Perihal Tabarrukan (Mencari Berkah)

Alhamdulillah, sebelumnya telah kita bahas mengenai masalah makam Rasulullah SAW yang berada di kamar Sayyidah 'Aisyah, yang kamar itu menempel dinding Masjid Nabawi, dan kemudian akhirnya menyatu dan masuk ke bagian dalam Masjid. Kini, kita bahas masalah keinginan Sayyidinaa Umar untuk dimakamkan di dekat makam Rasulullah SAW.

Ketika Sayyidinaa Umar bin Al-Khattab hampir wafat, dia mengutus anaknya yang bernama Abdullah untuk bertemu dengan Sayyidah 'Aisyah supaya diberi izin untuk dimakamkan di sisi makam Rasulullah dan Abu Bakar. Amru bin Maimun bercerita: Abdullah bin Umar memberi salam, meminta izin lalu masuk menemui 'Aisyah r.anha. Ternyata Abdullah mendapati beliau sedang menangis. Lalu dia berkata: “Umar bin Al-Khattab menyampaikan salam buat Bunda dan meminta izin agar boleh dikuburkan disamping kedua sahabatnya (Rasulullah SAW dan Abu Bakar).” Sayyidah 'Aisyah berkata: “Sebenarnya aku juga menginginkan hal itu (tempat kosong di makam suami dan ayahnya) untuk diriku. Namun, hari ini aku tidak akan lebih mementingkan diriku.” (HR Imam Bukhari)

Ada dua informasi penting di sini. Pertama, Sayyidinaa Umar meminta izin kepada Sayyidah 'Aisyah untuk bisa dimakamkan dekat Nabi SAW, dan Sayyidah 'Aisyah ternyata juga menginginkan hal yang sama.

Tentu ada alasan yang sangat esensi, sehingga ada keinginan tersebut. Bila kita melihat diri Sayyidah 'Aisyah, rasanya sangat wajar bila beliau ingin dimakamkan di tempat tersebut. Pertama, itu adalah lokasi makam ayah dan suaminya. Apalagi tempat itu tadinya adalah kamar beliau. Bagaimana dengan Sayyidinaa Umar, apakah semata karena itu adalah makam dua shahabat terbaiknya? Tentu tidak sesederhana itu.

Yang kedua beliau inginkan (Sayyidinaa Umar dan Sayyidah 'Aisyah) tidak lain adalah tabarrukan bi qabri an-Nabi al-Musthofaa, yakni bertabarruk  kepada Nabi Muhammad SAW melalui makam beliau.

Itulah esensi dari permintaan Sayyidinaa Umar, yakni agar keberkahan Rasulullah SAW bisa melimpah pula untuk dirinya. Adapun beliau minta izin kepada Sayyidah 'Aisyah adalah karena istri Nabi SAW itu memang adalah orang yang lebih punya hak atas tempat tersebut dengan alasan yang sudah disebutkan di atas.

Sebenarnya bisa saja Sayyidah 'Aisyah juga dimakamkan di lokasi tersebut nantinya. Namun, beliau adalah seseorang yang rasa malunya sangat besar. Jangankan untuk dimakamkan bersebelahan dengan Umar, sedangkan sejak Sayyidinaa Umar dimakamkan di situ, beliau sudah tidak mau lagi tinggal di rumah Nabi SAW, melainkan pindah. Hal itu karena rasa malunya kepada Sayyidinaa Umar. Beliau sangat memahami bahwa para kekasih Allah itu pada hakikatnya adalah hidup di sisi-Nya, meski telah fana dari dunia ini. Wa Allah A'lam.

Adapun tabarrukan (mencari) berkah sendiri itu banyak macam ragamnya, dan juga telah diceritakan baik di dalam al-Quran maupun al-Hadits. Dalam surah Yusuf ayat 93 disebutkan: “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali….” (Yusuf: 93)

Allah SWT menjadikan kesembuhan mata Nabi Ya'qub itu melalui berkah baju gamis Nabi Yusuf. Ini adalah tabarrukan bi qamiisi Yusuf. Itulah mengapa wirid untuk kesembuhan penyakit mata itu antara lain adalah dengan menyebut qamiisu Yusuf. Wa Allah A'lam.

