Permasalahan Terkait Air Yang keruh, Ikan dalam Air, Dan Air Dua Kullah
Assalamualaikum Wr. Wb.
Para ustadz, ustadzah, serta rekan-rekan sekalian. Saya ada sebuah pertanyaan mengenai jenis air di kos tempat markas IMAN berada.
Di kos tersebut, sebenarnya airnya jernih pada musim kemarau. Tetapi berubah menjadi keruh, berbau, dan berbusa (soal rasanya, saya sudah mau muntah) kalau musim penghujan.
Yang menjadi pertanyaannya, apakah air tersebut masih bisa digunakan untuk bersuci?
Mohon penjelasannya. Terima kasih.
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Alaikumussalaam wr. wb.
Air suci menyucikan (thahuur) adalah air muthlaq, yaitu air yang masih asli sebagaimana diciptakan oleh Allah di alam, belum terpengaruh oleh penambahan sesuatu yang suci atau terkena najis.
Jadi bagaimana pun sifat dari air yang diciptakan di alam adalah suci menyucikan, baik ia asin, manis, buthek (keruh), hijau, hitam, pesing, bau belerang, dsb tetaplah ia air muthlaq yang thahuur. Perubahan-perubahan pun jika terjadi karena faktor alam seperti karena lama diam, terkena sifat dari lokasi yang dilewati, atau terpengaruh oleh "sesuatu" yang hidup di air tersebut seperti lumut, ikan, ganggang dll tidak pula mempengaruhi thahuur-nya air.
Karena itu ilustrasi air di tempat kos, sepanjang sifat atau perubahan sifat air tidak disebabkan faktor penambahan sesuatu (yang bisa dijaga) maka tetaplah tidak merubah status thahuur-nya air tersebut.
Akan tetapi jika ada faktor-faktor negatif yang ada di air tersebut yang tidak fatal, semisal bau/rasa yang tidak enak, ada kandungan bahan berbahaya, terlalu panas/dingin maka makruh digunakan dan dianjurkan untuk dihilangkan faktornya semisal dengan difilter, didingin/hangatkan, dsb. Jika akibatnya fatal, meskipun secara hukum tetap thahuur, maka haram digunakan semisal air mendidih, air mengandung asam kadar tinggi, air tercemar radiasi, air beracun dll.
Pertanyaan dari M.R.Fanani
Maksud 'yang bisa dijaga' apa nih, Pak? Sekedar tambahan informasi, air di kos markas IMAN itu, diambil dari tanah langsung menggunakan mesin pompa air (Sanyo), bukan air PAM yang melewati banyak jalur.
Para ustadz, ustadzah, serta rekan-rekan sekalian. Saya ada sebuah pertanyaan mengenai jenis air di kos tempat markas IMAN berada.
Di kos tersebut, sebenarnya airnya jernih pada musim kemarau. Tetapi berubah menjadi keruh, berbau, dan berbusa (soal rasanya, saya sudah mau muntah) kalau musim penghujan.
Yang menjadi pertanyaannya, apakah air tersebut masih bisa digunakan untuk bersuci?
Mohon penjelasannya. Terima kasih.
(M.R.Fanani, 19 Juli 2010)
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Alaikumussalaam wr. wb.
Air suci menyucikan (thahuur) adalah air muthlaq, yaitu air yang masih asli sebagaimana diciptakan oleh Allah di alam, belum terpengaruh oleh penambahan sesuatu yang suci atau terkena najis.
Jadi bagaimana pun sifat dari air yang diciptakan di alam adalah suci menyucikan, baik ia asin, manis, buthek (keruh), hijau, hitam, pesing, bau belerang, dsb tetaplah ia air muthlaq yang thahuur. Perubahan-perubahan pun jika terjadi karena faktor alam seperti karena lama diam, terkena sifat dari lokasi yang dilewati, atau terpengaruh oleh "sesuatu" yang hidup di air tersebut seperti lumut, ikan, ganggang dll tidak pula mempengaruhi thahuur-nya air.
Karena itu ilustrasi air di tempat kos, sepanjang sifat atau perubahan sifat air tidak disebabkan faktor penambahan sesuatu (yang bisa dijaga) maka tetaplah tidak merubah status thahuur-nya air tersebut.
