Hadits Dhaif untuk Fadhailul A’mal
Assalamualaikum Wr Wb.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa boleh beramal dengan hadits-hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’mal atau targhib dan tarhib.
Yang ingin saya tanyakan, kalau landasan beramalnya saja sudah hadits dhaif, apakah benar akan memperoleh keutamaan? Yang dimaksud keutamaan di sini apa sih?
Mohon maaf, ini sebuah pertanyaan yang tersimpan dari dulu tapi belum sempat saya tanyakan. Sering kali pada setiap pengajian, para ustadz selalu mengajarkan bahwa hadits dha’if tetap boleh diamalkan untuk fadhaa’ilul a’mal.
(Fafan, Desember 2010)
Jawaban Dr.H.M. Dawud Arif Khan
Alhamdulillah. Yang dimaksud dengan Fadhailul A’mal ialah amal ibadat yang sunat-sunat, yang tidak bersangkut dengan orang lain, seperti dzikir, doa, tasbih, wirid dan lain- lain. Koreksi, bukan sebagian ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dhaif, melainkan jumhur ulama, dengan catatan dhaifnya tidak keterlaluan.
Yang paling ketat justru madzhab Syafi'i, yang menggunakan hadits dhaif hanya untuk fadhail a'mal.
Yang perlu diluruskan adalah pemahaman bahwa hadits dhaif itu bukan hadits palsu atau dibuat-buat. Hadits dhaif asalnya dari Rasulullah SAW juga, namun derajatnya kurang dari hadits hasan. Salah satu perawinya misalnya, diketahui pernah makan sambil berdiri, atau kurang kuat hafalannya (meskipun ia adil dan jujur), atau pernah diketahui sekali berbohong dalam hidupnya, maka haditsnya dikategorikan dhaif. Ada juga hadits dhaif karena mursal. (Kalau kita dengar kata mursal sepertinya buruk sekali, padahal tidaklah demikian). Mursal artinya hadits itu hanya sampai tabi'in terus dilempar ke Rasulullah SAW. Sehebat dan sejujur apa pun tabi'in itu, bila ia menceritakan "Rasulullah SAW bersabda:..." tanpa menyebutkan shahabat siapa yang menyampaikannya, atau para peneliti hadits gagal mendapatkan informasi shahabat siapa yang menceritakan kepada tabi'in tersebut, maka haditsnya menjadi dhaif karena mursal (dilempar ke atas / ada sanad yang terputus).
Kalau mengikuti standar metodologi riset standar, hadits semacam ini harus diterima - mengingat kejujuran dan keadilan para tabi'in. Tapi, para Ulama menetapkan syarat-syarat yang jauh lebih berat, khususnya Imam Syafi'i yang hanya mau menerima hadits mursal dari tabi'in yg bernama Said ibn Musayyab, seorang tabi'in yang memang punya perhatian besar kepada hadits.
Jujur saja, kalau menurutku, hadits mursal harus digunakan, karena ada ayat Al-Qur'an yang mengukuhkannya (Surah At-Taubah ayat 100), dan sabda Nabi bahwa generasi terbaik adalah sesudah beliau, kemudian generasi berikutnya, dst.
Hadits dhaif sendiri dengan demikian mempunyai banyak tingkatan. Bila dhaifnya keterlaluan, misalnya karena ada perawinya yang suka mengarang hadits, maka haditsnya tidak bisa digunakan. Ini pun ada kecualinya. Yaitu, bila suatu amal dapat diamalkan tanpa adanya hadits dhaif tersebut (karena sudah ada dalil umumnya dari Al-Qur'an atau hadits yang lain), kemudian ada hadits dhaif tersebut, meskipun sangat dhaif, amal itu tetap boleh dilakukan. Misalnya, perintah Allah dalam Al-Qur'an mengenai berdoa dan berdzikir itu boleh kapan saja di mana saja. Terus ada hadits dhaif mengenai fadhilah amal tersebut, ya boleh dilakukan. Karena, ada atau tidak ada hadits itu, pada dasarnya amal itu boleh dilakukan. Itulah fadhail a'mal.
Yang salah adalah yang mengatakan bahwa beramal berdasarkan hadits dhaif secara umum adalah bid'ah, karena ucapan ini sama sekali tidak ada dalilnya, mengabaikan penggunaan dalil umum, memandang rendah kejujuran dari seluruh tabi'in, serta berprasangka buruk kepada sebagian perawi hadits, meski mungkin perawi tersebut sudah berusaha jujur.
Demikian, semoga menjadi jelas.
