Menyikapi Khilafiyah
Oleh: Dr.H.M. Dawud Arif Khan
Segala puji bagi Allah, pencipta segala hal yang berbeda-beda. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan, pemimpin, dan tauladan kita, Nabi Muhammad SAW, juga kepada para keluarga dan shahabat beliau serta para pengikut mereka hingga hari akhir. Amma ba’du.
Suatu ketika, Sultan Harun Ar-Rasyid meminta izin kepada Imam Malik untuk menggantungkan Kitab Al-Muwaththa’ di Ka’bah dan memaksa agar seluruh umat Islam mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab: ”Jangan engkau lakukan itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih pendapat dalam masalah furu’, apalagi (kini) mereka telah berpencar ke berbagai negeri.”
Peristiwa tersebut memberi pelajaran kepada kita sebagai suatu sikap terhadap apa yang kita bahas di sini, yaitu masalah khilafiyah atau ikhtilaf, yang dalam bahasa kita adalah perbedaan pendapat, pandangan, atau sikap.
A. Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) adalah Wajar dan Pasti
Adalah suatu keajaiban apabila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat, pandangan, dan sikap dalam masalah ushul, furu’, dan siyasah. Dan adalah suatu mimpi saja apabila ada orang yang bermaksud untuk menyatukan umat Islam dalam masalah-masalah tersebut. Suatu ambisi yang terlalu banyak kendala dan tidak pada tempatnya. Tetapi, mengusahakan umat Islam untuk bersatu dengan saling mengerti dan memahami perbedaan yang ada adalah suatu cita-cita yang tinggi dan mulia.
Perbedaan adalah suatu yang pasti. Allah SWT sendiri telah menetapkan adanya perbedaan itu.
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Ar-Ruum ayat 22)
Banyak ayat yang lain yang menunjuk pada adanya berbagai perbedaan. Jadi, perbedaan itu tentu ada, termasuk dalam masalah Ushul, Furu’, dan lebih-lebih Siyasah. Hal ini dikarenakan ada beberapa sebab, seperti sebab bahasa, sebab pola pikir manusia, sebab alami, dan lain-lain.
Permasalahannya, penyebab utama dari perpecahan adalah perbedaan, apakah itu perbedaan pendapat, perbedaan pandangan, atau perbedaan sikap. Padahal kita mesti dan harus bersatu. Untuk itu, harus dicari jalan untuk menyikapi atau lebih tepatnya menyiasati perbedaan tersebut dalam rangka menuju persatuan umat.
Ikhtilaf dalam umat Islam bisa kita bagi dalam dua golongan besar, yaitu ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan dan ikhtilaf yang bisa dibenarkan. Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah aqidah yang prinsip, seperti masalah keyakinan adanya surga dan neraka, Al-Qur’an bukan makhluq, keimanan kepada taqdir, dan lain-lain. Sedangkan ikhtilaf yang bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah furu’ dan dalam masalah i’tiqod yang tidak prinsip, seperti masalah membaca Basmalah Fatihah Shalat Jahar, masalah Qunut Shubuh, dan lain-lain.
B. Islam Mewajibkan Persatuan dan tidak Membenarkan Perpecahan
Islam sangat membenci perpecahan dan perselisihan sampai-sampai Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang sedang membaca Al-Qur’an agar menghentikan bacaaanya apabila bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan.
Dari Jundab bin Abdillah, Nabi SAW bersabda: ”Bacalah Al-Qur’an selama bacaan itu dapat menyatukan hati kalian. Tapi, bila kalian berselisih, hentikanlah bacaan itu.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Paling tidak ada dua keuntungan dengan adanya persatuan, yaitu:
1.Memperkuat yang tadinya lemah dan menambah kekuatan bagi yang sudah kuat.
2.Persatuan adalah benteng yang ampuh dan pertahanan terhadap ancaman kehancuran
Sebaliknya, ada dua kerugian yang jelas dengan adanya perpecahan, yaitu memperlemah barisan dan mengundang kehancuran.
