Hal-Hal Yang Perlu Diluruskan
(Tulisan ini merupakan judul kedua dari dua tulisan dengan tema A Point of View : Fiqh Islam. Tulisan pertama berjudul Esensi Bermadzhab)
Sesungguhnya masalah utama umat Islam saat ini adalah adanya dekadensi moral, penyelewengan ideologi, penyimpangan pola pikir, dan overlapping peranan orang yang tidak pada tempatnya. Untuk dua yang terakhir, terutama terjadi karena munculnya para ulama su’ (ulama yang buruk akhlak dan amaliahnya) dan banyaknya orang awam yang mengambil peran ulama dengan memberikan berbagai fatwa, sementara kemampuannya belum mencukupi. Segenap pemikir dan cendekiawan muslim seharusnya berkonsentrasi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, namun ternyata tidak demikian yang terjadi.
Kita tidak mungkin menyatukan hati umat –khususnya para cendekiawan– untuk berjuang bersama mengatasi masalah umat, apabila semua pihak tidak dapat menerima adanya perbedaan pendapat (dalam masalah syariat) sebagai suatu keniscayaan. Menolak perbedaan pendapat dan upaya menyatukan orang dalam satu fatwa untuk setiap masalah agama adalah tindakan sia-sia dan lebih banyak madharatnya dari pada maslahatnya bagi umat. Adalah suatu keajaiban apabila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat dan sikap dalam masalah furu’.
Perbedaan fatwa sudah terjadi, bahkan sejak zaman shahabat, dan terlebih lagi pada masa-masa berikutnya. Fenomena ini telah dibahas berabad-abad yang silam, antara lain ketika Sultan Harun Ar-Rasyid meminta ijin kepada Imam Malik untuk menggantungkan kitab Al-Muwaththa’[1] di Ka’bah dan memaksa rakyat agar mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab: “Jangan lakukan itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih pendapat dalam masalah furu’, apalagi mereka telah berpencar ke berbagai negeri.”
Jawaban Imam Malik ini memberi pelajaran kepada kita sebagai sesuatu yang positif dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam agama, apabila segala sesuatunya telah dilarikan dan disandarkan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Suatu ketika, seorang muallaf (orang yang baru memeluk Islam) di Damaskus bercerita bahwa ia telah beribadah menurut madzhab Syafi’i, karena fiqih Syafi’i itulah yang baru dipelajarinya sedikit-sedikit. Kemudian ia menemukan satu selebaran yang berisi penjelasan bahwa seorang muslim tidak boleh menetapi satu madzhab tertentu dari empat madzhab –dan barang siapa melakukan hal tersebut, ia menjadi kafir dan tersesat dari garis ajaran Islam– serta bagi dia wajib mengambil hukum Islam langsung dari Kitabullah dan Sunnah. Muallaf tersebut mengaku belum pandai membaca Al-Qur’an, apalagi mengerti maknanya, apalagi mengambil hukum dan kesimpulan langsung. Apakah sesulit itu untuk menjadi seorang muslim? Apa yang harus ia perbuat?
Ternyata, apa yang dialami oleh muallaf tersebut dapat menyangkut jutaan, bahkan ratusan juta penganut Islam [2], apabila fatwa bebas madzhab diterapkan dan orang dipaksa untuk mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mayoritas umat Islam –yang merupakan penganut madzhab– akan terguncang, dan rusaklah sendi-sendi ajaran Islam yang sudah tegak berabad-abad hanya karena pola pikir aneh yang dikembangkan oleh orang-orang yang mengaku mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, tapi ternyata tidak memahami makna suatu ayat dari Al-Qur’an.
Rasulullah SAW telah bersabda: “Pada akhir zaman akan ada segolongan orang yang muda usianya yang berpaham jelek. Mereka berbicara mengambil dari sabda Khairil Bariyyah (Rasulullah SAW) –maksudnya suka berslogan Al-Qur’an dan Al-Hadits– sedang iman mereka tidak sampai kerongkongan. Mereka lepas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Di mana saja kalian bertemu, hadapilah mereka.”(H.R. Imam Bukhari)
Pada suatu ketika –setelah shalat– kami pernah bertanya kepada seseorang yang shalat di samping kami yang terus menerus menggerakkan telunjuknya ketika duduk tahiyyat, “Mengapa anda menggerak-gerakkan telunjuk anda?” Dia menjawab, “Ini adalah sunnah Nabi SAW.” Kami bertanya lagi, “Hadits mana yang menerangkan masalah itu dan bagaimana tingkat kesahihannya, serta bagaimana bunyi nash hadits yang menunjukkan bahwa telunjuk harus digerakkan terus?” Dia menjawab, “Saya tidak mengerti, tapi akan saya tanyakan pada seseorang ….” Kami bertanya lebih jauh, “Tidakkah engkau baca hadits dari Ibnu Umar Ra. bahwasannya Rasulullah SAW apabila duduk tasyahud, beliau meletakkan tangan kiri pada paha kiri dan tangan kanan pada paha kanan, beliau menggenggam lima puluh tiga dan menunjuk dengan jari telunjuknya. (HR Imam Muslim). Bagaimana engkau melakukan sunnah yang ini?” Dia semakin tidak mengerti. Padahal kami belum bertanya tentang hadits dari Ibnu Zubair, bahwasanya Rasulullah SAW biasa menunjuk dengan telunjuk beliau dan tidak menggerak-gerakkannya. (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Hibban)
Sayang sekali bukan? Seandainya ia tahu dan menjawab, “Saya mengikuti fatwa Imam Malik dalam hal ini.” Selesailah masalah dan ia bisa terus beribadah dengan tenang. Imam Malik, berdasarkan hadits dari Wa’il riwayat Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi, berfatwa bahwa sunnah menggerak-gerakkan jari telunjuk ke kiri dan ke kanan (bukan atas bawah) pada waktu duduk tahiyyat.
Ini adalah fenomena generasi muda akhir-akhir ini, yang –maaf– begitu sombong mengaku sebagai yang paling berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sementara mereka tidak tahu makna yang halus dan dalam dari setiap ayat Al-Qur’an dan matan hadits, dan lebih tidak tahu lagi bagaimana harus menyikapi adanya perbedaan ungkapan para shahabat tentang apa yang mereka lihat dari Rasulullah SAW. Para Imam Madzhab dan para ulama-lah yang lebih tahu bagaimana menetapkan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan orang awam seperti kita. Mereka berupaya untuk melepaskan diri dari disebut taqlid kepada para Imam Madzhab, namun mengikatkan diri untuk taqlid kepada orang lain, karena tafsir Qur’an dan Hadits-nya ikut orang tersebut. Pada dasarnya ini persis dengan ungkapan Yusuf Qordhowi yang telah kami tampilkan pada bagian pertama tulisan ini.
Ada juga yang mengaku tidak bermadzhab, tapi mendasarkan amaliahnya pada fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah, Nashiruddin Al-Albani, dan lain-lain. Ini sungguh ironis, karena Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama terkemuka dalam lingkungan madzhab Hambali. Ada baiknya kami kutipkan ucapan dari Syaikh Al-Hafidz Syamsuddin Adz-Dzahabi, murid terkemuka dari Ibnu Taimiyyah: “Adapun ahli fiqih madzhab Syafi’i, tergolong paling cerdik dan paling alim dalam urusan agama. Asas madzhab ini adalah mengikuti hadits yang muttashil, dan imam-imam mereka termasuk pemuka ahli hadits. Bila anda menerapkan madzhab ini untuk urusan agama Allah dan untuk menghilangkan kebodohan diri anda, maka anda termasuk orang yang baik.”[3]
Dr. Yusuf Qordhowi menyatakan bahwa meskipun Ibnu Taimiyah telah mencapai tingkatan mujtahid muthlaq yang bisa diyakini, beliau masih dinisbatkan kepada madzhab Hambali dalam ushul fiqih. Pendapat-pendapat beliau dalam masalah fiqih ini dapat diikuti kalangan madzhab Hambali, karena banyak riwayat dan pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal dan Ulama-ulama Hanabilah, dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang sama.[4]
Ibnul Qoyyim sendiri dalam kitabnya telah menyatakan: “Orang yang taqlid tidak diperbolehkan untuk memfatwakan hasil taqlidnya tentang soal agama Allah, karena ia tidak punya pengetahuan mendalam tentang apa yang ia taqlidi, selain pengertiannya bahwa hal itu adalah fatwa dari orang yang ia taqlidi. Tentang masalah ini, ulama salaf telah sepakat dan juga telah ditegaskan pula oleh Imam Ahmad (bin Hanbal) dan Imam Syafi’i Radhiya Allahu anhuma. Abu ‘Amr Ibn Ash-Shalah, Abu Abdillah al-Halimi (seorang tokoh Asy-Syafi’iyyah), Al-Qadhi Abul Muhsin Ar-Ruyani (pengarang kitab Al-Bahr), dan lain-lainnya telah menetapkan bahwa bagi orang yang taqlid, tidak boleh memfatwakan apa-apa yang ia taqlidi.”[5] Bila orang sekaliber Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim saja masih dinisbatkan kepada imam yang lebih diakui, yaitu Ahmad bin Hambal, maka bisa kita ukur kapasitas ulama kontemporer seperti Yusuf Qardhawi, Nashiruddin Al-Albani, Dr. Qurasiy Shihab, dll. Mereka semua masih belum mencapai kapasitas mujatahid mutlak, melainkan baru tingkatan Ulama fatwa.
