Manakah Yang Berstatus Mukim?
Assalamu'alaikum.
Mohon penjelasan dari rekan-rekan...
Kasus: Kita bekerja di Jakarta dan pulang kampung tiap minggu, jarak antara jakarta dan kampung sudah memenuhi syarat untuk jamak atau qoshor.
Di Jakarta, kita Senin sampai Jumat (5 hari).
Di kampung, Sabtu sampai Minggu (2 hari).
Di perjalanan, Jumat sore (setengah hari) dan Minggu sore (setengah hari).
Di Jakarta kos, sedang di kampung rumah orang tua.
Nah, di manakah status mukim kita? Apakah di Jakarta atau di kampung?
Dan dimanakah kita boleh menjamak atau menqoshor sholat, di Jakarta atau di kampung?
Terima kasih.
Wassalamu'alaikum
(Shevaswanto, 2 Juni 2009)
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Untuk status mukim seseorang sudah pernah dibahas yaitu seorang dikatakan mukim jika :
1. Telah sampai ditempat domisilinya.
2. Sampai di tempat tujuan di mana ia meniatkan untuk tinggal disitu selama 4 hari (tidak termasuk hari datang dan hari pulang - jadi bisa sampai 6 hari)
3. Telah melampaui masa 18 hari untuk kasus seseorang tidak meniatkan menetap di suatu tempat dalam jumlah hari tertentu karena suatu urusan yang belum jelas waktu selesainya (bisa saja nantinya kurang dari 4 hari atau lebih dari 4 hari). Ia akan segera meninggalkan tempat tersebut jika urusannya telah selesai. Jika sehari urusan beres pun ia akan langsung pergi atau niatnya tidak akan melampaui 4 hari jika urusan telah selesai, sebaliknya jika 4 hari belum selesai akan ia tunggu sampai selesai.
Contoh masalah yang disampaikan, bisa dibahas terlebih dahulu pada poin 1. Di manakah sebetulnya ia berdomisili? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab yang bersangkutan karena domisili ini adalah kecondongan seseorang untuk tinggal. Misalnya sopir bus, ia hanya tidur 4 jam di rumah selebihnya mungkin di tempat/kota lain. Tetapi dalam hal ini domisili si sopir tetaplah di rumahnya karena jika ia libur nyetir ia akan condong untuk pulang ke rumah. Tidak harus domisili merupakan tempat dengan waktu mayoritas. Misal ia sudah berkeluarga dan keluarganya di kampung, meskipun hanya pulang setiap akhir pekan, maka domisilinya adalah kampung karena ia akan condong pulang kampung bila ada libur. Apabila kemungkinan pulang atau tidak itu sama besar atau tidak dapat ditentukan maka ditetapkan ia berdomisili di kedua tempat tersebut. Jadi ia hanya memperhitungkan sebagai musafir jika tidak berada di kedua tempat tsb. Dokumen kepemerintahan (KTP) dapat juga dijadikan acuan/pertimbangan dalam penentuan domisili.
Adapun tempat selain domisili, untuk memperhitungkan ia mukim atau tidak mengikuti poin ke-2 dan 3. Dalam kasus, seandainya domisilinya di Jakarta, jelas ia musafir di kampung karena hanya 2 hari di sana. Jika domisili kampung, maka tergantung di Jakarta ia masuk hari apa (misal naik pesawat minggu maka hitungan masuk Minggu, jika naik bis Minggu sore maka masuk Jakarta Senin (hitungan hari qomariyyah lho mulai magrib). Jika masuk jakarta Senin maka ia sempurna di Jakarta hari Selasa-Rabu-Kamis (3 hari) kemudian Jum’at berangkat. Karena hanya 3 hari maka ia belum dikategorikan mukim selama di Jakarta.
Terkait masalah rukhsoh, secara umum apabila terjadi keraguan/kerancuan dalam pemenuhan syarat mendapat rukhsoh maka lebih baik rukhsoh itu tidak diambil dan hanya mengambil bagian/waktu yang ia yakin memperoleh rukhsoh.
Pertanyaan dari
Matur nuwun atas penjelasannya Pak Ichsan
Saya ambil kesimpulan atas penjelasannya ya, mohon dibetulkan kalau salah. KTP saya masih KTP desa. Kalau sekiranya libur kerja, saya pulang ke desa juga. Lebih condong sebagai tempat mukim adalah desa.
Perjalanan pakai bis berangkat sore sampai pagi. Kalau dari Jakarta Jumat sore berangkat, Sabtu pagi sampe desa.
Kalau dari desa, Minggu sore berangkat, Senin pagi sampai Jakarta. Berarti terhitung di Jakarta hanya hari Selasa, Rabu, dan Kamis, begitu ya pak?
Berarti selama di Jakarta saya boleh jamak dan qoshor. Betulkah kesimpulan saya?
Matur nuwun sebelumnya, maaf banyak tanya.
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Bisa dibilang betul. Tetapi kembali diingat rukhsoh ini khususnya jamak adalah hal yang dianjurkan untuk tidak diambil, terutama bila kita pandang kita tidak pantas mendapat rukhsoh maka lebih baik kita tidak mengambilnya. Ambil rukhsoh jika memang dirasa membutuhkannya, misal dalam proses perjalanannya atau saat mau berangkat dari Jakarta atau baru sampai di Jakarta
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
Mohon penjelasan dari rekan-rekan...