Siapakah di masa Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan masalah tabarrukan itu? Tidak lain adalah Rasulullah SAW sendiri. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW menyuruh tukang pangkas rambutnya, untuk mencukur rambut bagian kanan dan kirinya, lalu rambut-rambut itu dibagi-bagikannya kepada para sahabat. (HR Imam Muslim)

Para shahabat pun tanpa ragu malah berebut untuk bisa mendapatkan apa saja bekas dari Rasulullah SAW, mulai dari bekas air wudhu, keringat, rambut, bahkan darah beliau (menurut Imam Syafi’i, darah Rasulullah SAW itu tidak najis). Sahabat Khalid bin Walid bertabaruk dengan rambut ubun-ubun Rasulullah SAW, ditaruh di dalam kopiahnya (songkok). Ia berkata: "Saya tidak pernah mendatangi perang dengan membawa songkok tersebut (yang berisi rambut Rasulullah), kecuali setiap peperangan saya selalu diberi kemenangan.” (HR Imam ath-Thabrani dan Abu Ya’la)

Ludah Rasulullah SAW juga menjadi rebutan para shahabat. Tidak heran bahwa para santri dulu (bahkan sekarang juga masih ada) banyak yang berebut bekas minum dari Kyai mereka untuk mendapatkan barokahnya. Shahabat Miswar dan Marwan menceritakan, "Demi Allah, setiap Rasulullah SAW berdahak, pasti dahak beliau jatuh ke tangan salah seorang sahabat, lalu ia gosokkan ke wajah dan kulitnya." (HR Imam Bukhari)

Para shahabat juga senang membawa bayi-bayi mereka untuk di-tahnik oleh Rasulullah SAW. Hal itu adalah mencari keberkahan (bertabarruk) dengan ludah Nabi SAW. Bahkan para sahabat juga bertabaruk dengan air sumur Budha’ah di Madinah, yang pernah diludahi oleh Nabi SAW. (HR Imam ath-Thabrani)

Apakah ada celaan atau bahkan larangan dari Rasulullah SAW sewaktu beliau melihat para shahabat melakukan tabarrukan? Ternyata tidak, bahkan sebagaimana salah satu hadits di atas, malah Rasulullah SAW sendiri memerintahkan membagi rambut beliau yang telah dipotong. Beberapa shahabat juga mendapatkan pengajaran serupa dengan media tabarruk yang lain. Suatu ketika Rasulullah SAW menyuruh Abu Musa al-Asy'ari dan Bilal untuk mengambil tempat air, lalu beliau membasuh kedua tangan dan wajah, kemudian memuntahkan air kumur ke wadah tersebut dan beliau bersabda: "Minumlah oleh kalian, siramkan ke wajah dan leher kalian, dan bersenanglah." Kemudian dua orang shahabat itu melakukannya." (HR Imam Bukhari dan Muslim). Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani mengomentari hadits di atas dan berkata: “Tujuan hal tersebut adalah karena adanya berkah dari ludah Rasulullah yang mengandung berkah. "(Fath al-Baari Juz 1)

Adalah Ummu Sulaim mengambil keringat Nabi SAW dan menaruhnya ke dalam botol, sebagai minyak wangi. Setelah ditanya oleh Rasulullah, Ummu Sulaim menjawab: “Ini adalah keringatmu. Kami jadikan minyak wangi kami. Dan keringat itu adalah minyak yang paling harum.” (HR Imam Muslim)

Bagaimana dengan barang-barang peninggalan Nabi SAW, bolehkah bertabarruk dengan barang-barang tersebut. Jawabannya sebenarnya telah disebutkan dalam al-Quran surah Yusuf ayat 93 di atas. Selain itu, Nabi Muhammad SAW sendiri mengajarkan tabarrukan kepada Hijir Ismail dan juga maqam (bekas tapak kaki) Nabi Ibrahim. Semua itu masih diperkuat dengan apa yang dilakukan oleh para shahabat dalam menyikapi peninggalan Nabi SAW.