Sudah kami jelaskan pada bagian pertama tulisan ini, bahwa fenomena bermadzhab sudah dijalani oleh para shahabat dan para tabi’in. Tampak sekali bahwa bermadzhab telah menjadi manhaj(sistem/metode) yang dipilih dan ditempuh oleh golongan salaf (golongan shahabat dan tabi’in). Merekalah golongan yang harus kita ikuti, karena merekalah yang paling mengerti bagaimana menyikapi ajaran-ajaran yang datang dari Rasulullah SAW. Tidak ada satu pun shahabat maupun tabi’in yang mencela perilaku mengikuti fatwa (bahkan fatwa shahabat atau tabi’in tertentu) yang telah dipraktikkan pada masa itu. Andaikata perilaku bermadzhab ini tercela, tentulah telah ada fatwa yang jelas tentang masalah ini, sejak masa shahabat. Kenyataannya justru menunjukkan bahwa inilah manhaj yang memang harus ditempuh oleh umat Islam, karena inilah yang paling benar dan paling masuk akal.
Baru pada akhir-akhir ini, muncul fatwa yang melarang orang bermadzhab. Fatwa yang bertentangan dengan mayoritas dunia Islam dan mengingkari manhaj salafi yang telah melembagakan perilaku bermadzhab. Landasan fatwanya cuma satu, yaitu bahwa bermadzhab tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW. Bermadzhab adalah barang baru (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat. Pencetus fatwa ini telah merasa bahwa dirinya lebih tahu tentang bagaimana menyikapi Al-Qur’an dan Al-Hadits serta menyikapi cara berfatwa dan perilaku atas fatwa, dibandingkan dengan para shahabat dan tabi’in serta sekalian ulama dunia Islam. Sebuah kesombongan yang luar biasa.
Sebagaimana telah dibahas pada bagian pertama, sumber ajaran dalam Islam, yang utama dan pertama sesungguhnya hanya dua, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi, karena secara detail tidak semua dijelaskan oleh keduanya, maka lahir sumber yang ketiga, yaitu Ar-Ra’yu atau ijtihad. Lahirnya Ar-Ra’yu ini menurut riwayat yang sangat populer, dimulai dari diutusnya Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman. Perhatikan pertanyaan Rasulullah kepada Muadz, “Bagaimana kamu akan memutuskan perkara yang dibawa ke hadapanmu?” Muadz menjawab: “Saya putuskan berdasarkan Kitabullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya?” Muadz menjawab: “Maka saya akan berijtihad (ra’yi) dan saya tidak akan ragu sedikit pun.” Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke dada Muadz dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuatu yang menyenangkan hati Rasulullah.” (HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud)
Hadits ini memberi petunjuk kepada kita bahwa akan banyak masalah yang secara detil tidak dapat kita temukan jawabannya di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah (Al-Hadits), sehingga mengharuskan dilakukannya ijtihad. Hadits ini –dengan demikian– menjadi dasar diperbolehkannya berijtihad dan penggunaan segenap kemampuan intelektual (ar-ra’yu) untuk hal itu. Menafikan hasil ijtihad sama saja dengan menafikan hadits Rasulullah SAW di atas.
Telah juga kami uraikan di muka bahwa Islam telah memberikan petunjuk dalam segala aspek kehidupan secara sempurna, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Maaidah ayat 3:
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam menjadi agama bagimu….”
Kesempurnaan ajaran Islam bukanlah terletak pada penjelasan Al-Qur’an secara rinci terhadap setiap persoalan, melainkan pada kandungannya yang berisi ajaran-ajaran dasar dan pokok. Memang ada juga ayat-ayat yang berbicara secara rinci tentang suatu masalah, namun secara umum ayat Al-Qur’an adalah normatif dan bersifat global. Rasulullah SAW kemudian memberikan penjelasan yang lebih rinci melalui hadits. Namun, dalam bidang muamalah, hadits-hadits Nabi juga tidak memberikan rincian yang bersifat aplikatif. Karena Al-Qur’an dan Hadits lebih banyak memberikan petunjuk-petunjuk dasar –sebagian bahkan tanpa rincian yang memadai– maka para ulama dituntut untuk melakukan ijtihad [6]. Lembaga ijtihad sendiri telah ditetapkan oleh Rasulullah melalui hadits Muadz di atas. Namun begitu, ijtihad baru ditempuh setelah pencarian yang mendalam pada Al-Qur’an dan Hadits.
Ijtihad bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, karena untuk memperoleh kesimpulan hukum yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah diniyyah, diperlukan syarat-syarat yang cukup ketat. Jangankan orang awam, dari kalangan ulama pun tidak semua mampu melakukan ijtihad. Mereka yang tidak mampu berijtihad ini harus mengikuti fatwa (taqlid), dan yang paling “aman” dari taqlid ini adalah mengikuti fatwa madzhab yang sudah teruji keilmiahan dan diniyyahnya.
Penjelasan mengenai perlunya bermadzhab dan kewajibannya bagi orang awam telah kami bahas di bagian pertama tulisan (semoga Allah SWT memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya). Firman Allah SWT dalam surah An-Nahl ayat 43:
“….. Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu (pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.”
Para ulama telah sepakat bahwa ayat di atas merupakan perintah kepada orang yang tidak mengerti hukum dan dalil untuk mengikuti orang yang memahaminya. Seluruh ulama ushul telah menetapkan ayat ini sebagai dasar pertama untuk mewajibkan orang awam agar taqlid kepada mujtahid [7]. Senada dengan ayat di atas adalah firman Allah SWT dalam surah At-Taubah ayat 122:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka, beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya, apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Dalam ayat ini, Allah SWT telah memerintahkan agar segolongan orang mempelajari ilmu agama sehingga mereka dapat memberikan fatwa tentang halal dan haram serta menjelaskan hukum-hukum Allah SWT lainnya [8]. Mereka ini akan berfatwa dan orang-orang akan mengikuti (taqlid) kepada fatwa mereka.
Inilah jalan kebenaran yang sesungguhnya dan telah menjadi pegangan dalam dunia Islam semenjak masa Shahabat hingga sekarang. Golongan salaf telah memberikan contohnya, para ulama madzhab dan para pengikut mereka telah mengaplikasikannya, dan mengikuti jalan pikiran mayoritas umat adalah dianjurkan, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun umatku di atas kesesatan. 'Tangan' Allah bersama jama’ah. Barang siapa menyempal, ia menyempal ke Neraka.” (H.R. Imam Tirmidzi)
Mungkin hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman ra. berikut ini dapat membuka mata para penentang madzhab bahwa Rasulullah SAW telah menetapkan adanya para imam untuk diikuti: “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedangkan saya (Hudzaifah) bertanya tentang keburukan: .... saya bertanya lagi, ‘Setelah kebaikan itu, apakah ada kejelekan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, ada, yaitu para penganjur di tepi pintu-pintu jahannam. Barang siapa mengikutinya, mereka akan menjerumuskan ke dalamnya.’ Saya berkata, ‘Ya Rasulallah, terangkanlah kepada kami bagaimana keadaan mereka itu?’ Beliau menjawab, ‘Mereka termasuk golongan kita dan berbicara dengan kata-kata kita.’ Saya bertanya lagi, ‘Apa yang engkau perintahkan bila kami kelak menjumpai masa itu?’ Nabi SAW menjawab, ‘Engkau harus menetapi jamaah kaum muslimin dan para imam mereka.'” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Berikut ini adalah alasan logis tambahan dalam masalah ini (mengapa kita memilih bermadzhab):
- Umat Islam telah sepakat, bahwa untuk memahami, mengetahui, dan mengamalkan syariat Islam dengan benar, harus mengikuti orang-orang terdahulu. Para tabi’in mengikuti atau berpegang kepada amaliah para sahabat Nabi. Sebagaimana generasi sesudah tabi’in, maka setiap generasi selalu mengikuti generasi sebelumnya. Akal yang sehat akan menunjukkan kebaikan sistem yang demikian ini, sebab syariat Islam tidak dapat diketahui, kecuali dengan jalan naql (transmisi). Sedang istinbath hukum naqal tidak akan lurus, kecuali bila setiap generasi mengambil dari generasi sebelumnya secara muttashil (bersambung).
- Tidak ada satu pun orang yang dapat dengan persis menggambarkan apa yang diperbuat oleh Rasulullah SAW atau menjelaskan dengan pasti mengenai apa yang dimaksud oleh suatu ayat Al-Qur’an dan sabda Rasulullah SAW sehingga dapat mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar dalam mencontoh Nabi atau menyikapi dan mengaplikasikan ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW.
- Nabi memerintahkan kepada ummatnya agar mengikuti al-sawad al-a’dham (kelompok mayoritas). Tatkala madhzab-madhzab yang benar telah punah kecuali tinggal madhzab empat, maka mengikutinya sama dengan mengikuti al-sawad al-a’dham dan menyempal dari padanya sama dengan menyempal dari al-sawad al-a’dham.
