Khilafah Islamiyah
Teman-teman seiman dan setanah air yang insya alloh selalu mendapat hidayah dan taufiq-Nya. Amin.
Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa negara kita Indonesia dan juga negara-negara lain di dunia menganut sistem konvensional yakni sistem demokrasi. Namun belakangan ini sedang ramai-ramainya isu yang bergulir dari sebagian saudara kita yang mengatakan bahwa sistem demokrasi itu sistem kufur yang bertentangan dengan Islam.
Mereka mengacu kepada Firman Allah yang berbunyi "wa man lam yahkum bima anzalahulloh fa ulaaika humul kafiruun". Yang ingin saya tanyakan adalah : bagaimana sebenarnya demokrasi dalam perspektif islam? Dan apakah betul itu sistem kufur yang brtentangan dengan Islam? Dan bagaimanakah seharusnya kita mendudukkan ayat di atas dalam konteks kenegaraan kita?
Mohon pencerahannya.
(Abu Luthfi, via fb message, Februari 2011)
Jawaban Ustadz Muh. Dularif
Yang sering terjadi adalah orang-orang memakai ayat untuk kepentingannya. Ayat semacam "wa man lam yahkum bima anzalahulloh fa ulaaika humul kafiruun" ini pula yang dipakai khowarij untuk melawan Sayyidina Ali k.w. Makanya jangan heran, jangankan kita, lha wong Sayyidina Ali aja digitukan.
Yang jelas, ketika ngomong bentuk demokrasi sendiri, kita bisa lihat sejarah dimana ada 4 metode yang berbeda untuk 4 periode Khulafaur Rosyidin
- Abu bakar jadi khalifah berdasarkan musyawarah mufakat (yang ndak diakui oleh Syiah)
- Umar jadi khilafah atas "penunjukan" Abu bakar
- Usman jadi khalifah hasil rapat tim formatur
- Ali jadi khalifah berdasarkan suara terbanyak.
Bahkan, kerajaan atau kesultanan yang menjadi "andalan" orang-orang yang mengaku paling Islam, dimana seorang jadi pemimpin karena keturunan, justru tidak ada contohnya, baik jaman Rasul ataupun 4 Khulafaaur Rosyidin.
Rasulullah tidak menunjuk Fatimah atau Ali jadi penggantinya. Bahkan Umar ketika rapat tim formatur di mana Abdullah bin Umar (anaknya) ikut dalam tim, mengatakan bahwa Abdullah bin Umar tidak boleh di pilih.
Makanya, kalau ada orang-orang gembar-gembor bentuk khalifah Islam, coba tanya, riilnya bentuk "negara" nya dan cara pemilihannya seperti apa. Kemungkinan besar jawabnya muter-muter.
[Kemudian banyak komentar terkait hal ini, disusul oleh pertanyaan ybs]
Pertanyaan Abu Lutfi
Makasih atas semua komentar-komentarnya,walaupun banyak agak melenceng dari pertanyaannya. Sebenarnya yang saya inginkan adalah bukti/dalil baik dari Alquran ataupun hadits, baik secara eksplisit maupun implisit yang menyatakan bahwa demokrasi itu bertentangan atau sesuai dengan Islam, dan untuk lebih menguatkan lagi, kalau bisa cantumkan pula pendapat ulama-ulama kontemporer tentang demokrasi.
Jawaban Ustadz Muh. Dularif
Saya agak merasa aneh dengan "tuntutan" mas Abu.
Lha di sini kan yang "menghukumi" bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam kan HTI dkk.
Idealnya, siapa yang "menerbitkan fatwa" dialah yang harus membuktikannya dengan dalil atau dasar hukum. Kemudian dalam khasanah keilmuan, dalil dan hukum tersebut di uji oleh pihak yang kompeten, apakah dalil tersebut bisa diterima atau tidak.
(Setahuku HTI punya banyak dalil, walau menurut pendapat pribadiku, dalil-dalil tersebut masih perlu diuji. Bahkan kalau serius, HTI bisa mengundang ulama-ulama ahli fiqh yang kompeten di Indonesia - bukan hanya ulama yang pro-pendapatnya. Bahkan karena menyangkut trans-nasional, mungkin perlu mengundang juga ulama-ulama ahli fiqh dunia)
Tapi, di luar hal di atas, aku kepingin tanya sama mas abu luthfi nih..
