunakan hisab hakiki (tidak menggunakan derajat tambahan) sedang PKS menganut hisab ma’a imkanir ru’yah (menetapkan ukuran derajat tertentu misal 2 derajat di atas ufuk untuk bisa mengatakan sudah masuk Ramadhan, ukuran derajat yang dipakai pun bisa berbeda-beda). Ini belum memperhitungkan bila hitungan mereka berbeda-beda, bisa kita lihat hasil hisabnya NU, Muh, dan PKS jelas sekali berbeda2 dalam menyatakan waktu ijtima’. Bahkan bisa dibilang beda kyai beda hasil hisabnya.
4. Akurasi hasil hisab masih diragukan karena bentuk bumi dan bulan tidaklah bulat rata yang memungkinkan perhitungan tepat. Meski dengan alat yang sama dan orang yang sama, bila dilakukan di tempat berbeda, bisa saja juga hasilnya berbeda. Penggunaan hilal dimaksudkan untuk mengakomodasi perbedaan tempat dan kondisi sehingga tidak selalu seseorang mengikuti hasil ijtihad orang lain, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi setempat.
5. Puasa adalah perintah Allah, bukan perintah ahli hisab. Karena itu Allah menggunakan hilal sebagai tanda perintahnya dan menyertakan awan dan mendung sebagai pelengkap tandanya. Jika seharusnya hilal sudah terlihat karena berdasarkan hisab sudah pasti terlihat, tetapi karena Allah belum memerintahkan untuk puasa maka bisa jadi seluruh ahli ru’yah gagal melihat hilal atau Allah mengutus awan/mendung untuk menutupi hilal tersebut.
(Ustadz Ichsan Nafarin, Agustus 2009)
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
"Puasalah karena melihat hilal (Ramadhan), dan berbukalah karena melihat hilal (Syawal). Apabila hilal tertutup, maka sempurnakanlah Sya'ban 30 hari”. (H.R. Bukhari)
Dari hadits tersebut kemudian ditetapkan bahwa metode penentuan awal Ramadlan dan Syawal harus dengan ru’yatul hilal. Jika gagal dilakukan ru’yatul hilal maka Sya’ban disempurnakan 30 hari.
Penentuan tanggal ini sendiri tidak berlaku secara menyeluruh untuk setiap wilayah dan bisa berbeda apabila berbeda mathla’ (waktu/tempat terbit matahari, istilah modernnya garis bujur), jadi bisa dan pasti beda antara Saudi dengan Indonesia karena waktu Fajar/Maghribnya saja jelas beda dan mathla’/bujurnya juga beda. Indonesia sendiri seharusnya juga mungkin beda antara WIB dengan WIT karena perbedaan mathla’nya cukup jauh, kriteria beda mathla’ dalam fiqh adalah masafatul qashr (jarak boleh qashar +- 100km).
Apabila dalam satu wilayah sudah ada yang melihat hilal maka wilayah lain dalam radius masafah qashr wajib mengikutinya, demikian pula wilayah yang secara ilmu pengetahuan seharusnya lebih dulu melihat hilal ia pun wajib mengikutinya. Cuman masalah ini membutuhkan pemahaman yang rumit dalam ilmu astronomi.
Ustad yang awam astronomi sering salah faham sehingga menyamakan waktu bulan dengan waktu matahari. Ia berkata “lha wong Arab aja udah puasa selasa kok Indonesia baru puasa Rabu”. Itulah kalau orang gak faham maksain ngomong. Saya sendiri kurang begitu faham tetapi saya coba sharing pemahaman astronomi ini agar kita bisa sama2 makin faham, mohon koreksinya kalau ada yang salah atau gak masuk akal.
1. Kalau orang kemudian puasa di hari yang sama dengan Arab dengan alasan mengikuti arab (sering terjadi saat penetapan puasa Arafah dengan mengatakan puasa kita karena para haji sedang wukuf di Arafah), sesungguhnya ia salah kaprah karena masuknya selasa di Indonesia lebih dulu dari di Arab (Indonesia di Timur Arab) sehingga ia sebetulnya mendahului Arab dan saat ia puasa para haji belumlah wukuf.