- Manakala zaman telah jauh dari masa Nabi dan amanah tidak lagi dijunjung tinggi, maka kita harus waspada dari pendapat ulam su’, baik qadli maupun mufti, yang berpendapat menurut hawa nafsunya.
Pada akhir-akhir ini kita menemukan fenomena penentangan metode bermadzhab dengan alasan yang sangat sederhana, yaitu bahwa hal tersebut tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW, tanpa ada pengkajian yang mendalam. Dasarnya adalah “pokoknya”, pokoknya tidak ada pada masa Nabi, pokoknya bid’ah, pokoknya sesat, pokoknya kamilah yang benar, dan lain-lain. Para pengikut paham ini lupa bahwa mushaf Al-Qur’an tidak dikenal pada masa Nabi SAW, madrasah tidak dikenal pada masa Nabi SAW, dan berbagai bentuk pengajian maupun metode dakwah sekarang ini juga banyak yang tidak dikenal pada masa Nabi SAW. Mereka tidak bisa membedakan bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat. Sering kita dapati mereka suka menentang (dan memburuk-burukkan) para imam dan para ulama di berbagai masjid, bahkan di jalan-jalan. Mereka mempertentangkan ijtihad Imam Syafi’i dan Imam Hanafi, menyepelekan orang yang taqlid kepada imam Mujtahid, dan senantiasa menyatakan bahwa pegangan mereka adalah Al-Kitab dan As-Sunnah. Akan tetapi, mereka ini orang-orang awam. Cobalah meminta mereka untuk membaca tiga ayat saja dan memberikan penjelasan tentang isinya, niscaya kita akan mendengar bacaan mereka yang salah dan semrawut. Mereka juga akan segera mengemukakan berbagai alasan untuk menutupi ketidakmampuan mereka memberikan penjelasan. (Renungkan hadits Nabi SAW –mengenai orang muda berpaham jelek– di atas. Hadits itu kini sudah terbukti?)
Orang-orang ini menyatakan bahwa tidak menetapi madzhab adalah yang paling mudah dan menuntut yang paling asal dan paling mendekati kebenaran dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits. Mereka lupa bahwa untuk dapat memutuskan mana yang paling asal dan paling mendekati kebenaran dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits haruslah menguasai ilmunya atau menjadi mujtahid. Sudah jelas bahwa Allah tidak menyuruh demikian (lihat Surah At-Taubah ayat 122 di atas), karena tidak semua orang adalah alim, dan karena hanya sebagian saja yang punya kemampuan berfatwa dan sebagian kecil saja yang punya persyaratan untuk menjadi mujtahid. Mereka juga lupa bahwa untuk memutuskan mana yang paling asal dan paling mendekati kebenaran, mereka senantiasa mengacu atau mengutip pendapat ulama tertentu (dan pasti bukan hasil pemikirannya sendiri), yang berarti mengikuti pendapat bersangkutan dalam masalah yang dihadapi, mengikuti tafsir dan cara berpikir orang tersebut, termasuk hukum yang dipilih. Lucunya mereka tak mau disebut demikian.
Mereka juga lupa bahwa klaim paling benar, meskipun sudah melakukan penelitian yang mendalam menyangkut Al-Qur’an dan Al-Hadits, tidak dapat dibenarkan. Setiap fatwa mempunyai kebenarannya sendiri, dan apabila ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang kesemuanya disandarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan, maka masing-masing fatwa juga mempunyai kebenaran, di mana tak seorang pun dapat menjamin bahwa fatwanyalah yang paling benar. Kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT. Bermadzhab tidak dilarang, yang dilarang adalah fanatik terhadap madzhab atau fatwa-fatwa yang dipeganginya. Kini, siapakah yang paling fanatik dalam memegang pendapatnya, tanpa mau mendegarkan penjelasan dan uraian orang lain?
Ada juga yang membawa-bawa perkataan Imam Syafi’i ra. bahwa bila hadits itu shahih, maka itulah madzhabnya. Ini bukan berarti bahwa kalau melihat suatu hadits yang shahih, seseorang boleh menyatakan bahwa itu adalah madzhab Syafi’i dan boleh diamalkan menurut lahirnya. Apa yang disebutkan oleh Imam Syafi’i itu hanya ditujukan bagi orang yang sudah mencapai derajat ijtihad dalam madzhab Syafi’i. Adapun syaratnya adalah ia harus mempunyai sangkaan yang kuat bahwa Imam Syafi’i belum pernah menemukan hadits tersebut atau tidak mengetahui kalau hadits itu shahih. Dari mana kita tahu hal-hal semacam ini? Untuk mengetahui hal itu, kita harus menelaah semua kitab Imam Syafi’i dan kitab-kitab para ulama pengikutnya. Seluas dan setinggi itukah ilmu kita? Sudah tentu hal ini sangat sulit dan jarang dapat dipenuhi.
Ada yang mengemukakan buku-buku tulisan para ulama yang muncul belakangan yang menampilkan studi kritis mengenai fatwa-fatwa imam madzhab, menunjukkan ini sudah sesuai dengan As-Sunnah dan itu belum sesuai dengan As-Sunnah, ini benar dan itu bid’ah, dan sebagainya. Sudah jelas bahwa orang-orang muda ini hanya mengikut dan tidak mempunyai pendapat sendiri. Mereka mengikuti tulisan-tulisan orang-orang akhir zaman dan menelan bulat-bulat dzahir tulisan (makna lahiriah) tanpa mau melakukan studi banding tentang integritas keulamaan dari yang mengomentari dan yang dikomentari. Sudah taqlid buta, menyalah-nyalahkan orang, membid’ahkan orang dengan ilmu yang terbatas, dan secara sombong dan fanatik menganggap pendapat yang diikutinya sebagai yang paling benar. Na’udzu bi Allah.
Inilah bukti nyata dari sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah tidak mematikan ilmu dengan cara mencabutnya dari dada para ulama, akan tetapi Allah mematikan ilmu dengan mematikan para ulamanya, jika telah tiada orang alim maka manusia akan mengangkat pemimpin orang-orang yang bodoh. Ketika ditanya mereka memberikan fatwanya tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari Muslim)
Berikut ini beberapa cerita lucu berkaitan dengan penggunaan dalil yang tidak semestinya, karena yang berdalil bukanlah orang yang menguasai ilmu agama dengan baik.
1. Pada masa Khalifah Al-Mutawakkil (822-861M) ada seorang laki-laki yang mengaku sebagai Nabi dengan dalil surah An-Nashr ayat 1: ”Apabila datang Nashrullah dan kemenangan”.
Ia berkata, ”Nama saya Nashrullah.” Ia pun ditertawakan banyak orang.
2. Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, mengaku sebagai nabi dengan dalil surah As-Shaff ayat 6: ”Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata.”
Ia berkata: ”Ahmad yang dimaksud dalam ayat itu adalah saya.”
3. Ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak mengikut madzhab melainkan berijtihad sendiri saja langsung dari Al-Qur’an. Ia dengan bangga mengatakan bahwa ia hanya shalat Jum’at dan Tahajjud (tanpa shalat lima waktu), karena menurutnya hanya itu yang terdapat dalam Al-Qur’an, lain tidak.
4. Ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak mengikut madzhab melainkan berijtihad sendiri saja langsung dari Al-Qur’an dan Hadits. Di bulan Ramadhan, ia menyuruh orang menyelesaikan sahurnya yang belum selesai, meski adzan shubuh sudah terdengar.
5. Ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak mengikut madzhab melainkan berijtihad sendiri saja langsung dari Al-Qur’an dan Hadits. Ia melarang makmum membaca surah Al-Fatihah, berdasarkan Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 204: ”Apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat.”
Diajukan kepadanya hadits dari Ubadah bin Shamit, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah shalat sesorang yang tidak membaca surah Al-Fatihah.” (H.R. Bukhari Muslim)
Juga hadits dari Dari Abu Hurairah R.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barang siapa shalat tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) maka shalatnya tidah sempurna (tidak sah) – tiga kali – tidak sempurna.” Ada yang menanyakan hal ini kepada Abu Hurairah: “Sesungguhnya kami berada di belakang imam.” Abu Hurairah menjawab: “Bacalah dengan pelan!” (H.R. Imam Muslim)
Juga hadits dari Ubadah bin Shamit, ia berkata: “Adalah kami shalat shubuh di belakang Rasulullah SAW …. Sesudah shalat, beliau bertanya: ‘Apakah kalian membaca sesuatu di belakang imam kalian?’ Mereka menjawab: ‘Ya’. Nabi bersabda: ‘Janganlah membaca, kecuali Al-Fatihah. Maka sesungguhnya tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surah Al-Fatihah’.” (H.R. Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Hibban)
Juga hadits dari Ubadah bin Shamit, ia berkata: “Adalah kami shalat di belakang Rasulullah SAW pada waktu shalat yang dikeraskan bacaannya. Beliau SAW (setelah shalat) bersabda: ‘Janganlah seseorang dari kalian membaca sesuatu ketika saya keraskan bacaan, kecuali Ummul Qur’an (Al-Fatihah)’.” (H.R. Imam Nasa’i)
Ia kemudian kelabakan dan mengatakan bahwa ia mengikuti Kitab Shifat Shalat Nabi yang ditulis oleh Ahli Hadits Syaikh Nashiruddin Al-Albani. (Padahal tadinya ia berkata bahwa ia tidak bermadzhab dan mengambil langsung dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi)
Kalau dia mau membaca Kitab aslinya, maka dia akan tahu bahwa Syaikh Al-Albani telah menguraikan pendapat-pendapat Imam Madzhab dan bahwa ia lebih cenderung kepada pendapat Imam Hanafi (madzhab yang dianut ayahnya) karena itulah yang benar menurut analisisnya atas dalil-dalil. Jadi bukan hasil analisis orang tersebut atas dalil-dalil.
6. Ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak mengikut madzhab melainkan berijtihad sendiri saja langsung dari Al-Qur’an dan Hadits. Ia menyuruh orang menggerak-gerakkan jari ke atas ke bawah sepanjang duduk Tahiyyat berdasarkan hadits dari Wa’il bin Hujr. (HR Ahmad, An-Nasa'i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Baihaqi)
Padahal dalam hadits tersebut sama sekali tidak disebutkan bahwa gerakan telunjuk jari Nabi SAW adalah ke atas dan ke bawah. Ia mengarang saja gerakan, padahal tidak ada dalam hadits. Ia juga tidak belajar bahwa Imam Baihaqi (perawi hadits) telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menggerakkan itu adalah menggerakkan sekali saja pada saat Tasyahud (membaca Syahadat), bukan menggerakkannya terus-menerus sepanjang Tahiyyat. Ia juga tidak membaca hadits dari Dari Abdullah Ibnuz Zubair, bahwasanya Rasulullah SAW (apabila duduk tasyahud) menunjuk dengan jari telunjuknya dan tidak menggerak-gerakkannya. (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i, dan Ibnu Hibban)
Ia kemudian mengajukan buku terjemahan yang di dalamnya ada hadits dari Ibnu Umar, bahwasanya menggerak-gerakkan jari (telunjuk) pada waktu Shalat adalah pukulan bagi syaitan.
Dalam buku itu disebutkan bahwa hadits itu adalah shahih. Padahal hadits tersebut adalah hadits dha’if.
Kita bisa menemukan berbagai fenomena berbahaya tersebut, bagaimana orang mengaku telah berdalil langsung dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, ternyata ia adalah orang yang taqlid, termasuk mengenai derajat suatu hadits, dan dapat kita lihat juga bagaimana dalil-dalil disalahgunakan oleh orang yang tidak cukup ilmunya untuk mengambil dalil langsung dari Al-Qur’an dan Hadits.
Ada sebuah pertanyaan mendasar, “Apa yang akan terjadi seandainya semua orang Islam dilarang bermadzhab dan membiarkan semua individu untuk melakukan ijtihad?”
Pertanyaan ini sebenarnya senada dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Apa yang terjadi apabila semua orang dilarang pergi ke dokter apabila sakit dan mengatur sendiri saja pengobatan dirinya?
2. Apa yang terjadi apabila semua orang mengabaikan semua petunjuk dan aturan yang telah ditetapkan oleh para ahli teknik dan insinyur dalam masalah-masalah teknik?
3. Apa yang terjadi apabila semua orang dilarang mengikuti aturan main dan petunjuk setiap orang yang ahli di bidangnya masing-masing?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mempunyai jawaban yang jelas, yaitu kekacauan, kesemrawutan, dan kerusakan total dalam kehidupan ini, karena manusia telah dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya tanpa memperdulikan berbagai persyaratan yang seharusnya dipenuhi. Hal ini jelas melanggar sunnah Allah SWT dalam alam ini, yaitu bahwa manusia mesti saling memberi dan menerima, saling belajar, dan semua mempunyai keahlian dan kelebihan yang berbeda-beda. Apabila semua manusia terjun ke dalam masalah teliti meneliti hukum, berbicara bebas tentang halal dan haram, mengambil hukum langsung dari sumbernya tanpa kemampuan yang memadai, kita dapat membayangkan tatanan masyarakat macam apa yang akan muncul.
Beberapa fenomena di atas, dan juga beberapa fenomena belakangan ini seharusnya menyadarkan kita tentang bahaya bebas madzhab ini:
a. Di Amerika telah diselenggarakan sholat Jum’at dengan khotib dan imam perempuan. Mereka mengaku mempunyai dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mereka menolak metode pengambilan hukum yang telah dibangun oleh para imam madzhab dan lihatlah hasilnya.
b. Di Mesir, penjajah Inggris telah menanamkan benih-benih pikiran ijtihad kepada setiap orang. Hasilnya adalah perubahan undang-undang tentang hubungan keluarga muslim, seperti poligami, hak talak, persamaan hak laki-laki dan wanita (khususnya dalam masalah warisan), menentang hijab laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.
c. Fenomena serupa juga terjadi di negara kita, terlebih dengan munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang menawarkan metode dan manhaj baru dalam penggalian dan pengambilan hukum agama. Fenomena ini telah kita semua karena cara mereka yang revolusioner telah menyimpang jauh dari kaidah umum agama dan lebih didorong oleh nafsu duniawi.
d. Di Malang, Jawa Timur, baru-baru ini ada orang yang mengaku kyai yang mengajarkan shalat dengan menggunakan terjemah bahasa Indonesia. Ia juga mengaku mempunyai dasar dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika ia mengikuti metode para imam madzhab yang bersih dan sudah teruji, tentu ia tidak akan terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang dialaminya.
e. Ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits Rasulullah SAW diperdebatkan oleh orang-orang yang tidak bisa berbahasa Arab, tidak memahami kaedah bahasa Arab, tidak menguasai asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, orang-orang yang tidak menguasai ilmu tafsir maupun musthalah hadits, dan orang-orang yang tidak menguasai ilmu ushul maupun kaedah fiqih. Hasil kesimpulan mereka berbeda-beda dan mereka merasa telah menemukan ”sesuatu yang baru”, yang sebenarnya telah menjadi kajian para Ulama sejak berabad silam. Mereka tidak tahu, tidak paham, dan salah persepsi, namun mereka merasa tahu, merasa paling mengerti, dan merasa jalan pikirannyalah yang paling benar.
Ini semua adalah bid’ah yang nyata, yang timbul sebagai akibat kita membiarkan pintu ijtihad dibuka untuk orang-orang yang bukan ahlinya. Apabila kita memaksa setiap orang Islam untuk melakukan ijtihad dan meneliti dengan cermat dalil-dalil dari semua masalah dan menjauhkan mereka dari kitab-kitab yang telah dengan gamblang mengkodifikasikan hukum halal-haram, dalam waktu singkat kita akan menemukan bahwa syariat Islam hanya akan tinggal nama, tidak ada wujudnya. Apabila setelah kita jauhkan mereka dari seluruh kitab madzhab kemudian kita paksa mereka untuk mengikuti kitab-kitab lain yang dikarang oleh ulama lain pula, kita sebenarnya tidak melakukan apa pun selain mengalihkan mereka dari taqlid kepada madzhab empat ke madzhab yang baru. Perbuatan ini tidak mempunyai nilai apa pun, kecuali hanya didorong oleh rasa hasud dan iri hati kepada keempat imam madzhab dan pengikut mereka, di samping –mungkin– agar ijtihad orang lain mendapat pasaran dalam masyarakat luas.
Tidaklah salah apabila Dr. Said Ramadhan Al-Buthi menyatakan bahwa Paham bebas madzhab termasuk bid’ah yang paling berbahaya bagi syariat Islam, karena dapat mengancam keseluruhan bangunan ajaran Islam yang sudah tegak berabad-abad lamanya. Semoga Allah senantiasa memberi hidayah dan bimbingan kepada kita semua.
Wa Allah A’lam bi ash-Showaab.
Al-Faqiir Ilaa Rahmati Rabbihi al-Ghaffaar
H.M. Dawud Arif Khan
Keterangan:
[1] Al-Muwaththa adalah Kitab karya Imam Malik yang menjadi kitab induk Madzhab Maliki. Beliau telah membawa kitab tersebut ke hadapan 70 ulama paling terkemuka pada masa itu untuk diteliti dan mendapatkan respon positif dari seluruh ulama tersebut. (Hal ini menunjukkan bahwa seluruh isi kitab itu telah merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah)
[2] 85% lebih penganut Islam termasuk dalam kategori awam (belum mempunyai kapasitas untuk mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Al-Hadits)
[3] Ucapan Adz-Dzahabi dalam Kitabnya Risalah Zughlul Ilmi Wath-Thalab.
[4] Dr. Yusuf Qordhowi. Al-Fatawa Baina al-Indlibath wa at-Tasayyub. Dar Ash-shahwah, Cairo , 1988.
[5] Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah. I’lam al-Muwaqi’iin. Juz IV, hal 175.
[6] Al-Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad. Irsyad al-Fukhul. Beirut : Daar al-Fikr, hal. 250.
[7] Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. Allaa Madzhabiyyah Akhtharu Bid’ah Tuhaddidu Asy-Syariah Al-Islamiyyah. Mesir: Daar an-Nahdlah, 1978. hal 84.