Apakah kisah/sejarah rasul beserta 4 Khulafaaur rosyidin yang menurut saya gamblang menunjukkan "bervariasinya" sistem kenegaraan, TIDAK CUKUP sebagai dalil, bahwa sistem kenegaraan tidak harus berbentuk khilafah/ kerajaan/ kesultanan seperti yang selama ini digembor-gemborkan oleh HTI dkk?
Bahkan justru dari Rasul dan Khulafaaur rosyidin tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak dicontohkan satu pun sistem kenegaraan yang mendasarkan pemilihan kepala negara berbasis keturunan sebagaimana yang biasa terjadi di kerajaan/ kesultanan (yang selama ini tersirat dalam keinginan bentuk negara ideal ala HTI?)
Kemudian, tidakkah kita belajar sejarah Islam, bagaimana kisah era kekhalifahan Ummayah dan Abasiah, serta bagaimana kisah kekhalifahan lain, yang menggunakan basis keturunan sebagai cara memilih pemimpin, di mana ada era yang indah dan hebat, tapi tidak sedikit pula pertumpahan darah dan kedzaliman di sana, meskipun secara "formal" mengklaim sebagai khilafah islamiyah.
Tanggapan Abu Luthfi
Gak usah heran mas, paling gak kan sebagai pihak yang gak setuju dengan pmikiran HTI kita juga punya dalil sanggahan yang lebih akurat, jangan cuma mengoreksi dalil lawan saja.
(Sekarang saya memposisikan diri sebagai HTI)
Mas yang saya pahami dari sistem pemerintahan rosul dan sahabt tidaklah berubah, artinya satu sistem, yang bervarisi itu tehnik pengangkatan kepala negaranya saja. Sejarah kan ga bisa buat dalil mas, kalaupun sistem khilafah pasca khulafaurrosyidin dalam sejarah banyak dipenuhi lembaran hitam, kan bukan sistemnya yang salah, tapi karena penguasalah yang justru tidak melaksanakn sistem itu secara benar.
Jawaban Ustadz Muh. Dularif
"Sejarah kan ga bisa buat dalil"
Aku kok kurang sreg dengan pernyataan tersebut.
Bagiku apapun yang dilakukan Rasul, maka itu bisa menjadi sumber hukum. Begitu pula yang dilakukan khulafaur rosyidin (berdasarkan hadist alaikum bisunnati wa sunnati khulfaair rasyiddin)
Contoh paling gamblang adalah hukum bagi pezina. Di dalam Al-Qur'an ketentuannya adalah
("azzaniyati wa zzanii faajlidu kulla wahidin miata jaldah"), artinya pukulan bukan rajam. Tetapi para ahli fiqih membedakan hukuman muhson dan ghoiru muhson. Dan ini basisnya adalah "sejarah" atau sesuatu yg pernah dilakukan oleh nabi.
[Kemudian banyak komentar terkait hal ini, yang tidak ditampilkan dalam blog ini]
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa negara kita Indonesia dan juga negara-negara lain di dunia menganut sistem konvensional yakni sistem demokrasi. Namun belakangan ini sedang ramai-ramainya isu yang bergulir dari sebagian saudara kita yang mengatakan bahwa sistem demokrasi itu sistem kufur yang bertentangan dengan Islam.
Mereka mengacu kepada Firman Allah yang berbunyi "wa man lam yahkum bima anzalahulloh fa ulaaika humul kafiruun". Yang ingin saya tanyakan adalah : bagaimana sebenarnya demokrasi dalam perspektif islam? Dan apakah betul itu sistem kufur yang brtentangan dengan Islam? Dan bagaimanakah seharusnya kita mendudukkan ayat di atas dalam konteks kenegaraan kita?
Mohon pencerahannya.
(Abu Luthfi, via fb message, Februari 2011)
Jawaban Ustadz Muh. Dularif
Yang sering terjadi adalah orang-orang memakai ayat untuk kepentingannya. Ayat semacam "wa man lam yahkum bima anzalahulloh fa ulaaika humul kafiruun" ini pula yang dipakai khowarij untuk melawan Sayyidina Ali k.w. Makanya jangan heran, jangankan kita, lha wong Sayyidina Ali aja digitukan.