2. Bisa tidak Indonesia sama dengan Arab, atau harus setelah Arab? Tentu saja Indonesia bisa sama dengan Arab dan juga mungkin arab mendahului satu hari, kalau sama tentu maksudnya adalah Indonesia mendahului beberapa jam sebelum Arab. Tetapi logika astronomi tidak memungkinkan Indonesia mendahului Arab satu hari atau lebih. Jika itu terjadi maka logika astronomi mengatakan salah satunya pasti salah, tetapi kriteria fiqh bisa mengatakan keduanya benar jika memang kriteria penerapan global tidak diikuti alias penetapan ramadhan/syawal berlakunya lokal.
3. Pergerakan bulan berbeda dengan matahari. Kalau hari matahari Indonesia selalu mendahului Arab, tapi karena arah pergerakan bulan terhadap bumi dari barat ke timur maka Arab bisa mendahului Indonesia bisa juga sama. Kalau titik batas hari di kalender masehi diberikan batas tetap yaitu GMT (kota Greenwich), titik batas kalender bulan tidak tetap tempatnya dan dimulai dari tempat pertama yang bisa melihat hilal kemudian berjalan ke barat. Jika Indonesia belum melihat bulan terus 3 jam kemudian India melihat bulan maka india langsung masuk ramadhan, arab terus mesir, spanyol, brasil, hawai, dan australia mengikutinya dan sampai ke indonesia setelah hari berikutnya. Jika hilal pertama terlihat di Pulau Jawa, dan daerah yang lebih timur tidak ada yang melihatnya maka pulau bali berpuasa sehari setelah pulau jawa dst. Memang ada kebijakan menyatukan seluruh Indonesia bahkan asean, tetapi kebijakan ini agak kurang sesuai kalau kita mengikuti kriteria fiqh yang memberi batasnya masafatul qashr.
Bagaimana dengan penggunaan hisab?
Penggunaan hisab tidak diperbolehkan dalam menentukan Ramadhan karena :
1. Tidak ada dalil yang mendukung bahwa Rasul melakukan hisab dalam menentukan awal puasa/syawal. Padahal ilmu hisab ini sudah ada bahkan sejak jaman babilonia.
2. Penggunaan hisab hanya dibolehkan dijadikan dasar penentuan awal ramadhan oleh yang melakukan hisab atau muridnya yang faham betul metode hisab yang dilakukannya, sehingga tahu persis kemungkinan-kemungkinan kesalahannya.
3. Penggunaan hisab sendiri tidak menghapuskan kemungkinan terjadinya perbedaan penetapan awal ramadhan karena tiap ahli hisab punya kriteria yang berbeda-beda. Misal kenyataan antara Muhammadiyyah dan Persis/PKS meskipun sama-sama menggunakan hisab mereka masih bisa berbeda pendapat, bahkan jika pun hasil hitungannya sama persis, karena Muh menggunakan hisab hakiki (tidak menggunakan derajat tambahan) sedang PKS menganut hisab ma’a imkanir ru’yah (menetapkan ukuran derajat tertentu misal 2 derajat di atas ufuk untuk bisa mengatakan sudah masuk Ramadhan, ukuran derajat yang dipakai pun bisa berbeda-beda). Ini belum memperhitungkan bila hitungan mereka berbeda-beda, bisa kita lihat hasil hisabnya NU, Muh, dan PKS jelas sekali berbeda2 dalam menyatakan waktu ijtima’. Bahkan bisa dibilang beda kyai beda hasil hisabnya.
4. Akurasi hasil hisab masih diragukan karena bentuk bumi dan bulan tidaklah bulat rata yang memungkinkan perhitungan tepat. Meski dengan alat yang sama dan orang yang sama, bila dilakukan di tempat berbeda, bisa saja juga hasilnya berbeda. Penggunaan hilal dimaksudkan untuk mengakomodasi perbedaan tempat dan kondisi sehingga tidak selalu seseorang mengikuti hasil ijtihad orang lain, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi setempat.
5. Puasa adalah perintah Allah, bukan perintah ahli hisab. Karena itu Allah menggunakan hilal sebagai tanda perintahnya dan menyertakan awan dan mendung sebagai pelengkap tandanya. Jika seharusnya hilal sudah terlihat karena berdasarkan hisab sudah pasti terlihat, tetapi karena Allah belum memerintahkan untuk puasa maka bisa jadi seluruh ahli ru’yah gagal melihat hilal atau Allah mengutus awan/mendung untuk menutupi hilal tersebut.
(Ustadz Ichsan Nafarin, Agustus 2009)
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)
0 Response to "Mulainya Puasa"
Posting Komentar