[8] Imam Al-Qurthubi. Al-Jaami’ li Ahkaam Al-Qur’an. Jilid VIII, hal. 293-294.
Hal-Hal Yang Perlu Diluruskan
Disusun oleh : Dr.H.M.Dawud Arif KhanI. Pendahuluan
Kita tidak mungkin menyatukan hati umat –khususnya para cendekiawan– untuk berjuang bersama mengatasi masalah umat, apabila semua pihak tidak dapat menerima adanya perbedaan pendapat (dalam masalah syariat) sebagai suatu keniscayaan. Menolak perbedaan pendapat dan upaya menyatukan orang dalam satu fatwa untuk setiap masalah agama adalah tindakan sia-sia dan lebih banyak madharatnya dari pada maslahatnya bagi umat. Adalah suatu keajaiban apabila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat dan sikap dalam masalah furu’.
Perbedaan fatwa sudah terjadi, bahkan sejak zaman shahabat, dan terlebih lagi pada masa-masa berikutnya. Fenomena ini telah dibahas berabad-abad yang silam, antara lain ketika Sultan Harun Ar-Rasyid meminta ijin kepada Imam Malik untuk menggantungkan kitab Al-Muwaththa’[1] di Ka’bah dan memaksa rakyat agar mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab: “Jangan lakukan itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih pendapat dalam masalah furu’, apalagi mereka telah berpencar ke berbagai negeri.”
Jawaban Imam Malik ini memberi pelajaran kepada kita sebagai sesuatu yang positif dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam agama, apabila segala sesuatunya telah dilarikan dan disandarkan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
II. Fenomena Baru: Ajaran Bebas Madzhab
Suatu ketika, seorang muallaf (orang yang baru memeluk Islam) di Damaskus bercerita bahwa ia telah beribadah menurut madzhab Syafi’i, karena fiqih Syafi’i itulah yang baru dipelajarinya sedikit-sedikit. Kemudian ia menemukan satu selebaran yang berisi penjelasan bahwa seorang muslim tidak boleh menetapi satu madzhab tertentu dari empat madzhab –dan barang siapa melakukan hal tersebut, ia menjadi kafir dan tersesat dari garis ajaran Islam– serta bagi dia wajib mengambil hukum Islam langsung dari Kitabullah dan Sunnah. Muallaf tersebut mengaku belum pandai membaca Al-Qur’an, apalagi mengerti maknanya, apalagi mengambil hukum dan kesimpulan langsung. Apakah sesulit itu untuk menjadi seorang muslim? Apa yang harus ia perbuat?
Ternyata, apa yang dialami oleh muallaf tersebut dapat menyangkut jutaan, bahkan ratusan juta penganut Islam [2], apabila fatwa bebas madzhab diterapkan dan orang dipaksa untuk mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mayoritas umat Islam –yang merupakan penganut madzhab– akan terguncang, dan rusaklah sendi-sendi ajaran Islam yang sudah tegak berabad-abad hanya karena pola pikir aneh yang dikembangkan oleh orang-orang yang mengaku mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, tapi ternyata tidak memahami makna suatu ayat dari Al-Qur’an.
Rasulullah SAW telah bersabda: “Pada akhir zaman akan ada segolongan orang yang muda usianya yang berpaham jelek. Mereka berbicara mengambil dari sabda Khairil Bariyyah (Rasulullah SAW) –maksudnya suka berslogan Al-Qur’an dan Al-Hadits– sedang iman mereka tidak sampai kerongkongan. Mereka lepas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Di mana saja kalian bertemu, hadapilah mereka.”(H.R. Imam Bukhari)
Pada suatu ketika –setelah shalat– kami pernah bertanya kepada seseorang yang shalat di samping kami yang terus menerus menggerakkan telunjuknya ketika duduk tahiyyat, “Mengapa anda menggerak-gerakkan telunjuk anda?” Dia menjawab, “Ini adalah sunnah Nabi SAW.” Kami bertanya lagi, “Hadits mana yang menerangkan masalah itu dan bagaimana tingkat kesahihannya, serta bagaimana bunyi nash hadits yang menunjukkan bahwa telunjuk harus digerakkan terus?” Dia menjawab, “Saya tidak mengerti, tapi akan saya tanyakan pada seseorang ….” Kami bertanya lebih jauh, “Tidakkah engkau baca hadits dari Ibnu Umar Ra. bahwasannya Rasulullah SAW apabila duduk tasyahud, beliau meletakkan tangan kiri pada paha kiri dan tangan kanan pada paha kanan, beliau menggenggam lima puluh tiga dan menunjuk dengan jari telunjuknya. (HR Imam Muslim). Bagaimana engkau melakukan sunnah yang ini?” Dia semakin tidak mengerti. Padahal kami belum bertanya tentang hadits dari Ibnu Zubair, bahwasanya Rasulullah SAW biasa menunjuk dengan telunjuk beliau dan tidak menggerak-gerakkannya. (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Hibban)
Sayang sekali bukan? Seandainya ia tahu dan menjawab, “Saya mengikuti fatwa Imam Malik dalam hal ini.” Selesailah masalah dan ia bisa terus beribadah dengan tenang. Imam Malik, berdasarkan hadits dari Wa’il riwayat Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi, berfatwa bahwa sunnah menggerak-gerakkan jari telunjuk ke kiri dan ke kanan (bukan atas bawah) pada waktu duduk tahiyyat.
Ini adalah fenomena generasi muda akhir-akhir ini, yang –maaf– begitu sombong mengaku sebagai yang paling berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sementara mereka tidak tahu makna yang halus dan dalam dari setiap ayat Al-Qur’an dan matan hadits, dan lebih tidak tahu lagi bagaimana harus menyikapi adanya perbedaan ungkapan para shahabat tentang apa yang mereka lihat dari Rasulullah SAW. Para Imam Madzhab dan para ulama-lah yang lebih tahu bagaimana menetapkan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan orang awam seperti kita. Mereka berupaya untuk melepaskan diri dari disebut taqlid kepada para Imam Madzhab, namun mengikatkan diri untuk taqlid kepada orang lain, karena tafsir Qur’an dan Hadits-nya ikut orang tersebut. Pada dasarnya ini persis dengan ungkapan Yusuf Qordhowi yang telah kami tampilkan pada bagian pertama tulisan ini.
Ada juga yang mengaku tidak bermadzhab, tapi mendasarkan amaliahnya pada fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah, Nashiruddin Al-Albani, dan lain-lain. Ini sungguh ironis, karena Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama terkemuka dalam lingkungan madzhab Hambali. Ada baiknya kami kutipkan ucapan dari Syaikh Al-Hafidz Syamsuddin Adz-Dzahabi, murid terkemuka dari Ibnu Taimiyyah: “Adapun ahli fiqih madzhab Syafi’i, tergolong paling cerdik dan paling alim dalam urusan agama. Asas madzhab ini adalah mengikuti hadits yang muttashil, dan imam-imam mereka termasuk pemuka ahli hadits. Bila anda menerapkan madzhab ini untuk urusan agama Allah dan untuk menghilangkan kebodohan diri anda, maka anda termasuk orang yang baik.”[3]
Dr. Yusuf Qordhowi menyatakan bahwa meskipun Ibnu Taimiyah telah mencapai tingkatan mujtahid muthlaq yang bisa diyakini, beliau masih dinisbatkan kepada madzhab Hambali dalam ushul fiqih. Pendapat-pendapat beliau dalam masalah fiqih ini dapat diikuti kalangan madzhab Hambali, karena banyak riwayat dan pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal dan Ulama-ulama Hanabilah, dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang sama.[4]
Ibnul Qoyyim sendiri dalam kitabnya telah menyatakan: “Orang yang taqlid tidak diperbolehkan untuk memfatwakan hasil taqlidnya tentang soal agama Allah, karena ia tidak punya pengetahuan mendalam tentang apa yang ia taqlidi, selain pengertiannya bahwa hal itu adalah fatwa dari orang yang ia taqlidi. Tentang masalah ini, ulama salaf telah sepakat dan juga telah ditegaskan pula oleh Imam Ahmad (bin Hanbal) dan Imam Syafi’i Radhiya Allahu anhuma. Abu ‘Amr Ibn Ash-Shalah, Abu Abdillah al-Halimi (seorang tokoh Asy-Syafi’iyyah), Al-Qadhi Abul Muhsin Ar-Ruyani (pengarang kitab Al-Bahr), dan lain-lainnya telah menetapkan bahwa bagi orang yang taqlid, tidak boleh memfatwakan apa-apa yang ia taqlidi.”[5] Bila orang sekaliber Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim saja masih dinisbatkan kepada imam yang lebih diakui, yaitu Ahmad bin Hambal, maka bisa kita ukur kapasitas ulama kontemporer seperti Yusuf Qardhawi, Nashiruddin Al-Albani, Dr. Qurasiy Shihab, dll. Mereka semua masih belum mencapai kapasitas mujatahid mutlak, melainkan baru tingkatan Ulama fatwa.
Sudah kami jelaskan pada bagian pertama tulisan ini, bahwa fenomena bermadzhab sudah dijalani oleh para shahabat dan para tabi’in. Tampak sekali bahwa bermadzhab telah menjadi manhaj(sistem/metode) yang dipilih dan ditempuh oleh golongan salaf (golongan shahabat dan tabi’in). Merekalah golongan yang harus kita ikuti, karena merekalah yang paling mengerti bagaimana menyikapi ajaran-ajaran yang datang dari Rasulullah SAW. Tidak ada satu pun shahabat maupun tabi’in yang mencela perilaku mengikuti fatwa (bahkan fatwa shahabat atau tabi’in tertentu) yang telah dipraktikkan pada masa itu. Andaikata perilaku bermadzhab ini tercela, tentulah telah ada fatwa yang jelas tentang masalah ini, sejak masa shahabat. Kenyataannya justru menunjukkan bahwa inilah manhaj yang memang harus ditempuh oleh umat Islam, karena inilah yang paling benar dan paling masuk akal.
Baru pada akhir-akhir ini, muncul fatwa yang melarang orang bermadzhab. Fatwa yang bertentangan dengan mayoritas dunia Islam dan mengingkari manhaj salafi yang telah melembagakan perilaku bermadzhab. Landasan fatwanya cuma satu, yaitu bahwa bermadzhab tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW. Bermadzhab adalah barang baru (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat. Pencetus fatwa ini telah merasa bahwa dirinya lebih tahu tentang bagaimana menyikapi Al-Qur’an dan Al-Hadits serta menyikapi cara berfatwa dan perilaku atas fatwa, dibandingkan dengan para shahabat dan tabi’in serta sekalian ulama dunia Islam. Sebuah kesombongan yang luar biasa.
III. Mengambil Jalan Kebenaran
Sebagaimana telah dibahas pada bagian pertama, sumber ajaran dalam Islam, yang utama dan pertama sesungguhnya hanya dua, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi, karena secara detail tidak semua dijelaskan oleh keduanya, maka lahir sumber yang ketiga, yaitu Ar-Ra’yu atau ijtihad. Lahirnya Ar-Ra’yu ini menurut riwayat yang sangat populer, dimulai dari diutusnya Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman. Perhatikan pertanyaan Rasulullah kepada Muadz, “Bagaimana kamu akan memutuskan perkara yang dibawa ke hadapanmu?” Muadz menjawab: “Saya putuskan berdasarkan Kitabullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya?” Muadz menjawab: “Maka saya akan berijtihad (ra’yi) dan saya tidak akan ragu sedikit pun.” Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke dada Muadz dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuatu yang menyenangkan hati Rasulullah.” (HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud)
Hadits ini memberi petunjuk kepada kita bahwa akan banyak masalah yang secara detil tidak dapat kita temukan jawabannya di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah (Al-Hadits), sehingga mengharuskan dilakukannya ijtihad. Hadits ini –dengan demikian– menjadi dasar diperbolehkannya berijtihad dan penggunaan segenap kemampuan intelektual (ar-ra’yu) untuk hal itu. Menafikan hasil ijtihad sama saja dengan menafikan hadits Rasulullah SAW di atas.
Telah juga kami uraikan di muka bahwa Islam telah memberikan petunjuk dalam segala aspek kehidupan secara sempurna, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Maaidah ayat 3:
... الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ...
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam menjadi agama bagimu….”
Kesempurnaan ajaran Islam bukanlah terletak pada penjelasan Al-Qur’an secara rinci terhadap setiap persoalan, melainkan pada kandungannya yang berisi ajaran-ajaran dasar dan pokok. Memang ada juga ayat-ayat yang berbicara secara rinci tentang suatu masalah, namun secara umum ayat Al-Qur’an adalah normatif dan bersifat global. Rasulullah SAW kemudian memberikan penjelasan yang lebih rinci melalui hadits. Namun, dalam bidang muamalah, hadits-hadits Nabi juga tidak memberikan rincian yang bersifat aplikatif. Karena Al-Qur’an dan Hadits lebih banyak memberikan petunjuk-petunjuk dasar –sebagian bahkan tanpa rincian yang memadai– maka para ulama dituntut untuk melakukan ijtihad [6]. Lembaga ijtihad sendiri telah ditetapkan oleh Rasulullah melalui hadits Muadz di atas. Namun begitu, ijtihad baru ditempuh setelah pencarian yang mendalam pada Al-Qur’an dan Hadits.
Ijtihad bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, karena untuk memperoleh kesimpulan hukum yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah diniyyah, diperlukan syarat-syarat yang cukup ketat. Jangankan orang awam, dari kalangan ulama pun tidak semua mampu melakukan ijtihad. Mereka yang tidak mampu berijtihad ini harus mengikuti fatwa (taqlid), dan yang paling “aman” dari taqlid ini adalah mengikuti fatwa madzhab yang sudah teruji keilmiahan dan diniyyahnya.
Penjelasan mengenai perlunya bermadzhab dan kewajibannya bagi orang awam telah kami bahas di bagian pertama tulisan (semoga Allah SWT memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya). Firman Allah SWT dalam surah An-Nahl ayat 43:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ...
“….. Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu (pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.”
Para ulama telah sepakat bahwa ayat di atas merupakan perintah kepada orang yang tidak mengerti hukum dan dalil untuk mengikuti orang yang memahaminya. Seluruh ulama ushul telah menetapkan ayat ini sebagai dasar pertama untuk mewajibkan orang awam agar taqlid kepada mujtahid [7]. Senada dengan ayat di atas adalah firman Allah SWT dalam surah At-Taubah ayat 122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka, beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya, apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Dalam ayat ini, Allah SWT telah memerintahkan agar segolongan orang mempelajari ilmu agama sehingga mereka dapat memberikan fatwa tentang halal dan haram serta menjelaskan hukum-hukum Allah SWT lainnya [8]. Mereka ini akan berfatwa dan orang-orang akan mengikuti (taqlid) kepada fatwa mereka.
Inilah jalan kebenaran yang sesungguhnya dan telah menjadi pegangan dalam dunia Islam semenjak masa Shahabat hingga sekarang. Golongan salaf telah memberikan contohnya, para ulama madzhab dan para pengikut mereka telah mengaplikasikannya, dan mengikuti jalan pikiran mayoritas umat adalah dianjurkan, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun umatku di atas kesesatan. 'Tangan' Allah bersama jama’ah. Barang siapa menyempal, ia menyempal ke Neraka.” (H.R. Imam Tirmidzi)
Mungkin hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman ra. berikut ini dapat membuka mata para penentang madzhab bahwa Rasulullah SAW telah menetapkan adanya para imam untuk diikuti: “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedangkan saya (Hudzaifah) bertanya tentang keburukan: .... saya bertanya lagi, ‘Setelah kebaikan itu, apakah ada kejelekan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, ada, yaitu para penganjur di tepi pintu-pintu jahannam. Barang siapa mengikutinya, mereka akan menjerumuskan ke dalamnya.’ Saya berkata, ‘Ya Rasulallah, terangkanlah kepada kami bagaimana keadaan mereka itu?’ Beliau menjawab, ‘Mereka termasuk golongan kita dan berbicara dengan kata-kata kita.’ Saya bertanya lagi, ‘Apa yang engkau perintahkan bila kami kelak menjumpai masa itu?’ Nabi SAW menjawab, ‘Engkau harus menetapi jamaah kaum muslimin dan para imam mereka.'” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Berikut ini adalah alasan logis tambahan dalam masalah ini (mengapa kita memilih bermadzhab):
- Umat Islam telah sepakat, bahwa untuk memahami, mengetahui, dan mengamalkan syariat Islam dengan benar, harus mengikuti orang-orang terdahulu. Para tabi’in mengikuti atau berpegang kepada amaliah para sahabat Nabi. Sebagaimana generasi sesudah tabi’in, maka setiap generasi selalu mengikuti generasi sebelumnya. Akal yang sehat akan menunjukkan kebaikan sistem yang demikian ini, sebab syariat Islam tidak dapat diketahui, kecuali dengan jalan naql (transmisi). Sedang istinbath hukum naqal tidak akan lurus, kecuali bila setiap generasi mengambil dari generasi sebelumnya secara muttashil (bersambung).
- Tidak ada satu pun orang yang dapat dengan persis menggambarkan apa yang diperbuat oleh Rasulullah SAW atau menjelaskan dengan pasti mengenai apa yang dimaksud oleh suatu ayat Al-Qur’an dan sabda Rasulullah SAW sehingga dapat mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar dalam mencontoh Nabi atau menyikapi dan mengaplikasikan ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW.
- Nabi memerintahkan kepada ummatnya agar mengikuti al-sawad al-a’dham (kelompok mayoritas). Tatkala madhzab-madhzab yang benar telah punah kecuali tinggal madhzab empat, maka mengikutinya sama dengan mengikuti al-sawad al-a’dham dan menyempal dari padanya sama dengan menyempal dari al-sawad al-a’dham.
- Manakala zaman telah jauh dari masa Nabi dan amanah tidak lagi dijunjung tinggi, maka kita harus waspada dari pendapat ulam su’, baik qadli maupun mufti, yang berpendapat menurut hawa nafsunya.