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Al-Qur’an juga menganjurkan persatuan dan mengecam perpecahan:
”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali Imraan ayat 103)
”Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,” (Q.S. Ali Imraan ayat 105)
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujuraat ayat 10)
”Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Anfaal ayat 46)
”Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (Q.S. Al-An’aam ayat 159)
Rasulullah SAW telah menyatakan: “Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun umatku di atas kesesatan. “Tangan” Allah bersama jama’ah. Barang siapa menyempal, ia menyempal ke Neraka.” (H.R. Imam Tirmidzi)
”Penyakit umat-umat sebelum kalian telah berjangkit kepada kalian, yaitu kedengkian dan permusuhan. Permusuhan adalah pencukur. Aku tidak mengatakan pencukur rambut, tapi pencukur agama. Demi Dzat, yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai.” (HR Imam Tirmidzi)
Jelas sekali apa yang ditunjukkan dan dimaksudkan oleh ayat-ayat dan Hadits di atas. Maka, menfirqohkan diri dari umat adalah tindakan menentang firman Allah, di samping tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
C. Ikhtilaf Dalam Masalah Furu’ adalah Boleh
Rasulullah SAW telah bersabda: ”Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mewajibkan sejumlah kewajiban, maka janganlah kamu abaikan, telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi kamu – bukan karena lupa – maka janganlah kamu mencari (kesulitan) di dalamnya.” (HR Imam Daruquthni)
Telah nyata dan kita ketahui bersama bahwa banyak masalah yang secara detil tidak dapat kita temukan jawabannya di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, sehingga mengharuskan dilakukannya ijtihad. Ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam menggali hukum agama setelah memperhatikan sekalian ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepada Muadz, “Bagaimana kamu akan memutuskan perkara yang dibawa ke hadapanmu?” Muadz menjawab: “Saya putuskan berdasarkan Kitabullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah?” Muadz menjawab: ”Saya putuskan berdasarkan sunnah Rasul.” Rasulullah bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya?” Muadz menjawab: “Maka saya akan berijtihad (ra’yi) dan saya tidak akan ragu sedikit pun.” Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke dada Muadz dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuatu yang menyenangkan hati Rasulul-Nya.” (HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud)
Dalam pikiran umumnya masyarakat kita, pengertian ikhtilaf lebih condong kepada ikhtilaf dalam masalah furu’ semata. Ikhtilaf dalam ushul memang dapat membuat jarak antara satu dengan lainnya, tapi ikhtilaf furu’ semestinya tidak begitu. Sayang sekali bahwa hal yang kita khawatirkan itu, yaitu ikhtilaf furu’ yang dibesar-besarkan, ternyata terjadi. Penyebabnya tiada lain adalah cara pemikiran yang dangkal di kalangan umat, sikap merasa tahu dan paling pinter (padahal masih banyak yang belum diketahuinya), dan fanatisme orang terhadap suatu pendapat.
Kesalahan mendasar ini juga terjadi di kalangan beberapa da’i yang menganjurkan persatuan umat Islam dengan cara mencela dan menyalahkan cara amaliyah dan bertindak orang lain, dengan cara menyerang kaifiyat ubudiyah orang lain.
Kita tidak perlu memperuncing perbedaan itu menjadi sedemikian tajamnya sampai dapat mengiris dan memotong persatuan yang semestinya dibina. Perbedaan itu adalah rahmat. Kita harus membangun saling pengertian dalam perbedaan. Di antara faktor yang dapat membantu memunculkan sikap toleran dan tenggang rasa mengenai masalah khilafiyah adalah menelaah perbedaan pendapat para Ulama’ agar dapat mengetahui beragamnya madzhab dan bervariasinya sumber pengambilan hukum. Masing-masing madzhab mempunyai sudut pandang dan dalil-dalil yang melandasinya, yang ditimba dari lautan syariat yang sangat luas.
Para Ulama menyatakan barang siapa tidak mengetahui ikhtilaf ulama’, maka dia belum bisa disebut ulama’. Bahkan ada yang lebih tajam, barang siapa tidak mengetahui ikhtilaf para fuqoha’, maka hidungnya belum pernah mencium bau fiqih.
Ada baiknya kita perhatikan pernyataan Dr. Yusuf Qordhowi sebagai berikut:
“Penyakit orang-orang ‘muda’ yang baru menapakkan kakinya beberapa langkah di dunia ilmu ke-Islam-an adalah mereka tidak mengetahui kecuali satu pendapat dan satu sudut pandang yang mereka dapatkan dari orang tertentu. Mereka membatasi diri dalam satu pandangan dengan sikap apriori terhadap pendapat yang lain, tanpa mengkajinya terlebih dahulu.
Anehnya, mereka melarang taqlid, sedang mereka sendiri jelas adalah para muqollid (orang-orang yang taqlid). Mereka menolak mengikuti para Imam terdahulu, namun bertaqlid kepada sebagian ulama masa kini. Mereka menolak madzhab, padahal mereka sendiri menjadikan pendapatnya sebagai ‘madzhab kelima’ dengan membelanya mati-matian dan menolak setiap orang yang berbeda pendapat dengannya.