Dari Kabsyah al-Anshariyah bahwa Rasulullah SAW datang kepadanya dan di sebelahnya ada tempat air minum yang digantung, kemudian beliau meminumnya dengan posisi berdiri. Kabsyah lalu memotong (bekas) tempat minum Rasulullah tersebut untuk mendapatkan berkah dari mulut Rasulullah SAW” (HR Imam Ibnu Majah dan Turmudzi). Memang bertabarruk pada barang bekas atau pernah disentuh orang Shaleh itu pada dasarnya adalah bertabarruk dengan orang Shaleh tersebut. Wa Allah A'lam.

Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq mengeluarkan jubah –dengan motif– thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah, oleh karenanya kita mencucinya agar diambil berkahnya sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”. (HR Imam Muslim)

Hadits Asma' di atas juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan juga oleh Imam Bukhari dengan redaksi yang sedikit berbeda namun sama isi dan esensinya. Bahwa peninggalan Nabi Muhammad SAW sering dijadikan obat juga diceritakan melalui Ummu Salamah. “Ummi Salamah memiliki rambut Rasulullah SAW. Jika ada orang yang terkena penyakit, maka mendatangi Ummi Salamah dengan membawa wadah (untuk berobat), dan saya melihat di dalamnya ada beberapa rambut merah” (HR Imam Bukhari).

Permintaan Sayyidinaa Umar untuk dimakamkan di dekat makam Rasulullah SAW adalah dasar tabarrukan bi qabri an-Nabi SAW, meski sebenarnya dalil umumnya sudah ada pada hadits-hadits di atas. Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: "Seorang A'rabi datang kepada kami setelah 3 hari kami menguburkan Rasulullah SAW. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke makam Rasulullah SAW dan menaburkan debu ke kepalanya sambil berkata: 'Engkau berkata wahai Rasullalah, lalu kami mendengar perkataanmu. Engkau menerima ajaran dari Allah, dan kami menerima darimu, dan di antara yang diturunkan Allah kepadamu adalah: "Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (al-Nisa' ayat 64). Sungguh aku telah menganiaya diri sendiri dan kini aku datang kepadamu agar engkau mohonkan ampunan bagiku. Lalu laki-laki A'rabi itu dijawab dari dalam makam Rasullah Saw bahwa: 'Kamu telah diampuni'." (Tafsir al-Qurthubi Juz 5)

Demikianlah bahwa tabarrukan itu ternyata diajarkan oleh Rasulullah SAW, diamalkan oleh para shahabat dan juga Salaf ash-Shalih. Para imam Madzhab dan juga para ahli Hadits mengamalkannya. Kisah yang melibatkan Imam ath-Thabrani berikut ini menjelaskan hal tersebut.

Ibnu al-Muqri berkata: "Saya berada di Madinah bersama al-Hafidz ath-Thabrani dan al-Hafidz Abu al-Syaikh. Waktu kami sangat sempit hingga kami tidak makan sehari semalam. Setelah waktu Isya' tiba, saya mendatangi makam Rasulullah, lalu saya berkata: Ya Rasulallah, kami lapar. Ath-Thabrani berkata kepada saya: Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki atau kematian. Saya dan Abu al-Syaikh berdiri, tiba-tiba datang laki-laki Alawi (keturunan Rasulullah SAW) di depan pintu, lalu kami membukakan pintu. Ternyata ia membawa dua orang budaknya yang membawa dua keranjang penuh dengan makanan. Alawi itu berkata: Apakah kalian mengadu kepada Rasulullah SAW? Saya bermimpi Rasulullah dan menyuruhku membawa makanan untuk kalian." (Lihat Tadzkirah al-Huffadz Juz 3 dan Siyar A'lam al-Nubala' karya al-Hafidz al-Dzahabi)

Sebenarnya masih banyak kisah tabarrukan bi qabri an-Nabi SAW dan juga bi qabri Ulama ash-Shalih. Namun,  dasar yang sangat banyak itu mestinya sudah mencukupi bagi kita. Wa Allah A'lam.

Demikian pengajian kita hari ini. Insyaa Allah kita lanjutkan minggu depan. Silakan baca Hamdalah.

Wassalaamu alaikum WW.

Dikutip dari Pengajian via WA IMAN oleh Dr.K.H.M.Dawud Arif Khan, arsip tahun 2017.

0 Response to "Perihal Tabarrukan (Mencari Berkah)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel