Menolak Permintaan Menjadi Imam Sholat
Apakah kita boleh menolak permintaan untuk menjadi imam karena kemampuan kita yang kita anggap kurang mumpuni ?
(Adriyan Muhandis, 10 Desember 2009)
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Di dalam hukum hanya diatur ketentuan, apabila seseorang “ingin” menjadi imam maka ia harus memenuhi kriteria dulu. Adapun bila seseorang “ditunjuk” menjadi imam, maka kriteria itu dinilai oleh orang lain. Jadi apabila seseorang diminta/ditunjuk orang lain maka itu merupakan satu tolok ukur bahwa dia adalah sosok terbaik dalam pandangan jamaahnya untuk menjadi imam. Karena itu, tidak dianjurkan untuk menolak permintaan menjadi imam kecuali memang ia mengetahui bahwa ada orang yang lebih baik untuk menjadi imam daripada dirinya. Kalau tidak, maka sudah seharusnya ia menjadi imam karena ia yang terbaik dari yang ada. Kriteria imam itu afqah (bukan faqih), aqra’ (bukan qari’) artinya imam itu adalah orang yang paling pandai (meski ia tidak pandai, ia paling pandai karena kebetulan jamaahnya masih lebih oon dari dia), dia yang paling bagus bacaan dan banyak hafalan (meski cuman apal qul ya + qul hu, karena kebetulan jamaah gak ada yang lebih bagus bacaan dan hapalannya).
Bagaimana jika ia menolak? Penolakan tentu tidak menjadi masalah, kecuali ternyata yang kemudian menjadi imam jauh lebih “parah” maka ia musti bertanggung jawab atas penolakannya. Secara syar’i sih sudah diatur tata cara memilih imam termasuk mekanisme jika imam tidak memenuhi syarat, tetapi alangkah lebih baik jika masing-masing punya kesadaran sehingga yang tidak/kurang mampu menyadari kekurangannya dan menyerahkan pada yang lebih mampu (meski agak sulit karena kecenderungan sekarang tiap orang merasa paling pandai). Yang paling mampu, jangan pura-pura tidak mampu, musti berani tampil ke depan agar nilai jamaah menjadi maksimal.
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
(Adriyan Muhandis, 10 Desember 2009)
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Di dalam hukum hanya diatur ketentuan, apabila seseorang “ingin” menjadi imam maka ia harus memenuhi kriteria dulu. Adapun bila seseorang “ditunjuk” menjadi imam, maka kriteria itu dinilai oleh orang lain. Jadi apabila seseorang diminta/ditunjuk orang lain maka itu merupakan satu tolok ukur bahwa dia adalah sosok terbaik dalam pandangan jamaahnya untuk menjadi imam. Karena itu, tidak dianjurkan untuk menolak permintaan menjadi imam kecuali memang ia mengetahui bahwa ada orang yang lebih baik untuk menjadi imam daripada dirinya. Kalau tidak, maka sudah seharusnya ia menjadi imam karena ia yang terbaik dari yang ada. Kriteria imam itu afqah (bukan faqih), aqra’ (bukan qari’) artinya imam itu adalah orang yang paling pandai (meski ia tidak pandai, ia paling pandai karena kebetulan jamaahnya masih lebih oon dari dia), dia yang paling bagus bacaan dan banyak hafalan (meski cuman apal qul ya + qul hu, karena kebetulan jamaah gak ada yang lebih bagus bacaan dan hapalannya).
Bagaimana jika ia menolak? Penolakan tentu tidak menjadi masalah, kecuali ternyata yang kemudian menjadi imam jauh lebih “parah” maka ia musti bertanggung jawab atas penolakannya. Secara syar’i sih sudah diatur tata cara memilih imam termasuk mekanisme jika imam tidak memenuhi syarat, tetapi alangkah lebih baik jika masing-masing punya kesadaran sehingga yang tidak/kurang mampu menyadari kekurangannya dan menyerahkan pada yang lebih mampu (meski agak sulit karena kecenderungan sekarang tiap orang merasa paling pandai). Yang paling mampu, jangan pura-pura tidak mampu, musti berani tampil ke depan agar nilai jamaah menjadi maksimal.
Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)
0 Response to "Menolak Permintaan Menjadi Imam Sholat"
Posting Komentar