Seandainya mereka mau memperluas wawasan, niscaya mereka akan mengetahui dan menyadari bahwa persoalan yang dihadapi lebih luas dari sekedar satu pendapat, dan saling pengertian dapat dicapai dalam masalah ini. (Ash-Shahwah al-Islamiyyah baina al-Ikhtilaaf al-Masyru’ wa at-Tafarruq al-Madzmum)
D. Membentuk Sikap Positif dalam menyikapi Ikhtilaf
Kita harus mempunyai pola pikir yang positif dalam menghadapi masalah khilafiyah, karena mengusahakan persatuan umat Islam melalui saling pengertian dan saling memahami perbedaan yang ada adalah hal yang mulia. Batasan saling memahami dan saling mengerti di sini adalah apabila suatu pendapat itu didukung oleh suatu dalil yang bisa diterima atau dihasilkan dari suatu pemikiran yang logis, bisa dikaji secara ilmiah, dan tidak bertentangan dengan nash yang sudah jelas. Kita tentu tidak bisa menerima suatu pendapat yang asal dikemukakan tanpa memandang sumber hukumnya maupun metode pengambilan hukumnya.
Berikut ini adalah sikap-sikap yang bisa kita pelajari dan kita bina dalam rangka menuju sikap positif menghadapi ikhtilaf:
1.Menganut prinsip at-tawassuth (mengambil jalan tengah) sebagai salah satu prinsip umum dalam Ahlussunnah wal Jama’ah.
2.Menyadari bahwa perbedaan pendapat dalam masalah furu’ dapat menjadi rahmat
3.Tidak memastikan atau pun menolak (kebenaran) dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
4.Menelaah perbedaan pendapat para Ulama’.
5.Berprasangka baik kepada sesama muslim
6.Dialog yang baik dan menghindari sikap permusuhan
7.Saling toleran dalam masalah yang diperselisihkan, sejauh dapat diterima secara ilmiah dan mempunyai sandaran dalil yang bisa diterima.
Kesemua hal itu harus dilandasi dengan semangat ikhlas dan mengharap ridho Allah SWT tanpa ditambah dengan tendensi tertentu.
Persatuan adalah wajib dan oleh karena itu, saling mengerti adalah perlu.
Wa Allah al-Muwaafiq ilaa aqwaam ath-thoriiq
Wa Allah A’lam bi ash-showaab
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
Segala puji bagi Allah, pencipta segala hal yang berbeda-beda. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan, pemimpin, dan tauladan kita, Nabi Muhammad SAW, juga kepada para keluarga dan shahabat beliau serta para pengikut mereka hingga hari akhir. Amma ba’du.
Suatu ketika, Sultan Harun Ar-Rasyid meminta izin kepada Imam Malik untuk menggantungkan Kitab Al-Muwaththa’ di Ka’bah dan memaksa agar seluruh umat Islam mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab: ”Jangan engkau lakukan itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih pendapat dalam masalah furu’, apalagi (kini) mereka telah berpencar ke berbagai negeri.”
Peristiwa tersebut memberi pelajaran kepada kita sebagai suatu sikap terhadap apa yang kita bahas di sini, yaitu masalah khilafiyah atau ikhtilaf, yang dalam bahasa kita adalah perbedaan pendapat, pandangan, atau sikap.
A. Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) adalah Wajar dan Pasti
Adalah suatu keajaiban apabila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat, pandangan, dan sikap dalam masalah ushul, furu’, dan siyasah. Dan adalah suatu mimpi saja apabila ada orang yang bermaksud untuk menyatukan umat Islam dalam masalah-masalah tersebut. Suatu ambisi yang terlalu banyak kendala dan tidak pada tempatnya. Tetapi, mengusahakan umat Islam untuk bersatu dengan saling mengerti dan memahami perbedaan yang ada adalah suatu cita-cita yang tinggi dan mulia.
Perbedaan adalah suatu yang pasti. Allah SWT sendiri telah menetapkan adanya perbedaan itu.
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Ar-Ruum ayat 22)
Banyak ayat yang lain yang menunjuk pada adanya berbagai perbedaan. Jadi, perbedaan itu tentu ada, termasuk dalam masalah Ushul, Furu’, dan lebih-lebih Siyasah. Hal ini dikarenakan ada beberapa sebab, seperti sebab bahasa, sebab pola pikir manusia, sebab alami, dan lain-lain.
Permasalahannya, penyebab utama dari perpecahan adalah perbedaan, apakah itu perbedaan pendapat, perbedaan pandangan, atau perbedaan sikap. Padahal kita mesti dan harus bersatu. Untuk itu, harus dicari jalan untuk menyikapi atau lebih tepatnya menyiasati perbedaan tersebut dalam rangka menuju persatuan umat.