Yang jelas, ketika ngomong bentuk demokrasi sendiri, kita bisa lihat sejarah dimana ada 4 metode yang berbeda untuk 4 periode Khulafaur Rosyidin
- Abu bakar jadi khalifah berdasarkan musyawarah mufakat (yang ndak diakui oleh Syiah)
- Umar jadi khilafah atas "penunjukan" Abu bakar
- Usman jadi khalifah hasil rapat tim formatur
- Ali jadi khalifah berdasarkan suara terbanyak.
Bahkan, kerajaan atau kesultanan yang menjadi "andalan" orang-orang yang mengaku paling Islam, dimana seorang jadi pemimpin karena keturunan, justru tidak ada contohnya, baik jaman Rasul ataupun 4 Khulafaaur Rosyidin.
Rasulullah tidak menunjuk Fatimah atau Ali jadi penggantinya. Bahkan Umar ketika rapat tim formatur di mana Abdullah bin Umar (anaknya) ikut dalam tim, mengatakan bahwa Abdullah bin Umar tidak boleh di pilih.
Makanya, kalau ada orang-orang gembar-gembor bentuk khalifah Islam, coba tanya, riilnya bentuk "negara" nya dan cara pemilihannya seperti apa. Kemungkinan besar jawabnya muter-muter.
[Kemudian banyak komentar terkait hal ini, disusul oleh pertanyaan ybs]
Pertanyaan Abu Lutfi
Makasih atas semua komentar-komentarnya,walaupun banyak agak melenceng dari pertanyaannya. Sebenarnya yang saya inginkan adalah bukti/dalil baik dari Alquran ataupun hadits, baik secara eksplisit maupun implisit yang menyatakan bahwa demokrasi itu bertentangan atau sesuai dengan Islam, dan untuk lebih menguatkan lagi, kalau bisa cantumkan pula pendapat ulama-ulama kontemporer tentang demokrasi.
Jawaban Ustadz Muh. Dularif
Saya agak merasa aneh dengan "tuntutan" mas Abu.
Lha di sini kan yang "menghukumi" bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam kan HTI dkk.
Idealnya, siapa yang "menerbitkan fatwa" dialah yang harus membuktikannya dengan dalil atau dasar hukum. Kemudian dalam khasanah keilmuan, dalil dan hukum tersebut di uji oleh pihak yang kompeten, apakah dalil tersebut bisa diterima atau tidak.
(Setahuku HTI punya banyak dalil, walau menurut pendapat pribadiku, dalil-dalil tersebut masih perlu diuji. Bahkan kalau serius, HTI bisa mengundang ulama-ulama ahli fiqh yang kompeten di Indonesia - bukan hanya ulama yang pro-pendapatnya. Bahkan karena menyangkut trans-nasional, mungkin perlu mengundang juga ulama-ulama ahli fiqh dunia)
Tapi, di luar hal di atas, aku kepingin tanya sama mas abu luthfi nih..
Apakah kisah/sejarah rasul beserta 4 Khulafaaur rosyidin yang menurut saya gamblang menunjukkan "bervariasinya" sistem kenegaraan, TIDAK CUKUP sebagai dalil, bahwa sistem kenegaraan tidak harus berbentuk khilafah/ kerajaan/ kesultanan seperti yang selama ini digembor-gemborkan oleh HTI dkk?
Bahkan justru dari Rasul dan Khulafaaur rosyidin tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak dicontohkan satu pun sistem kenegaraan yang mendasarkan pemilihan kepala negara berbasis keturunan sebagaimana yang biasa terjadi di kerajaan/ kesultanan (yang selama ini tersirat dalam keinginan bentuk negara ideal ala HTI?)
Kemudian, tidakkah kita belajar sejarah Islam, bagaimana kisah era kekhalifahan Ummayah dan Abasiah, serta bagaimana kisah kekhalifahan lain, yang menggunakan basis keturunan sebagai cara memilih pemimpin, di mana ada era yang indah dan hebat, tapi tidak sedikit pula pertumpahan darah dan kedzaliman di sana, meskipun secara "formal" mengklaim sebagai khilafah islamiyah.
Tanggapan Abu Luthfi
Gak usah heran mas, paling gak kan sebagai pihak yang gak setuju dengan pmikiran HTI kita juga punya dalil sanggahan yang lebih akurat, jangan cuma mengoreksi dalil lawan saja.