Wa Allah A'lam
H.M. Dawud Arif Khan
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
Sebagian ulama menjelaskan bahwa boleh beramal dengan hadits-hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’mal atau targhib dan tarhib.
Yang ingin saya tanyakan, kalau landasan beramalnya saja sudah hadits dhaif, apakah benar akan memperoleh keutamaan? Yang dimaksud keutamaan di sini apa sih?
Mohon maaf, ini sebuah pertanyaan yang tersimpan dari dulu tapi belum sempat saya tanyakan. Sering kali pada setiap pengajian, para ustadz selalu mengajarkan bahwa hadits dha’if tetap boleh diamalkan untuk fadhaa’ilul a’mal.
(Fafan, Desember 2010)
Jawaban Dr.H.M. Dawud Arif Khan
Alhamdulillah. Yang dimaksud dengan Fadhailul A’mal ialah amal ibadat yang sunat-sunat, yang tidak bersangkut dengan orang lain, seperti dzikir, doa, tasbih, wirid dan lain- lain. Koreksi, bukan sebagian ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dhaif, melainkan jumhur ulama, dengan catatan dhaifnya tidak keterlaluan.
Yang paling ketat justru madzhab Syafi'i, yang menggunakan hadits dhaif hanya untuk fadhail a'mal.
Yang perlu diluruskan adalah pemahaman bahwa hadits dhaif itu bukan hadits palsu atau dibuat-buat. Hadits dhaif asalnya dari Rasulullah SAW juga, namun derajatnya kurang dari hadits hasan. Salah satu perawinya misalnya, diketahui pernah makan sambil berdiri, atau kurang kuat hafalannya (meskipun ia adil dan jujur), atau pernah diketahui sekali berbohong dalam hidupnya, maka haditsnya dikategorikan dhaif. Ada juga hadits dhaif karena mursal. (Kalau kita dengar kata mursal sepertinya buruk sekali, padahal tidaklah demikian). Mursal artinya hadits itu hanya sampai tabi'in terus dilempar ke Rasulullah SAW. Sehebat dan sejujur apa pun tabi'in itu, bila ia menceritakan "Rasulullah SAW bersabda:..." tanpa menyebutkan shahabat siapa yang menyampaikannya, atau para peneliti hadits gagal mendapatkan informasi shahabat siapa yang menceritakan kepada tabi'in tersebut, maka haditsnya menjadi dhaif karena mursal (dilempar ke atas / ada sanad yang terputus).
Kalau mengikuti standar metodologi riset standar, hadits semacam ini harus diterima - mengingat kejujuran dan keadilan para tabi'in. Tapi, para Ulama menetapkan syarat-syarat yang jauh lebih berat, khususnya Imam Syafi'i yang hanya mau menerima hadits mursal dari tabi'in yg bernama Said ibn Musayyab, seorang tabi'in yang memang punya perhatian besar kepada hadits.
Jujur saja, kalau menurutku, hadits mursal harus digunakan, karena ada ayat Al-Qur'an yang mengukuhkannya (Surah At-Taubah ayat 100), dan sabda Nabi bahwa generasi terbaik adalah sesudah beliau, kemudian generasi berikutnya, dst.
Hadits dhaif sendiri dengan demikian mempunyai banyak tingkatan. Bila dhaifnya keterlaluan, misalnya karena ada perawinya yang suka mengarang hadits, maka haditsnya tidak bisa digunakan. Ini pun ada kecualinya. Yaitu, bila suatu amal dapat diamalkan tanpa adanya hadits dhaif tersebut (karena sudah ada dalil umumnya dari Al-Qur'an atau hadits yang lain), kemudian ada hadits dhaif tersebut, meskipun sangat dhaif, amal itu tetap boleh dilakukan. Misalnya, perintah Allah dalam Al-Qur'an mengenai berdoa dan berdzikir itu boleh kapan saja di mana saja. Terus ada hadits dhaif mengenai fadhilah amal tersebut, ya boleh dilakukan. Karena, ada atau tidak ada hadits itu, pada dasarnya amal itu boleh dilakukan. Itulah fadhail a'mal.
Yang salah adalah yang mengatakan bahwa beramal berdasarkan hadits dhaif secara umum adalah bid'ah, karena ucapan ini sama sekali tidak ada dalilnya, mengabaikan penggunaan dalil umum, memandang rendah kejujuran dari seluruh tabi'in, serta berprasangka buruk kepada sebagian perawi hadits, meski mungkin perawi tersebut sudah berusaha jujur.
Demikian, semoga menjadi jelas.
Wa Allah A'lam
H.M. Dawud Arif Khan
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)
0 Response to "Hadits Dhaif untuk Fadhailul A’mal"
Posting Komentar