Ikhtilaf dalam umat Islam bisa kita bagi dalam dua golongan besar, yaitu ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan dan ikhtilaf yang bisa dibenarkan. Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah aqidah yang prinsip, seperti masalah keyakinan adanya surga dan neraka, Al-Qur’an bukan makhluq, keimanan kepada taqdir, dan lain-lain. Sedangkan ikhtilaf yang bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah furu’ dan dalam masalah i’tiqod yang tidak prinsip, seperti masalah membaca Basmalah Fatihah Shalat Jahar, masalah Qunut Shubuh, dan lain-lain.
B. Islam Mewajibkan Persatuan dan tidak Membenarkan Perpecahan
Islam sangat membenci perpecahan dan perselisihan sampai-sampai Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang sedang membaca Al-Qur’an agar menghentikan bacaaanya apabila bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan.
Dari Jundab bin Abdillah, Nabi SAW bersabda: ”Bacalah Al-Qur’an selama bacaan itu dapat menyatukan hati kalian. Tapi, bila kalian berselisih, hentikanlah bacaan itu.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Paling tidak ada dua keuntungan dengan adanya persatuan, yaitu:
1.Memperkuat yang tadinya lemah dan menambah kekuatan bagi yang sudah kuat.
2.Persatuan adalah benteng yang ampuh dan pertahanan terhadap ancaman kehancuran
Sebaliknya, ada dua kerugian yang jelas dengan adanya perpecahan, yaitu memperlemah barisan dan mengundang kehancuran.
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Al-Qur’an juga menganjurkan persatuan dan mengecam perpecahan:
”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali Imraan ayat 103)
”Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,” (Q.S. Ali Imraan ayat 105)
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujuraat ayat 10)
”Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Anfaal ayat 46)
”Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (Q.S. Al-An’aam ayat 159)
Rasulullah SAW telah menyatakan: “Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun umatku di atas kesesatan. “Tangan” Allah bersama jama’ah. Barang siapa menyempal, ia menyempal ke Neraka.” (H.R. Imam Tirmidzi)
”Penyakit umat-umat sebelum kalian telah berjangkit kepada kalian, yaitu kedengkian dan permusuhan. Permusuhan adalah pencukur. Aku tidak mengatakan pencukur rambut, tapi pencukur agama. Demi Dzat, yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai.” (HR Imam Tirmidzi)
Jelas sekali apa yang ditunjukkan dan dimaksudkan oleh ayat-ayat dan Hadits di atas. Maka, menfirqohkan diri dari umat adalah tindakan menentang firman Allah, di samping tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
C. Ikhtilaf Dalam Masalah Furu’ adalah Boleh
Rasulullah SAW telah bersabda: ”Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mewajibkan sejumlah kewajiban, maka janganlah kamu abaikan, telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi kamu – bukan karena lupa – maka janganlah kamu mencari (kesulitan) di dalamnya.” (HR Imam Daruquthni)
Telah nyata dan kita ketahui bersama bahwa banyak masalah yang secara detil tidak dapat kita temukan jawabannya di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, sehingga mengharuskan dilakukannya ijtihad. Ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam menggali hukum agama setelah memperhatikan sekalian ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepada Muadz, “Bagaimana kamu akan memutuskan perkara yang dibawa ke hadapanmu?” Muadz menjawab: “Saya putuskan berdasarkan Kitabullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah?” Muadz menjawab: ”Saya putuskan berdasarkan sunnah Rasul.” Rasulullah bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya?” Muadz menjawab: “Maka saya akan berijtihad (ra’yi) dan saya tidak akan ragu sedikit pun.” Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke dada Muadz dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuatu yang menyenangkan hati Rasulul-Nya.” (HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud)
Dalam pikiran umumnya masyarakat kita, pengertian ikhtilaf lebih condong kepada ikhtilaf dalam masalah furu’ semata. Ikhtilaf dalam ushul memang dapat membuat jarak antara satu dengan lainnya, tapi ikhtilaf furu’ semestinya tidak begitu. Sayang sekali bahwa hal yang kita khawatirkan itu, yaitu ikhtilaf furu’ yang dibesar-besarkan, ternyata terjadi. Penyebabnya tiada lain adalah cara pemikiran yang dangkal di kalangan umat, sikap merasa tahu dan paling pinter (padahal masih banyak yang belum diketahuinya), dan fanatisme orang terhadap suatu pendapat.