Kasus: Kita bekerja di Jakarta dan pulang kampung tiap minggu, jarak antara jakarta dan kampung sudah memenuhi syarat untuk jamak atau qoshor.
Di Jakarta, kita Senin sampai Jumat (5 hari).
Di kampung, Sabtu sampai Minggu (2 hari).
Di perjalanan, Jumat sore (setengah hari) dan Minggu sore (setengah hari).
Di Jakarta kos, sedang di kampung rumah orang tua.
Nah, di manakah status mukim kita? Apakah di Jakarta atau di kampung?
Dan dimanakah kita boleh menjamak atau menqoshor sholat, di Jakarta atau di kampung?
Terima kasih.
Wassalamu'alaikum
(Shevaswanto, 2 Juni 2009)
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Untuk status mukim seseorang sudah pernah dibahas yaitu seorang dikatakan mukim jika :
1. Telah sampai ditempat domisilinya.
2. Sampai di tempat tujuan di mana ia meniatkan untuk tinggal disitu selama 4 hari (tidak termasuk hari datang dan hari pulang - jadi bisa sampai 6 hari)
3. Telah melampaui masa 18 hari untuk kasus seseorang tidak meniatkan menetap di suatu tempat dalam jumlah hari tertentu karena suatu urusan yang belum jelas waktu selesainya (bisa saja nantinya kurang dari 4 hari atau lebih dari 4 hari). Ia akan segera meninggalkan tempat tersebut jika urusannya telah selesai. Jika sehari urusan beres pun ia akan langsung pergi atau niatnya tidak akan melampaui 4 hari jika urusan telah selesai, sebaliknya jika 4 hari belum selesai akan ia tunggu sampai selesai.
Contoh masalah yang disampaikan, bisa dibahas terlebih dahulu pada poin 1. Di manakah sebetulnya ia berdomisili? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab yang bersangkutan karena domisili ini adalah kecondongan seseorang untuk tinggal. Misalnya sopir bus, ia hanya tidur 4 jam di rumah selebihnya mungkin di tempat/kota lain. Tetapi dalam hal ini domisili si sopir tetaplah di rumahnya karena jika ia libur nyetir ia akan condong untuk pulang ke rumah. Tidak harus domisili merupakan tempat dengan waktu mayoritas. Misal ia sudah berkeluarga dan keluarganya di kampung, meskipun hanya pulang setiap akhir pekan, maka domisilinya adalah kampung karena ia akan condong pulang kampung bila ada libur. Apabila kemungkinan pulang atau tidak itu sama besar atau tidak dapat ditentukan maka ditetapkan ia berdomisili di kedua tempat tersebut. Jadi ia hanya memperhitungkan sebagai musafir jika tidak berada di kedua tempat tsb. Dokumen kepemerintahan (KTP) dapat juga dijadikan acuan/pertimbangan dalam penentuan domisili.
Adapun tempat selain domisili, untuk memperhitungkan ia mukim atau tidak mengikuti poin ke-2 dan 3. Dalam kasus, seandainya domisilinya di Jakarta, jelas ia musafir di kampung karena hanya 2 hari di sana. Jika domisili kampung, maka tergantung di Jakarta ia masuk hari apa (misal naik pesawat minggu maka hitungan masuk Minggu, jika naik bis Minggu sore maka masuk Jakarta Senin (hitungan hari qomariyyah lho mulai magrib). Jika masuk jakarta Senin maka ia sempurna di Jakarta hari Selasa-Rabu-Kamis (3 hari) kemudian Jum’at berangkat. Karena hanya 3 hari maka ia belum dikategorikan mukim selama di Jakarta.
Terkait masalah rukhsoh, secara umum apabila terjadi keraguan/kerancuan dalam pemenuhan syarat mendapat rukhsoh maka lebih baik rukhsoh itu tidak diambil dan hanya mengambil bagian/waktu yang ia yakin memperoleh rukhsoh.
Pertanyaan dari
Matur nuwun atas penjelasannya Pak Ichsan
Saya ambil kesimpulan atas penjelasannya ya, mohon dibetulkan kalau salah. KTP saya masih KTP desa. Kalau sekiranya libur kerja, saya pulang ke desa juga. Lebih condong sebagai tempat mukim adalah desa.
Perjalanan pakai bis berangkat sore sampai pagi. Kalau dari Jakarta Jumat sore berangkat, Sabtu pagi sampe desa.
Kalau dari desa, Minggu sore berangkat, Senin pagi sampai Jakarta. Berarti terhitung di Jakarta hanya hari Selasa, Rabu, dan Kamis, begitu ya pak?
Berarti selama di Jakarta saya boleh jamak dan qoshor. Betulkah kesimpulan saya?
Matur nuwun sebelumnya, maaf banyak tanya.
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Bisa dibilang betul. Tetapi kembali diingat rukhsoh ini khususnya jamak adalah hal yang dianjurkan untuk tidak diambil, terutama bila kita pandang kita tidak pantas mendapat rukhsoh maka lebih baik kita tidak mengambilnya. Ambil rukhsoh jika memang dirasa membutuhkannya, misal dalam proses perjalanannya atau saat mau berangkat dari Jakarta atau baru sampai di Jakarta
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)
0 Response to "Manakah Yang Berstatus Mukim?"
Posting Komentar