IV. Meluruskan Masalah
Pada akhir-akhir ini kita menemukan fenomena penentangan metode bermadzhab dengan alasan yang sangat sederhana, yaitu bahwa hal tersebut tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW, tanpa ada pengkajian yang mendalam. Dasarnya adalah “pokoknya”, pokoknya tidak ada pada masa Nabi, pokoknya bid’ah, pokoknya sesat, pokoknya kamilah yang benar, dan lain-lain. Para pengikut paham ini lupa bahwa mushaf Al-Qur’an tidak dikenal pada masa Nabi SAW, madrasah tidak dikenal pada masa Nabi SAW, dan berbagai bentuk pengajian maupun metode dakwah sekarang ini juga banyak yang tidak dikenal pada masa Nabi SAW. Mereka tidak bisa membedakan bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat. Sering kita dapati mereka suka menentang (dan memburuk-burukkan) para imam dan para ulama di berbagai masjid, bahkan di jalan-jalan. Mereka mempertentangkan ijtihad Imam Syafi’i dan Imam Hanafi, menyepelekan orang yang taqlid kepada imam Mujtahid, dan senantiasa menyatakan bahwa pegangan mereka adalah Al-Kitab dan As-Sunnah. Akan tetapi, mereka ini orang-orang awam. Cobalah meminta mereka untuk membaca tiga ayat saja dan memberikan penjelasan tentang isinya, niscaya kita akan mendengar bacaan mereka yang salah dan semrawut. Mereka juga akan segera mengemukakan berbagai alasan untuk menutupi ketidakmampuan mereka memberikan penjelasan. (Renungkan hadits Nabi SAW –mengenai orang muda berpaham jelek– di atas. Hadits itu kini sudah terbukti?)
Orang-orang ini menyatakan bahwa tidak menetapi madzhab adalah yang paling mudah dan menuntut yang paling asal dan paling mendekati kebenaran dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits. Mereka lupa bahwa untuk dapat memutuskan mana yang paling asal dan paling mendekati kebenaran dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits haruslah menguasai ilmunya atau menjadi mujtahid. Sudah jelas bahwa Allah tidak menyuruh demikian (lihat Surah At-Taubah ayat 122 di atas), karena tidak semua orang adalah alim, dan karena hanya sebagian saja yang punya kemampuan berfatwa dan sebagian kecil saja yang punya persyaratan untuk menjadi mujtahid. Mereka juga lupa bahwa untuk memutuskan mana yang paling asal dan paling mendekati kebenaran, mereka senantiasa mengacu atau mengutip pendapat ulama tertentu (dan pasti bukan hasil pemikirannya sendiri), yang berarti mengikuti pendapat bersangkutan dalam masalah yang dihadapi, mengikuti tafsir dan cara berpikir orang tersebut, termasuk hukum yang dipilih. Lucunya mereka tak mau disebut demikian.
Mereka juga lupa bahwa klaim paling benar, meskipun sudah melakukan penelitian yang mendalam menyangkut Al-Qur’an dan Al-Hadits, tidak dapat dibenarkan. Setiap fatwa mempunyai kebenarannya sendiri, dan apabila ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang kesemuanya disandarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan, maka masing-masing fatwa juga mempunyai kebenaran, di mana tak seorang pun dapat menjamin bahwa fatwanyalah yang paling benar. Kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT. Bermadzhab tidak dilarang, yang dilarang adalah fanatik terhadap madzhab atau fatwa-fatwa yang dipeganginya. Kini, siapakah yang paling fanatik dalam memegang pendapatnya, tanpa mau mendegarkan penjelasan dan uraian orang lain?
Ada juga yang membawa-bawa perkataan Imam Syafi’i ra. bahwa bila hadits itu shahih, maka itulah madzhabnya. Ini bukan berarti bahwa kalau melihat suatu hadits yang shahih, seseorang boleh menyatakan bahwa itu adalah madzhab Syafi’i dan boleh diamalkan menurut lahirnya. Apa yang disebutkan oleh Imam Syafi’i itu hanya ditujukan bagi orang yang sudah mencapai derajat ijtihad dalam madzhab Syafi’i. Adapun syaratnya adalah ia harus mempunyai sangkaan yang kuat bahwa Imam Syafi’i belum pernah menemukan hadits tersebut atau tidak mengetahui kalau hadits itu shahih. Dari mana kita tahu hal-hal semacam ini? Untuk mengetahui hal itu, kita harus menelaah semua kitab Imam Syafi’i dan kitab-kitab para ulama pengikutnya. Seluas dan setinggi itukah ilmu kita? Sudah tentu hal ini sangat sulit dan jarang dapat dipenuhi.
Ada yang mengemukakan buku-buku tulisan para ulama yang muncul belakangan yang menampilkan studi kritis mengenai fatwa-fatwa imam madzhab, menunjukkan ini sudah sesuai dengan As-Sunnah dan itu belum sesuai dengan As-Sunnah, ini benar dan itu bid’ah, dan sebagainya. Sudah jelas bahwa orang-orang muda ini hanya mengikut dan tidak mempunyai pendapat sendiri. Mereka mengikuti tulisan-tulisan orang-orang akhir zaman dan menelan bulat-bulat dzahir tulisan (makna lahiriah) tanpa mau melakukan studi banding tentang integritas keulamaan dari yang mengomentari dan yang dikomentari. Sudah taqlid buta, menyalah-nyalahkan orang, membid’ahkan orang dengan ilmu yang terbatas, dan secara sombong dan fanatik menganggap pendapat yang diikutinya sebagai yang paling benar. Na’udzu bi Allah.
Inilah bukti nyata dari sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah tidak mematikan ilmu dengan cara mencabutnya dari dada para ulama, akan tetapi Allah mematikan ilmu dengan mematikan para ulamanya, jika telah tiada orang alim maka manusia akan mengangkat pemimpin orang-orang yang bodoh. Ketika ditanya mereka memberikan fatwanya tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari Muslim)
V. Khotimah
Berikut ini beberapa cerita lucu berkaitan dengan penggunaan dalil yang tidak semestinya, karena yang berdalil bukanlah orang yang menguasai ilmu agama dengan baik.
1. Pada masa Khalifah Al-Mutawakkil (822-861M) ada seorang laki-laki yang mengaku sebagai Nabi dengan dalil surah An-Nashr ayat 1: ”Apabila datang Nashrullah dan kemenangan”.
Ia berkata, ”Nama saya Nashrullah.” Ia pun ditertawakan banyak orang.
2. Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, mengaku sebagai nabi dengan dalil surah As-Shaff ayat 6: ”Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata.”
Ia berkata: ”Ahmad yang dimaksud dalam ayat itu adalah saya.”
3. Ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak mengikut madzhab melainkan berijtihad sendiri saja langsung dari Al-Qur’an. Ia dengan bangga mengatakan bahwa ia hanya shalat Jum’at dan Tahajjud (tanpa shalat lima waktu), karena menurutnya hanya itu yang terdapat dalam Al-Qur’an, lain tidak.
4. Ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak mengikut madzhab melainkan berijtihad sendiri saja langsung dari Al-Qur’an dan Hadits. Di bulan Ramadhan, ia menyuruh orang menyelesaikan sahurnya yang belum selesai, meski adzan shubuh sudah terdengar.
5. Ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak mengikut madzhab melainkan berijtihad sendiri saja langsung dari Al-Qur’an dan Hadits. Ia melarang makmum membaca surah Al-Fatihah, berdasarkan Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 204: ”Apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat.”
Diajukan kepadanya hadits dari Ubadah bin Shamit, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah shalat sesorang yang tidak membaca surah Al-Fatihah.” (H.R. Bukhari Muslim)
Juga hadits dari Dari Abu Hurairah R.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barang siapa shalat tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) maka shalatnya tidah sempurna (tidak sah) – tiga kali – tidak sempurna.” Ada yang menanyakan hal ini kepada Abu Hurairah: “Sesungguhnya kami berada di belakang imam.” Abu Hurairah menjawab: “Bacalah dengan pelan!” (H.R. Imam Muslim)
Juga hadits dari Ubadah bin Shamit, ia berkata: “Adalah kami shalat shubuh di belakang Rasulullah SAW …. Sesudah shalat, beliau bertanya: ‘Apakah kalian membaca sesuatu di belakang imam kalian?’ Mereka menjawab: ‘Ya’. Nabi bersabda: ‘Janganlah membaca, kecuali Al-Fatihah. Maka sesungguhnya tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surah Al-Fatihah’.” (H.R. Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Hibban)
Juga hadits dari Ubadah bin Shamit, ia berkata: “Adalah kami shalat di belakang Rasulullah SAW pada waktu shalat yang dikeraskan bacaannya. Beliau SAW (setelah shalat) bersabda: ‘Janganlah seseorang dari kalian membaca sesuatu ketika saya keraskan bacaan, kecuali Ummul Qur’an (Al-Fatihah)’.” (H.R. Imam Nasa’i)
Ia kemudian kelabakan dan mengatakan bahwa ia mengikuti Kitab Shifat Shalat Nabi yang ditulis oleh Ahli Hadits Syaikh Nashiruddin Al-Albani. (Padahal tadinya ia berkata bahwa ia tidak bermadzhab dan mengambil langsung dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi)
Kalau dia mau membaca Kitab aslinya, maka dia akan tahu bahwa Syaikh Al-Albani telah menguraikan pendapat-pendapat Imam Madzhab dan bahwa ia lebih cenderung kepada pendapat Imam Hanafi (madzhab yang dianut ayahnya) karena itulah yang benar menurut analisisnya atas dalil-dalil. Jadi bukan hasil analisis orang tersebut atas dalil-dalil.
6. Ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak mengikut madzhab melainkan berijtihad sendiri saja langsung dari Al-Qur’an dan Hadits. Ia menyuruh orang menggerak-gerakkan jari ke atas ke bawah sepanjang duduk Tahiyyat berdasarkan hadits dari Wa’il bin Hujr. (HR Ahmad, An-Nasa'i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Baihaqi)
Padahal dalam hadits tersebut sama sekali tidak disebutkan bahwa gerakan telunjuk jari Nabi SAW adalah ke atas dan ke bawah. Ia mengarang saja gerakan, padahal tidak ada dalam hadits. Ia juga tidak belajar bahwa Imam Baihaqi (perawi hadits) telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menggerakkan itu adalah menggerakkan sekali saja pada saat Tasyahud (membaca Syahadat), bukan menggerakkannya terus-menerus sepanjang Tahiyyat. Ia juga tidak membaca hadits dari Dari Abdullah Ibnuz Zubair, bahwasanya Rasulullah SAW (apabila duduk tasyahud) menunjuk dengan jari telunjuknya dan tidak menggerak-gerakkannya. (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i, dan Ibnu Hibban)
Ia kemudian mengajukan buku terjemahan yang di dalamnya ada hadits dari Ibnu Umar, bahwasanya menggerak-gerakkan jari (telunjuk) pada waktu Shalat adalah pukulan bagi syaitan.
Dalam buku itu disebutkan bahwa hadits itu adalah shahih. Padahal hadits tersebut adalah hadits dha’if.
Kita bisa menemukan berbagai fenomena berbahaya tersebut, bagaimana orang mengaku telah berdalil langsung dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, ternyata ia adalah orang yang taqlid, termasuk mengenai derajat suatu hadits, dan dapat kita lihat juga bagaimana dalil-dalil disalahgunakan oleh orang yang tidak cukup ilmunya untuk mengambil dalil langsung dari Al-Qur’an dan Hadits.
Ada sebuah pertanyaan mendasar, “Apa yang akan terjadi seandainya semua orang Islam dilarang bermadzhab dan membiarkan semua individu untuk melakukan ijtihad?”
Pertanyaan ini sebenarnya senada dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Apa yang terjadi apabila semua orang dilarang pergi ke dokter apabila sakit dan mengatur sendiri saja pengobatan dirinya?
2. Apa yang terjadi apabila semua orang mengabaikan semua petunjuk dan aturan yang telah ditetapkan oleh para ahli teknik dan insinyur dalam masalah-masalah teknik?
3. Apa yang terjadi apabila semua orang dilarang mengikuti aturan main dan petunjuk setiap orang yang ahli di bidangnya masing-masing?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mempunyai jawaban yang jelas, yaitu kekacauan, kesemrawutan, dan kerusakan total dalam kehidupan ini, karena manusia telah dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya tanpa memperdulikan berbagai persyaratan yang seharusnya dipenuhi. Hal ini jelas melanggar sunnah Allah SWT dalam alam ini, yaitu bahwa manusia mesti saling memberi dan menerima, saling belajar, dan semua mempunyai keahlian dan kelebihan yang berbeda-beda. Apabila semua manusia terjun ke dalam masalah teliti meneliti hukum, berbicara bebas tentang halal dan haram, mengambil hukum langsung dari sumbernya tanpa kemampuan yang memadai, kita dapat membayangkan tatanan masyarakat macam apa yang akan muncul.
Beberapa fenomena di atas, dan juga beberapa fenomena belakangan ini seharusnya menyadarkan kita tentang bahaya bebas madzhab ini:
a. Di Amerika telah diselenggarakan sholat Jum’at dengan khotib dan imam perempuan. Mereka mengaku mempunyai dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mereka menolak metode pengambilan hukum yang telah dibangun oleh para imam madzhab dan lihatlah hasilnya.
b. Di Mesir, penjajah Inggris telah menanamkan benih-benih pikiran ijtihad kepada setiap orang. Hasilnya adalah perubahan undang-undang tentang hubungan keluarga muslim, seperti poligami, hak talak, persamaan hak laki-laki dan wanita (khususnya dalam masalah warisan), menentang hijab laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.
c. Fenomena serupa juga terjadi di negara kita, terlebih dengan munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang menawarkan metode dan manhaj baru dalam penggalian dan pengambilan hukum agama. Fenomena ini telah kita semua karena cara mereka yang revolusioner telah menyimpang jauh dari kaidah umum agama dan lebih didorong oleh nafsu duniawi.
d. Di Malang, Jawa Timur, baru-baru ini ada orang yang mengaku kyai yang mengajarkan shalat dengan menggunakan terjemah bahasa Indonesia. Ia juga mengaku mempunyai dasar dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika ia mengikuti metode para imam madzhab yang bersih dan sudah teruji, tentu ia tidak akan terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang dialaminya.
e. Ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits Rasulullah SAW diperdebatkan oleh orang-orang yang tidak bisa berbahasa Arab, tidak memahami kaedah bahasa Arab, tidak menguasai asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, orang-orang yang tidak menguasai ilmu tafsir maupun musthalah hadits, dan orang-orang yang tidak menguasai ilmu ushul maupun kaedah fiqih. Hasil kesimpulan mereka berbeda-beda dan mereka merasa telah menemukan ”sesuatu yang baru”, yang sebenarnya telah menjadi kajian para Ulama sejak berabad silam. Mereka tidak tahu, tidak paham, dan salah persepsi, namun mereka merasa tahu, merasa paling mengerti, dan merasa jalan pikirannyalah yang paling benar.
Ini semua adalah bid’ah yang nyata, yang timbul sebagai akibat kita membiarkan pintu ijtihad dibuka untuk orang-orang yang bukan ahlinya. Apabila kita memaksa setiap orang Islam untuk melakukan ijtihad dan meneliti dengan cermat dalil-dalil dari semua masalah dan menjauhkan mereka dari kitab-kitab yang telah dengan gamblang mengkodifikasikan hukum halal-haram, dalam waktu singkat kita akan menemukan bahwa syariat Islam hanya akan tinggal nama, tidak ada wujudnya. Apabila setelah kita jauhkan mereka dari seluruh kitab madzhab kemudian kita paksa mereka untuk mengikuti kitab-kitab lain yang dikarang oleh ulama lain pula, kita sebenarnya tidak melakukan apa pun selain mengalihkan mereka dari taqlid kepada madzhab empat ke madzhab yang baru. Perbuatan ini tidak mempunyai nilai apa pun, kecuali hanya didorong oleh rasa hasud dan iri hati kepada keempat imam madzhab dan pengikut mereka, di samping –mungkin– agar ijtihad orang lain mendapat pasaran dalam masyarakat luas.
Tidaklah salah apabila Dr. Said Ramadhan Al-Buthi menyatakan bahwa Paham bebas madzhab termasuk bid’ah yang paling berbahaya bagi syariat Islam, karena dapat mengancam keseluruhan bangunan ajaran Islam yang sudah tegak berabad-abad lamanya. Semoga Allah senantiasa memberi hidayah dan bimbingan kepada kita semua.
Wa Allah A’lam bi ash-Showaab.
Al-Faqiir Ilaa Rahmati Rabbihi al-Ghaffaar
H.M. Dawud Arif Khan
Keterangan:
[1] Al-Muwaththa adalah Kitab karya Imam Malik yang menjadi kitab induk Madzhab Maliki. Beliau telah membawa kitab tersebut ke hadapan 70 ulama paling terkemuka pada masa itu untuk diteliti dan mendapatkan respon positif dari seluruh ulama tersebut. (Hal ini menunjukkan bahwa seluruh isi kitab itu telah merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah)
[2] 85% lebih penganut Islam termasuk dalam kategori awam (belum mempunyai kapasitas untuk mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Al-Hadits)
[3] Ucapan Adz-Dzahabi dalam Kitabnya Risalah Zughlul Ilmi Wath-Thalab.
[4] Dr. Yusuf Qordhowi. Al-Fatawa Baina al-Indlibath wa at-Tasayyub. Dar Ash-shahwah, Cairo , 1988.
[5] Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah. I’lam al-Muwaqi’iin. Juz IV, hal 175.
[6] Al-Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad. Irsyad al-Fukhul. Beirut : Daar al-Fikr, hal. 250.
[7] Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. Allaa Madzhabiyyah Akhtharu Bid’ah Tuhaddidu Asy-Syariah Al-Islamiyyah. Mesir: Daar an-Nahdlah, 1978. hal 84.
[8] Imam Al-Qurthubi. Al-Jaami’ li Ahkaam Al-Qur’an. Jilid VIII, hal. 293-294.
Dipersembahkan oleh Unit Knowledge Management AL-IMAN (www.fajarilmu.net)
0 Response to "Hal-Hal Yang Perlu Diluruskan"
Posting Komentar