Kesalahan mendasar ini juga terjadi di kalangan beberapa da’i yang menganjurkan persatuan umat Islam dengan cara mencela dan menyalahkan cara amaliyah dan bertindak orang lain, dengan cara menyerang kaifiyat ubudiyah orang lain.
Kita tidak perlu memperuncing perbedaan itu menjadi sedemikian tajamnya sampai dapat mengiris dan memotong persatuan yang semestinya dibina. Perbedaan itu adalah rahmat. Kita harus membangun saling pengertian dalam perbedaan. Di antara faktor yang dapat membantu memunculkan sikap toleran dan tenggang rasa mengenai masalah khilafiyah adalah menelaah perbedaan pendapat para Ulama’ agar dapat mengetahui beragamnya madzhab dan bervariasinya sumber pengambilan hukum. Masing-masing madzhab mempunyai sudut pandang dan dalil-dalil yang melandasinya, yang ditimba dari lautan syariat yang sangat luas.
Para Ulama menyatakan barang siapa tidak mengetahui ikhtilaf ulama’, maka dia belum bisa disebut ulama’. Bahkan ada yang lebih tajam, barang siapa tidak mengetahui ikhtilaf para fuqoha’, maka hidungnya belum pernah mencium bau fiqih.
Ada baiknya kita perhatikan pernyataan Dr. Yusuf Qordhowi sebagai berikut:
“Penyakit orang-orang ‘muda’ yang baru menapakkan kakinya beberapa langkah di dunia ilmu ke-Islam-an adalah mereka tidak mengetahui kecuali satu pendapat dan satu sudut pandang yang mereka dapatkan dari orang tertentu. Mereka membatasi diri dalam satu pandangan dengan sikap apriori terhadap pendapat yang lain, tanpa mengkajinya terlebih dahulu.
Anehnya, mereka melarang taqlid, sedang mereka sendiri jelas adalah para muqollid (orang-orang yang taqlid). Mereka menolak mengikuti para Imam terdahulu, namun bertaqlid kepada sebagian ulama masa kini. Mereka menolak madzhab, padahal mereka sendiri menjadikan pendapatnya sebagai ‘madzhab kelima’ dengan membelanya mati-matian dan menolak setiap orang yang berbeda pendapat dengannya.
Seandainya mereka mau memperluas wawasan, niscaya mereka akan mengetahui dan menyadari bahwa persoalan yang dihadapi lebih luas dari sekedar satu pendapat, dan saling pengertian dapat dicapai dalam masalah ini. (Ash-Shahwah al-Islamiyyah baina al-Ikhtilaaf al-Masyru’ wa at-Tafarruq al-Madzmum)
D. Membentuk Sikap Positif dalam menyikapi Ikhtilaf
Kita harus mempunyai pola pikir yang positif dalam menghadapi masalah khilafiyah, karena mengusahakan persatuan umat Islam melalui saling pengertian dan saling memahami perbedaan yang ada adalah hal yang mulia. Batasan saling memahami dan saling mengerti di sini adalah apabila suatu pendapat itu didukung oleh suatu dalil yang bisa diterima atau dihasilkan dari suatu pemikiran yang logis, bisa dikaji secara ilmiah, dan tidak bertentangan dengan nash yang sudah jelas. Kita tentu tidak bisa menerima suatu pendapat yang asal dikemukakan tanpa memandang sumber hukumnya maupun metode pengambilan hukumnya.
Berikut ini adalah sikap-sikap yang bisa kita pelajari dan kita bina dalam rangka menuju sikap positif menghadapi ikhtilaf:
1.Menganut prinsip at-tawassuth (mengambil jalan tengah) sebagai salah satu prinsip umum dalam Ahlussunnah wal Jama’ah.
2.Menyadari bahwa perbedaan pendapat dalam masalah furu’ dapat menjadi rahmat
3.Tidak memastikan atau pun menolak (kebenaran) dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
4.Menelaah perbedaan pendapat para Ulama’.
5.Berprasangka baik kepada sesama muslim
6.Dialog yang baik dan menghindari sikap permusuhan
7.Saling toleran dalam masalah yang diperselisihkan, sejauh dapat diterima secara ilmiah dan mempunyai sandaran dalil yang bisa diterima.
Kesemua hal itu harus dilandasi dengan semangat ikhlas dan mengharap ridho Allah SWT tanpa ditambah dengan tendensi tertentu.
Persatuan adalah wajib dan oleh karena itu, saling mengerti adalah perlu.
Wa Allah al-Muwaafiq ilaa aqwaam ath-thoriiq
Wa Allah A’lam bi ash-showaab
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)
0 Response to "Menyikapi Khilafiyah"
Posting Komentar