Akan tetapi jika ada faktor-faktor negatif yang ada di air tersebut yang tidak fatal, semisal bau/rasa yang tidak enak, ada kandungan bahan berbahaya, terlalu panas/dingin maka makruh digunakan dan dianjurkan untuk dihilangkan faktornya semisal dengan difilter, didingin/hangatkan, dsb. Jika akibatnya fatal, meskipun secara hukum tetap thahuur, maka haram digunakan semisal air mendidih, air mengandung asam kadar tinggi, air tercemar radiasi, air beracun dll.
Pertanyaan dari M.R.Fanani
Maksud 'yang bisa dijaga' apa nih, Pak? Sekedar tambahan informasi, air di kos markas IMAN itu, diambil dari tanah langsung menggunakan mesin pompa air (Sanyo), bukan air PAM yang melewati banyak jalur.
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Contohnya nih.
Air empang, ia berubah jadi hijau karena lumut, atau karena kejatuhan daun-daun pepohonan. Hal ini tentu tidak bisa (sulit) dijaga. Karena itu perubahan akibat lumut atau rontokan daun tidak mengubah status thahuur-nya.
Lha jelas sekali tho air diambil langsung dari sumur (air tanah) jadi sudah pasti ia muthlaq dan thahuur. Air pipa yang bau besi karena faktor pipa besi yang dilewatinya pun tidak berubah status muthlaqnya, kecuali ia sengaja dilewatkan pipa besi agar berubah bau besi.
Pertanyaan dari M.R.Fanani
Ada pertanyaan lagi, Pak. Kalau misal air di bak kamar mandi yang kurang dari 2 kullah dengan sengaja dimasukkan ikan mas kecil dengan tujuan agar jentik-jentik nyamuk di dalam bak air tersebut tidak berkembang, apakah masih suci menyucikan, Pak?
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Ikan tentu bukan disebut bahan pencampur karena memang tidak tercampur dengan air. Ia juga tidak merubah sifat air dari aspek warna, bau dan rasanya secara signifikan. Jadi statusnya tetap thahuur.
Pertanyaan Syaichudin (Udin)
Tapi ikan kan mengeluarkan kotoran pak, bagaimana dengan hal itu? Bagi saya pribadi kalau air di ember dikasih ikan saya merasa jijik bila harus berkumur dengan air itu, kecuali kalau airnya banyak lebih dari 2 kullah.
Pertanyaan dari M.R.Fanani
Menambahi pertanyaan Udin lagi, Pak.
Saya tadi sempat menemukan artikel ini, "Menurut pandangan mazhab Syafi’i apabila air kurang dari 2 kullah, maka harus diambil dengan gayung supaya wudhu’ menjadi sah. Sayyid Sabiq mengutip pandangan Ibnu Abdil Barr di dalam kitab at-Tahmid yang mengatakan, pendirian Syafi’i mengenai hadits 2 kullah adalah mazhab yang lemah dari segi penyelidikan dan tidak berdasarkan kepada alasan yang kuat. Selama air yang dipergunakan untuk berwudhu itu suci dan menyucikan, warna bau dan rasanya tetap terjaga, maka dapat digunakan untuk berwudhu seberapa pun banyaknya."
Terlintas di benak saya, kenapa Imam Syafi'i kok seperti tidak konsisten (dalam pemahaman saya - pen) dalam menetapkan air suci ini dimana di satu pihak air muthlaq yaitu air yang masih asli sebagaimana diciptakan oleh Allah di alam, belum terpengaruh oleh penambahan sesuatu yang suci atau terkena najis. Sedangkan di lain pihak menambahkan syarat 2 kullah. Kira-kira pemahamannya seperti apa ya, Pak?
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Pertama untuk ilustrasi yang saya gambarkan mengenai ikan bukan pencampur tentu berbicara masalah ikannya bukan kotorannya. Jadi ikan yang dimasukkan ke air sedikit tidak membuat air tersebut kehilangan thahuur-nya karena ikan hukumnya suci.
Adapun masalah kotoran ikan, maka kita bahas dalam konteks yang sedikit berbeda. Dalam madzhab Syafi’i memang kotoran (termasuk kotoran ikan) adalah najis. Akan tetapi untuk kotoran ikan sepanjang tidak tampak bentuknya dan tidak mempengaruhi sifat air maka ia termasuk najis yang ma’fu seperti bangkai hewan yang tak mengalir darahnya semisal kecoak yang mati di air.
Ilustrasi Fafan yang memasukkan ikan kecil ke bak mandi secara umum bisa difahami dalam konteks ma’fu ini karena kotoran ikan kecil itu tidak terlihat dan air yang dihuni ikan itu tidak berubah sifatnya, apalagi jika ia secara reguler digunakan dan diisi air baru.
Untuk masalah 2 kullah, pendapat dalam madzhab Syafi’i dilandasi dari hadits “ketika air mencapai 2 kullah maka tidak membawa kotoran (khobats)”. Kotoran dalam fiqh bisa berbentuk fisik (najis) atau maknawi (hadats). Karena itu jika air kurang dari 2 kullah itu terkena kotoran (najis/hadats) maka ia membawa kotoran, sehingga kemudian madzhab Syafi’i menyebut air sedikit yang terkena najis itu hukumnya najis meski tidak berubah, dan air sedikit yang terkena hadats (dipakai menghilangkan hadats) itu hukumnya musta’mal.
Analisis lemah tentu sifatnya personal. Saya pribadi memandang bahwa seandainya 2 kullah itu tidak menjadi acuan hukum, lantas apa gunanya ada hadits tentang 2 kullah? Madzhab Syafi’i tidak melihat ada tidaknya perubahan sifat air sehingga sepanjang membawa kotoran merubah sifat atau tidak maka telah keluar dari ke-muthlak-annya. Sebaliknya pendapat lain mensyaratkan perubahan sifat sebelum menghukumi air itu disebut membawa kotoran. Cuma menurut pandangan saya jika syarat ini ditetapkan untuk air kurang dari 2 kullah dan juga syarat itu ada untuk air lebih dari 2 kullah, maka sepertinya hadits 2 kullah ini jadi tak terpakai.
Setahu saya madzhab lain juga mengakui masalah 2 kullah ini, hanya berbeda dalam kriteria bagaimana kotoran itu mempengaruhi air kurang dari 2 kullah. Semisal Malikiyyah yang menganggap air kurang dari 2 kullah yang dipakai membersihkan najis menjadi musta’mal tetapi air kurang dari 2 kullah yang “terkena/tercampur” najis asal tak berubah sifat tetap thahuur. Malah saya lebih bingung pemahaman madzhab Maliky ini yang terkesan tak konsisten, padahal sepertinya kondisinya sama. Air dipakai membersihkan najis kan sama dengan air terkena najis tho, tapi hukumnya berbeda. Itu perbedaan pola pikir, tentulah tak jadi masalah.
Jawaban Dr.H.M.Dawud Arif Khan
Alhamdulillah, perlu diketahui bahwa dalam masalah 2 kullah ini justru Sayid Sabiq sendiri yang mengambil pendapat yang Syadz (jarang).
Jumhur Ulama (termasuk Madzhab Hanafi, Syafi'i, dan Hambali) semua sepakat bahwa air yang kurang dari 2 kullah dan kemasukan najis, maka hukumnya menjadi mutanajjis (meski warna, rasa, dan bau tak berubah), sehingga tidak dapat dipergunakan untuk bersuci, bahkan dapat membuat yang lain menjadi mutanajjis juga.
Selain itu, Hadits tentang air 2 kullah yang disebutkan oleh pan Ichsan diriwayatkan oleh Imam Hadits yang empat dan dishahihkan oleh mereka. Bahkan Ulama yang biasanya berseberangan (Ibnu Taimiyah dan Albani) juga menshahihkan hadits tersebut, meski anehnya mereka memilih fatwa yang lain (tidak menganggap najis air kurang dari 2 kullah yang kemasukan najis, selama tidak berubah warna, rasa, dan bau).
Sebagai pelengkap, penetapan batas 2 kullah dalam madzhab Syafi'i adalah hukum yang paling hati-hati dalam masalah ini. Itulah salah satu pokok dasar agama ini, berhati-hati dalam masalah bersuci, karena pengaruhnya yang pasti terhadap ibadah shalat.
Siapa pun boleh berargumen menentang batasan 2 kullah, tapi ia pasti akan terbawa pada kesembronoan penggunaan air yang (boleh jadi) telah najis. Bukankah berhati-hati itu senantiasa lebih baik dan secara pasti pula hal ini tidak pula melanggar ketentuan bagi mereka yang menganggap dasar 2 kullah itu lemah. Saya yakin, bahwa para Ulama yang menggunakan madzhab Maliki tetap pada sikap kehati-hatian ketika menerapkan masalah ini, karena mereka pasti tahu konsekwensinya. Tapi, orang awam bisa menjadi sembrono bila tidak diberi batasan yang hati-hati.
Wa Allah A'lam
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
Pertanyaan dari M.R.Fanani
Ada pertanyaan lagi, Pak. Kalau misal air di bak kamar mandi yang kurang dari 2 kullah dengan sengaja dimasukkan ikan mas kecil dengan tujuan agar jentik-jentik nyamuk di dalam bak air tersebut tidak berkembang, apakah masih suci menyucikan, Pak?
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Ikan tentu bukan disebut bahan pencampur karena memang tidak tercampur dengan air. Ia juga tidak merubah sifat air dari aspek warna, bau dan rasanya secara signifikan. Jadi statusnya tetap thahuur.
Pertanyaan Syaichudin (Udin)
Tapi ikan kan mengeluarkan kotoran pak, bagaimana dengan hal itu? Bagi saya pribadi kalau air di ember dikasih ikan saya merasa jijik bila harus berkumur dengan air itu, kecuali kalau airnya banyak lebih dari 2 kullah.
Pertanyaan dari M.R.Fanani
Saya tadi sempat menemukan artikel ini, "Menurut pandangan mazhab Syafi’i apabila air kurang dari 2 kullah, maka harus diambil dengan gayung supaya wudhu’ menjadi sah. Sayyid Sabiq mengutip pandangan Ibnu Abdil Barr di dalam kitab at-Tahmid yang mengatakan, pendirian Syafi’i mengenai hadits 2 kullah adalah mazhab yang lemah dari segi penyelidikan dan tidak berdasarkan kepada alasan yang kuat. Selama air yang dipergunakan untuk berwudhu itu suci dan menyucikan, warna bau dan rasanya tetap terjaga, maka dapat digunakan untuk berwudhu seberapa pun banyaknya."
Terlintas di benak saya, kenapa Imam Syafi'i kok seperti tidak konsisten (dalam pemahaman saya - pen) dalam menetapkan air suci ini dimana di satu pihak air muthlaq yaitu air yang masih asli sebagaimana diciptakan oleh Allah di alam, belum terpengaruh oleh penambahan sesuatu yang suci atau terkena najis. Sedangkan di lain pihak menambahkan syarat 2 kullah. Kira-kira pemahamannya seperti apa ya, Pak?
Jawaban Ustadz Ichsan Nafarin
Pertama untuk ilustrasi yang saya gambarkan mengenai ikan bukan pencampur tentu berbicara masalah ikannya bukan kotorannya. Jadi ikan yang dimasukkan ke air sedikit tidak membuat air tersebut kehilangan thahuur-nya karena ikan hukumnya suci.
Adapun masalah kotoran ikan, maka kita bahas dalam konteks yang sedikit berbeda. Dalam madzhab Syafi’i memang kotoran (termasuk kotoran ikan) adalah najis. Akan tetapi untuk kotoran ikan sepanjang tidak tampak bentuknya dan tidak mempengaruhi sifat air maka ia termasuk najis yang ma’fu seperti bangkai hewan yang tak mengalir darahnya semisal kecoak yang mati di air.
Ilustrasi Fafan yang memasukkan ikan kecil ke bak mandi secara umum bisa difahami dalam konteks ma’fu ini karena kotoran ikan kecil itu tidak terlihat dan air yang dihuni ikan itu tidak berubah sifatnya, apalagi jika ia secara reguler digunakan dan diisi air baru.
Untuk masalah 2 kullah, pendapat dalam madzhab Syafi’i dilandasi dari hadits “ketika air mencapai 2 kullah maka tidak membawa kotoran (khobats)”. Kotoran dalam fiqh bisa berbentuk fisik (najis) atau maknawi (hadats). Karena itu jika air kurang dari 2 kullah itu terkena kotoran (najis/hadats) maka ia membawa kotoran, sehingga kemudian madzhab Syafi’i menyebut air sedikit yang terkena najis itu hukumnya najis meski tidak berubah, dan air sedikit yang terkena hadats (dipakai menghilangkan hadats) itu hukumnya musta’mal.
Analisis lemah tentu sifatnya personal. Saya pribadi memandang bahwa seandainya 2 kullah itu tidak menjadi acuan hukum, lantas apa gunanya ada hadits tentang 2 kullah? Madzhab Syafi’i tidak melihat ada tidaknya perubahan sifat air sehingga sepanjang membawa kotoran merubah sifat atau tidak maka telah keluar dari ke-muthlak-annya. Sebaliknya pendapat lain mensyaratkan perubahan sifat sebelum menghukumi air itu disebut membawa kotoran. Cuma menurut pandangan saya jika syarat ini ditetapkan untuk air kurang dari 2 kullah dan juga syarat itu ada untuk air lebih dari 2 kullah, maka sepertinya hadits 2 kullah ini jadi tak terpakai.
Setahu saya madzhab lain juga mengakui masalah 2 kullah ini, hanya berbeda dalam kriteria bagaimana kotoran itu mempengaruhi air kurang dari 2 kullah. Semisal Malikiyyah yang menganggap air kurang dari 2 kullah yang dipakai membersihkan najis menjadi musta’mal tetapi air kurang dari 2 kullah yang “terkena/tercampur” najis asal tak berubah sifat tetap thahuur. Malah saya lebih bingung pemahaman madzhab Maliky ini yang terkesan tak konsisten, padahal sepertinya kondisinya sama. Air dipakai membersihkan najis kan sama dengan air terkena najis tho, tapi hukumnya berbeda. Itu perbedaan pola pikir, tentulah tak jadi masalah.
Jawaban Dr.H.M.Dawud Arif Khan
Alhamdulillah, perlu diketahui bahwa dalam masalah 2 kullah ini justru Sayid Sabiq sendiri yang mengambil pendapat yang Syadz (jarang).
Jumhur Ulama (termasuk Madzhab Hanafi, Syafi'i, dan Hambali) semua sepakat bahwa air yang kurang dari 2 kullah dan kemasukan najis, maka hukumnya menjadi mutanajjis (meski warna, rasa, dan bau tak berubah), sehingga tidak dapat dipergunakan untuk bersuci, bahkan dapat membuat yang lain menjadi mutanajjis juga.
Selain itu, Hadits tentang air 2 kullah yang disebutkan oleh pan Ichsan diriwayatkan oleh Imam Hadits yang empat dan dishahihkan oleh mereka. Bahkan Ulama yang biasanya berseberangan (Ibnu Taimiyah dan Albani) juga menshahihkan hadits tersebut, meski anehnya mereka memilih fatwa yang lain (tidak menganggap najis air kurang dari 2 kullah yang kemasukan najis, selama tidak berubah warna, rasa, dan bau).
Sebagai pelengkap, penetapan batas 2 kullah dalam madzhab Syafi'i adalah hukum yang paling hati-hati dalam masalah ini. Itulah salah satu pokok dasar agama ini, berhati-hati dalam masalah bersuci, karena pengaruhnya yang pasti terhadap ibadah shalat.
Siapa pun boleh berargumen menentang batasan 2 kullah, tapi ia pasti akan terbawa pada kesembronoan penggunaan air yang (boleh jadi) telah najis. Bukankah berhati-hati itu senantiasa lebih baik dan secara pasti pula hal ini tidak pula melanggar ketentuan bagi mereka yang menganggap dasar 2 kullah itu lemah. Saya yakin, bahwa para Ulama yang menggunakan madzhab Maliki tetap pada sikap kehati-hatian ketika menerapkan masalah ini, karena mereka pasti tahu konsekwensinya. Tapi, orang awam bisa menjadi sembrono bila tidak diberi batasan yang hati-hati.
Wa Allah A'lam
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
Artikel ini dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)
0 Response to "Permasalahan Terkait Air Yang keruh, Ikan dalam Air, Dan Air Dua Kullah"
Posting Komentar