(Sekarang saya memposisikan diri sebagai HTI)
Mas yang saya pahami dari sistem pemerintahan rosul dan sahabt tidaklah berubah, artinya satu sistem, yang bervarisi itu tehnik pengangkatan kepala negaranya saja. Sejarah kan ga bisa buat dalil mas, kalaupun sistem khilafah pasca khulafaurrosyidin dalam sejarah banyak dipenuhi lembaran hitam, kan bukan sistemnya yang salah, tapi karena penguasalah yang justru tidak melaksanakn sistem itu secara benar.
Jawaban Ustadz Muh. Dularif
"Sejarah kan ga bisa buat dalil"
Aku kok kurang sreg dengan pernyataan tersebut.
Bagiku apapun yang dilakukan Rasul, maka itu bisa menjadi sumber hukum. Begitu pula yang dilakukan khulafaur rosyidin (berdasarkan hadist alaikum bisunnati wa sunnati khulfaair rasyiddin)
Contoh paling gamblang adalah hukum bagi pezina. Di dalam Al-Qur'an ketentuannya adalah
("azzaniyati wa zzanii faajlidu kulla wahidin miata jaldah"), artinya pukulan bukan rajam. Tetapi para ahli fiqih membedakan hukuman muhson dan ghoiru muhson. Dan ini basisnya adalah "sejarah" atau sesuatu yg pernah dilakukan oleh nabi.
[Kemudian banyak komentar terkait hal ini, yang tidak ditampilkan dalam blog ini]
Jawaban Ustadz Muh. Dularif
Kalau aku lihat sih, bukannya ulama-ulama kita atau muslim mayoritas pada umumnya tidak menghendaki adanya syariat Islam.
Yang dihindari oleh para ulama adalah "politisasi" jargon Islam untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Itulah yang dulu diingatkan oleh KH Yusuf Muhammad (alm) saat jadi pembicara di Masjid Albarkah kampus STAN dalam salah satu acara yang diselenggarakan IMAN. Seingatku beliau berkata, "Kita boleh-boleh saja memakai Islam dalam tindakan kita, tapi jangan sekali-kali berbuat atas nama Islam tapi malah memperburuk Islam"
Begitu pula jawaban Gus Dur (alm) yang ditanya Radio BBC London tentang alasannya tidak mendukung ICMI. Beliau berkata, "Saya tidak anti Islam, tapi saya menentang dimanfaatkannya agama untu kepntingan politis pribadi atau golongan"
Begitu pula yang terjadi saat ini. Kalau kita lihat sejarah Indonesia, kita bisa lihat produk Islami yang tidak berlabel / menjargonkan hukum Islam, salah satunya adalah UU Perkawinan. Dan saat itu PPP sangat getol memperjuangkannya dan akhirnya gol tanpa "embel-embel" syariat Islam.
Dan jika kita juga lihat pada UUD 1945 yang asli, yang di antara "penyusunnya" nya adalah para ulama kita, maka kalau kita mau jujur, banyak (jika tidak hampir seluruh) isinya adalah spirit atau semangat keislaman di sana. Di antaranya adalah perjuangan/jihad fi sabilillah melawan penjajah, pemeliharaan orang-orang miskin, serta semangat "wasyawirhum fil amr" dalam pengambilan keputusan. Bahkan secara keseluruhan, andaikan UUD 1945 itu dilaksanakan dengan baik dan tidak disalahgunakan, "rohmatan lil alamin" adalah ruh UUD tersebut. Dan itu semua bagi saya pribadi adalah cermin kehebatan ulama-ulama terdahulu, bagaimana "membumikan" Islam di Indonesia.
Jadi menurut saya pribadi, jauh lebih penting adalah membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kita, termasuk di dalamnya kehidupan bernegara. Dalam hal ini, lakukanlah dengan cara yang elegan, misalnya melalui parlemen. Jauh lebih bermakna berjuang memasukkan nilai-nilai Islam lewat pembentukan peraturan perundangan yang sah daripada menjual jargon Islam yang hanya untuk kepentingan politik pribadi atau golongan. Bukan pula membentuk negara baru di negara yang telah ada dan secara "hukum" Islam telah dianggap para ulama kita sah sebagai sebuah negara.
(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari milis khusus anggota IMAN)
0 Response to "Khilafah Islamiyah"
Posting Komentar